Kekerasan Seksual (Online) pada Anak di Indonesia: Sebuah Respon atas Kebijakan Negara
Oleh AHMAD SOFIAN (Januari 2014) [i]
Laporan KPAI yang bertajuk “Kekerasan Seksual dan Pornografi pada Anak” menyoroti tentang berbagai fakta kekerasan seksual pada anak dan pornografi yang terjadi di Indonesia. Laporan ini juga menyoroti upaya-upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak termasuk KPAI dalam mengatasi masalah ini termasuk kebijakan dan produk legislasi yang telah dibuat. Selanjutnya laporan ini memaparkan berbagai gaps dan tantangan yang dihadapi serta rekomendasi untuk menanggulangi masalah ini. [ii]
Terhadap laporan ini ada beberapa aspek yang perlu dikritisi dan dipertajam. Pertama mengenai pilihan isu. Isu kekerasan seksual pada anak memang menjadi sebuah masalah yang beberapa tahun terakhir ini meningkat baik jumlah maupun skalanya. Negara dianggap gagal dalam melindungi anak-anak sehingga kekerasan ini terus menerus berlangsung. Isu kekerasan seksual anak seharusnya diikuti juga dengan praktek eksploitasi seksual anak, karena dalam dokumen insternasional lebih me-release penggunaan praktek eksploitasi seksual anak dan penyalahgunaan seksual pada anak ketika anak-anak menjadi korban kekerasan seksual. [iii] Eksploitasi seksual anak pun merupakan pelanggaran berat terhadap hak-hak anak berupa penggunaan kekerasan dan anak dijadikan objek seksual dan objek komoditas secara terus menerus yang meliputi praktek-praktek pelacuran anak, pornografi anak, perdagangan seks anak dan pariwisata seks anak. [iv] Lalu berdasarkan Opsional Protokol tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan Pornografi Anak telah juga didefiniskan tentang ketiga bentuk eksploitasi seksual anak tersebut.[v]
Dalam ulasan di bawah ini, penulis menyoroti aspek-aspek dari kekerasan seksual anak yang belum disoroti dalam laporan KPAI ini. Kekerasan seksual online pada anak menjadi trend baru di banyak Negara termasuk Indonesia. Praktek ini telah menyebabkan anak mengalami eksploitasi yang sistemik. Anak dijadikan komoditas seks komersial. Kekerasan seksual online pada anak sejalan dengan pesatnya perkembangan internet dan Indonesia menjadi salah satu negara dengan pengguna internet terbesar di dunia. Hal ini terlihat dari hasil survey oleh internetworldstat.com pada tahun 2012, Indonesia masuk sepuluh besar pengguna internet terbesar di dunia.[vi] Kebebasan mengakses internet di Indonesia tentunya membuat semua lapisan masyarakat dengan berbagai level pendidikan dapat secara mudah mengakses internet. Hal ini menimbulkan munculnya masalah-masalah baru bagi Indonesia. Salah satunya masalah yang belakangan banyak terkuak, yaitu kekerasan seksual terhadap anak-anak yang muncul secara online. Kekerasan seksual terhadap anak secara online ini termasuk masalah baru yang menjadi perhatian beberapa kalangan, baik kalangan pemerintah maupun non-pemerintah. Beberapa kawasan di Indonesia yang banyak terjadi kasus kekerasan seksual online adalah Bandung, Jakarta dan Surabaya, Bali dan Batam
Kekerasan seksual online menjadi bagian dari kekerasan seksual pada umumnya yang menggunakan perangkat online sebagai media, misalnya, media sosial digunakan sepenuhnya untuk mengekspos foto anak-anak telanjang untuk kepentingan seksual, misalnya, chatting atau aktivitas online lainnya yang sengaja digunakan untuk menjajakan seks anak-anak. Dengan perkataan lain kekerasan seksual online merupakan bentuk kekerasan yang terjadi melalui penggunaan tehnologi komputer atau tehnologi yang berbasiskan informasi. Tehnologi ini telah membuat anak-anak mengalami paparan kekerasan dengan ditransimisikan atau ditampilkannya gambar anak-anak secara seksual atau yang mengandung unsur seksual, bahkan kerap kali anak-anak dibujuk/dipaksa melakukan hubungan seksual dengan perantara tehnologi ini. Bentuk yang terakhir ini sering disebut dengan cyber sex.
Situasi dan Trend-nya
Kekerasan seksual online yang dapat terjadi melalui situs-situs pornografi, Jakarta menjadi salah satu pusat suburnya pertumbuhan kekerasan ini. Nawala, sebuah yayasan non-profit yang bergerak di bidang penapisan situs-situs berbahaya, menemukan aktivitas online berbau pornografi di Indonesia. Meskipun Yogyakarta yang menjadi kota pengakses situs pornografi tertinggi, Jakarta tetap menempati posisi pertama sebagai pengakses situs-situs berbahaya secara keseluruhan di mana pornografi juga termasuk menjadi bagiannya.[vii] Jakarta menempati posisi pertama dari 50 kota teratas yang mengakses situs-situs berbahaya di mana Indonesia berada di posisi pertama dari 50 negara pengakses situs berbahaya teratas di dunia.[viii] Sementara itu, berdasarkan pencatatan Nawala, ada 647.622 situs pornografi (termasuk pornografi anak) yang ditapis per 4 Juli 2013 oleh yayasan tersebut.[ix] Namun, jumlah situs-situs pornografi tetap terus bertambah setiap saat.
