KEBIJAKAN LOW COST GREEN CAR DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM (Bagian 2 dari 3 tulisan)
Oleh PAULUS ALUK FAJAR DWI SANTO (Januari 2014)
Pertanyaan berikutnya adalah: apa kajian filsafat hukum terhadap aspek keadilan dalam kebijakan Low Cost Green Car?
Pertama, soal “Kebijakan Harga Murah Yang Tidak Adil”. Pemerintah mengatakan bahwa LCGC merupakan produk murah. Padahal murahnya LCGC disebabkan oleh dihilangkannya PPnBM. Artinya pemerintah memberi subsidi kepada LCGC agar harganya murah. Dari sini sudah jelas, murah yang dimaksud disini memang sengaja dibuat murah oleh pemerintah, dalam arti biaya produksi dan lainnya masih sama dengan mobil yang bukan LCGC. Sekarang kondisi ini mari kita dekati melalui pandangan para Filosof tentang keadilan, mulai dari Plato sampai dengan John Rawls.
Menurut Plato, keadilan hanya dapat ada di dalam hukum dan perundang-undangan yang dibuat oleh para ahli yang khusus memikirkan hal itu. Untuk istilah keadilan ini Plato menggunakan kata yunani” Dikaiosune” yang berarti lebih luas, yaitu mencakup moralitas individual dan sosia. Penjelasan tentang tema keadilan diberi ilustrasi dengan pengalaman saudagar kaya bernama Cephalus. Saudagar ini menekankan bahwa keuntungan besar akan didapat jika kita melakukan tindakan tidak berbohong dan curang. Adil menyangkut relasi manusia dengan yang lain. Aristoteles adalah seorang filosof pertama kali yang merumuskan arti keadilan. Ia mengatakan bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, fiat jutitia bereat mundus. Selanjutnya dia membagi keadilan dibagi menjadi dua bentuk sebagai berikut. Pertama, keadilan distributif, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional. Kedua, keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas miliknya yang hilang. Atau kata lainnya keadilan distributif adalah keadilan berdasarkan besarnya jasa yang diberikan, sedangkan keadilan korektif adalah keadilan berdasarkan persamaan hak tanpa melihat besarnya jasa yang diberikan.
Ulpianus mengatakan bahwa keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang mestinya untuknya (Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi). Justinianus menyatakan bahwa “keadilan adalah kebijakan yang memberikan hasil, bahwa setiap orang mendapat apa yang merupakan bagiannya”. Herbert Spencer menyatakan bahwa setiap orang bebas untuk menentukan apa yang akan dilakukannya, asal ia tidak melanggar kebebasan yang sama dari lain orang”. Roscoe Pound melihat indikator keadilan dalam hasil-hasil konkret yang bisa diberikannya kepada masyarakat. Ia melihat bahwa hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa perumusan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Nelson meyatakan bahwa “Tidak ada arti lain bagi keadilan kecuali persamaan pribadi”. John Salmond menyatakan bahwa norma keadilan menentukan ruang lingkup dari kemerdeka an individual dalam mengejar ke makmuran individual, sehingga dengan demikian membatasi kemerdekaan individu di dalam batas-batas sesuai dengan kesejahteraan umat manusia.
Hans Kelsen, menurutnya keadilan tentu saja juga digunakan dalam hukum, dari segi kecocokan dengan hukum positif-terutama kecocokan dengan undang-undang. Ia menggangap sesuatu yang adil hanya mengungkapkan nilai kecocokan relative dengan sebuah norma”adil’ hanya kata lain dari ‘benar”. John Rawls, Konsep keadilan menurut rawls, ialah suatu upaya untuk mentesiskan paham liberalisme dan sosialisme, sehingga secara konseptual rawls menjelaskan keadilan sebagai fairness, yang mengandung asas-asas, “bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpuan yang mereka hendaki (***BERSAMBUNG).
Published at :