PENAMBANGAN PASIR TIMAH DAN KEKERUHAN PESISIR PULAU BANGKA
Oleh SHIDARTA (Januari 2014)
Akhir tahun 2013, saya berkesempatan mengunjungi satu lokasi pantai yang pernah menjadi tempat favorit saya sewaktu remaja. Letaknya sekitar 12 km dari ibukota Provinsi Bangka-Belitung. Pantai Batu Belubang namanya. Salah satu titik pantai yang saat ini paling banyak dikunjungi di kawasan ini bernama Pantai Telapak Antu. Batu Belubang sebenarnya adalah nama sebuah desa di wilayah kecamatan Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah. Sebelum pemekaran daerah, desa ini menjadi bagian dari dua desa, yaitu Benteng dan Tanjung Gunung.
Bagi mereka yang terbiasa dengan kehidupan laut, pantai ini sebenarnya tidak cukup menarik. Dibandingkan dengan dua puluh tahun lalu, memang jalanan beraspal sudah makin banyak menghubungi satu desa ke desa yang lain. Sebuah resort tampak sedang dibangun di lokasi tersebut, tetapi jalan masuknya ke areal ini masih berupa jalanan dari tanah merah yang berlumpur di musim penghujan. Jalan becek ini memang relatif pendek jaraknya dari jalan utama yang menjadi pintu masuk ke lokasi, tetapi lebarnya terasa kurang memadai untuk lintasan dua kendaraan yang berpapasan. Di samping itu, perumahan penduduk makin merapat di kiri kanan jalan membuat kesan sesak dan kurang nyaman dilewati.
Batu-batu granit besar jelas sudah banyak berkurang, sangat mungkin akibat digerogoti tangan-tangan jahil yang menambangnya secara liar. Kendati demikian, eksotika sebuah pantai masih cukup menjanjikan, khususnya bagi turis dari luar pulau yang lebih mengenal pantai-pantai polos tanpa ornamen bebatuan.
Hal yang paling kontras membedakan pantai ini sekarang dan satu dekade ke belakang adalah kejernihan airnya. Pengerukan pasir timah di sejumlah titik di sekeliling pulau telah merusak pemandangan di sepanjang pesisir. Sisa-sisa bagan apung tambang inkonvensional yang di daerah ini lebih dikenal dengan sebutan “bagan poton” terlihat dibiarkan teronggok begitu. Bangkai bagan poton ini merupakan saksi bisu betapa ulah kaum penambang ini telah merusak pemandangan alam Batu Belubang. Ombak yang menyentuh bibir pantai berwarna keruh kecoklatan. Kekeruhan ini sebenarnya juga sangat mudah ditangkap dengan mata telanjang bagi siapapun yang akan lepas landas atau bersiap mendarat di bandara Depati Amir Pangkalpinang.
Lalu lalang kapal keruk penghisap pasir juga terlihat dari pinggir pantai. Konon teknologi terkini kapal keruk tersebut mampu menghisap pasir timah di kedalaman 60 meter dari permukaan laut. Akibatnya dapat diduga. Pantai-pantai Bangka akan terancam abrasi akibat cerukan pasir hasil pengerukan itu bakal menarik pasir dari area pesisir. Padahal, hasil survei terakhir menunjukkan ada sekitar 250 ribu ton cadangan timah tersimpan di lepas pantai pulau ini, sehingga dapat dipastikan aktivitas pengerukan seperti ini masih akan berjalan lama.
Rusaknya ekosistem pantai telah berdampak sangat luas. Pantai Batu Belubang yang dulu dikenal sebagai salah satu lokasi pendaratan perahu-perahu nelayan tradisional dan sentra ikan segar, tampaknya bakal menyimpannya sebagai kenangan sejarah masa lampau. Saat saya berkunjung ke sana di pagi hari, hanya tersisa satu dua perahu kecil nelayan yang menambatkan diri di sana. Dapat dipastikan, akibat keruhnya air laut ini, pemilik perahu ini harus mencari ikan tangkapan makin jauh dari desa asal mereka. Demikian juga bagan apung dan bagan tegak yang mereka bangun sebagai sarana konvensional pencarian ikan di daerah ini, makin terdesak ke luar pulau, sehingga berimplikasi pada naiknya biaya operasional seperti bahan bakar minyak dan konsumsi.
Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, istilah “wilayah pesisir” diberikan untuk daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Terlepas dari adanya putusan uji material terhadap undang-undang ini di Mahkamah Konstitusi pada Juni 2011, sebenarnya peraturan ini termasuk salah satu undang-undang yang dipersiapkan secara serius dengan itikad baik membangun tata kelola wilayah pesisir secara lebih koordinatif. Peraturan tentang pesisir ini juga sudah digodok cukup lama, dengan melibatkan banyak pihak. Saya beberapa kali ikut terlibat dalam tahap-tahap awal penggagasan undang-undang ini, yakni dalam posisi tenaga konsultan untuk the Indonesian Coastal Resource Management Project (CRMP) periode II yang dibiayai oleh USAID sekitar tahun 2003-2004. Dalam rapat-rapat dengan tim dari Departemen (sekarang Kementerian) Kelautan dan Perikanan, Kehutanan, dan Bappenas, selalu saja muncul isu-isu yang mengindikasikan arogansi sektoral terkait institusi mana yang paling berwenang mengelola wilayah pesisir ini. Misalnya saja, apabila ada hutan bakau (mangrove) di sepanjang pesisir tersebut, apakah hutan ini menjadi domain Kementerian Kehutanan atau Kementerian Kelautan dan Perikanan?
Aktivitas penambangan lepas pantai yang makin marak di era otonomi daerah, seperti diceritakan di muka, juga makin memperumit persoalan rebutan kewenangan tadi. Kementerian yang mengurusi pertambangan pun harus dimintai perhatian. Demikian juga dengan Pemerintah Daerah yang merasa perlu mengais rezeki dari upaya pengerukan pasir timah ini. Perusahaan PT Timah Persero yang kian agresif menggandeng penambang-penambang swasta skala kecil (TI) menambah lagi benang kusut persoalan.
Jadi, kunci persoalan sebenarnya terletak pada koordinasi dan ketepatan meletakkan prioritas kepentingan. Semua instansi yang bergerak dalam bidang kelautan, perikanan, kehutangan, pertambangan, ada di bawah kekuasaan negara, sehingga seyogianya ada kesempatan luas bagi pemegang kekuasaan negara untuk mengatur semua aktivitas penambangan pasir timbah ini agar dapat meminimalkan kerusakan lingkungan. Prioritas kepentingan harus diletakkan pada kemanfaatan jangka panjang, tidak hanya pada target-target keuntungan finansial jangka pendek.
Tidak dapat dihindari bahwa aktivitas pertambangan pasti memberi dampak buruk bagi lingkungan alam dan sosial. Masyarakat Pulau Bangka, Belitung, dan pulau-pulau lain di sekitarnya, selama berpuluh-puluh tahun telah mencoba berkompromi dengan semua akibat keganasan tangan-tangan manusia mengupas dan menyedot lapisan kulit bumi ini, baik di darat maupun di laut. Entah sampai kapan mereka harus menanti sampai keganasan ini dihentikan dan ombak Pantai Batu Belubang kembali menjadi jernih. (***)