KEBIJAKAN LOW COST GREEN CAR DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM (Bagian 1 dari 3 tulisan)
Oleh PAULUS ALUK FAJAR DWI SANTO (Januari 2014)
Belakangan ini perhatian kita dipaksa untuk menyimak satu berita yang memang sedang ramai dibahas diberbagai media massa, yaitu proyek mobil murah yang kini sedang dicanangkan oleh pemerintah pusat. Proyek ini menggandeng beberapa pabrikan mobil yang sudah tidak asing lagi di Indonesia seperti Honda, Suzuki, Daihatsu, dan Datsun.
Nama proyek ini adalah Low Cost Green Car atau biasa disingkat menjadi LCGC. Sebuah proyek pengadaan mobil ramah lingkungan yang diproyeksikan memiliki harga terjangkau bagi masyarakat Indonesia. Banyak terdengar tujuan dan motif dari pemerintah yang sudah berulang kali dipublikasikan dalam peluncuran proyek yang sudah dilindungi keberadaannya oleh Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2013 ini, yang paling banyak diungkapkan adalah proyek LCGC ini bertujuan untuk menjadikannya sebagai proyek percontohan bagi industri otomotif kedepannya, selain itu juga untuk memberikan pilihan bagi masyarakat yang ingin memiliki kendaraan pribadi namun terkendala masalah finansial.
Setiap kebijakan, keputusan, maupun proyek yang dibuat pemerintah tentu sudah melalui berbagai prosedur yang panjang, melalui banyak uji kelayakan, juga dengan banyak pembahasan. Namun, khususnya didalam proyek LCGC ini tampaknya ada banyak kejanggalan maupun kontradiksi yang tersirat. Satu hal yang paling sering diperbincangkan: proyek ini akan membuat kota-kota besar yang memiliki masalah transportasi semakin kesulitan dengan semakin banyaknya mobil yang ada dijalanan. Hal inilah yang menjadi alasan Jokowi (gubernur DKI) untuk dengan tegas menolak proyek LCGC masuk ke Jakarta.
Memang apabila kita perhatikan secara teliti, proyek mobil murah ini terasa aneh sekali. Ditengah semangat dan upaya dari banyak kalangan untuk meminimalisir penggunaan kendaraan bermotor (khususnya mobil pribadi) dan menggiatkan kembali transportasi massal. Lagipula slogan-slogan yang selama ini didengung-dengungkan tentang LCGC yang mengatakan mobil ini mobil murah dan ramah lingkungan juga tidak sepenuhnya bisa diterima. Benarkah ini mobil murah? Ramah lingkungan pula? Persoalan inilah yang perlu di klarifikasi lebih jauh melalui kajian Filsafat Hukum. Setidaknya dapat diangkat dua hal penting yang dapat diidentifikasi, yaitu: (1) apa sebenarnya dasar kebijakan Pemerintah terkait dengan Low Cost Green Car dan (2) bagaimana kajian filsafat hukum terhadap aspek keadilan dalam kebijakan Low Cost Green Car ini?
Apa sebenarnya kebijakan Pemerintah terkait dengan Low Cost Green Car ini? Pemerintah telah menerbitkan PP Nomor 41/2013 tentang Barang Kena Pajak Tergolong Mewah pada Mei 2013. Pasal 3 ayat 1(c) PP tersebut menyatakan untuk mobil hemat energi dan harga terjangkau, Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak sebesar 0 persen dari harga jual. Pajak 0 persen tersebut untuk motor bahan bakar cetus api dengan kapasitas silinder 1.200 cc dan konsumsi bahan bakar minyak paling sedikit 20 kilometer per liter atau bahan bakar setaranya. PP No.41/2013 telah dilengkapi dengan Permen Perindustrian No. 33/M-IND/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat Hemat Energi dan Harga Terjangkau pada 1 Juli 2013.
Disebutkan juga penerbitan Permenperin Nomor 33/2013 dimaksudkan untuk terus mendorong dan mengembangkan kemandirian industri otomotif nasional, khususnya industri komponen kendaraan bermotor roda 4 agar mampu berdaya saing, seiring dengan peningkatan permintaan kendaraan bermotor yang hemat energi dan harga terjangkau. Produksi LCGC merupakan program pengembangan produksi kendaraan bermotor dengan pemberian keringanan PPnBM.
Permenperin juga menyatakan industri otomotif yang ingin memproduksi mobil LCGC harus memenuhi berbagai ketentuan mengenai motor bakar kapasitas isi silinder 980-1200 cc dengan konsumsi BBM paling sedikit 20 km/liter dan untuk motor bakar nyala kompresi (diesel) kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc dengan konsumsi BBM paling sedikit 20 km/liter. Juga diatur ketentuan penggunaan tambahan merek, model, dan logo yang mencerminkan Indonesia.
Permenperin juga mengatur harga jual LCGC paling tinggi Rp 95 juta berdasarkan lokasi kantor pusat Agen Pemegang Merek. Mengenai besaran harga disebutkan, dapat disesuaikan apabila terjadi perubahan pada kondisi atau indikator ekonomi yang meliputi besaran inflasi, kurs nilai tukar Rupiah dan/atau harga bahan baku. Untuk penyesuaian harga berdasarkan penggunaan teknologi transmisi otomatis maksimum sebesar 15%, sedangkan untuk penggunaan teknologi pengaman penumpang maksimum sebesar 10%”.
Hal-hal diatas ini sudah diramaikan dengan berbagai pendapat dan kampanye oleh sejumlah menteri, seperti Menko Perekonomian, Menperin, dll. Mereka mengatakan tujuan program LCGC berupa masuknya investasi besar, terciptanya tambahan lapangan kerja, munculnya ribuan bisnis turunan dan terciptanya mobil murah yang ramah lingkungan. Menperin pun menambahkan LCGC digulirkan guna meningkat volume ekspor dan menghadapi dibukanya perdagangan bebas antar negara ASEAN (AEC).
Selain itu, menteri-menteri pendukung kebijakan ini juga mengatakan bahwa LCGC akan lebih banyak dipasarkan di luar Jabodetabek, LCGC didesian hanya untuk menggunakan pertamax/aRON-92 sebagai BBM-nya, LCGC akan mengurangi penggunaan BBM bersubsidi, sehingga menghemat anggaran subsidi APBN (***BERSAMBUNG).
Published at :