Sementara itu, data keseluruhan mengenai korban kekerasan seksual online pada anak di Jakarta sulit didapat. Data yang ada biasanya hanya didapatkan melalui laporan dan pemberitaan. Kesulitan ini disebabkan kekerasan seksual tersebut juga banyak terjadi di ruang privat. Ruang privat yang dimaksud salah satunya melalui fasilitas chatting. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Nielsen terhadap perilaku konsumen Indonesia, dari rata-rata 189 menit per hari dalam menggunakan ponsel pintar, 94% dilakukan untuk chatting.[x] Melalui perangkat chatting ini, anak-anak mudah menjadi korban sexting, yaitu interaksi melalui teks maupun gambar atau video yang berbau seksual tanpa diketahui oleh orang lain.
Dalam penggunaan jejaring sosial, salah satunya facebook, anak-anak juga rentan mengalami kekerasan seksual online. Salah satu kasus terungkap bahwa seorang anak berusia 16 tahun di Cijantung, Jakarta Timur, diperkosa beramai-ramai setelah sebelumnya pernah berkenalan dengan pelaku melalui jejaring sosial ini. Disamping itu kekerasan seksual online juga digunakan untuk menjual anak-anak secara online. Fakta ini ditemukan di Surabaya, kasus trafficking melalui media online yang ditangani oleh sebuah LSM di Surabaya sebanyak 6 kasus.[xi]
Semakin tahun kejahatan seksual online pada anak semakin meningkat dengan berbagai macam varian kejahatan seperti prostitusi online, pornografi anak online, penculikan anak, pelecehan seksual anak. Jejaring sosial seperti facebook dan twitter kini menjadi modus baru dalam perdagangan seks online. Tidak lagi hanya dengan iming-iming pemberian uang, modusnya sekarang berubah menggunakan teknologi. Dunia maya kini jadi entry point untuk memperluas trafficking.[xii] Blackberry Messenger dan berbagai bentuk fitur messenging juga dapat menjadi instrumen pelaku dalam melakukan kejahatan seksual online pada anak.
Trend ini pun merebak hampir di seluruh wilayah Indonesia, dan lembaga-lembaga Negara seolah “tertidur pulas”. Hal ini membuat anak-anak berada dalam situasi yang “gawat darurat” (meminjam istilah KPAI) sehingga trend ini tidak bisa dibiarkan berlangsung, karena akan membuat sindikasi ini semakin memperluas jaringannya dan korban akan semakin bertambah banyak.
Respons dan Legislasi Nasional
Belum terlihat langkah-langkah sistemik yang dkembangkan oleh Pemerintah dalam mengatasi masalah kekerasan seksual online ini. Penegak hukum yang harusnya menjadi “panglima” dalam pemberantasan masalah ini, terbentur dengan berbagai kendala internal yang mereka miliki. Kementerian Informasi dan Komunikasi pun terkesan seperti “pemadam kebakaran”. Kementerian-kementerian lain “menganggap” isu ini belum dikenal luas oleh masyarakat sehingga bukan “PR” yang harus dituntaskan.
Sementara itu, produk legislasi yang ada pun harus dikritisi. Jika dievaluasi, yang berhasil ditangani oleh polisi dengan jumlah insiden yang terjadi, terdapat gaps yang tinggi. Hanya ada beberapa kasus yang berhasil ditangani oleh Polri (sesuai dengan data yang dipaparkan dalam laporan KPAI), sementara insiden yang terjadi di Indonesia menurut sebuah laporan ada lebih dari 18.000 kasus kekerasan online pada anak tahun 2012[xiii].
Beberapa produk legislasi yang sudah dilahirkan masih belum belum efektif dalam mengatasi masalah ini. Antara Undang-Undang ITE, Undang-Undang Pornografi, Undang-Undang Perlindungan Anak masih belum sinkron dengan KUHAP sehingga menyulitkan penegak hukum membuktikan kasus kekerasan ini. Ketiga undang-undang di atas juga perlu diharmonisasikan dengan Undang-Undang No. 10/2012 tentang Ratifikasi Opsional Protokol mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak karena dinilai masih belum mendefinisikan dan mengkriminalkan pembeli seks anak, dan belum memberikan penghormatan pada harkat dan martabat anak sebagai korban kekerasan seksual.
Produk legislasi nasional memberikan ancaman hukuman yang cukup tinggi kepada pelaku kejahatan seksual anak, tetapi undang-undang tersebut menimbulkan masalah baru karena kesulitan tehnis yang dihadapi oleh penegak hukum dalam membuktikan perbuatan dan kesalahan pelaku.
Produk legislasi di atas juga memberikan perlindungan kepada korban, namun tidak memberikan jaminan hukum atas proses pemenuhan hak-hak korban yang sudah dilanggar oleh pelaku. Menempatkan pelaku ke dalam penjara tanpa mempertimbangkan tanggung jawab pelaku dalam pemulihan korban belum dianggap sebagai sesuatu yang adil. Hak-hak korban harus “direcovery” secara hukum oleh pelaku dengan jaminan Negara. Karena itu Negara wajib memberikan jaminan yang komprehensif dan terukur terhadap proses pemulihan, rehabilitasi dan reintegrasi korban sehingga korban bisa pulih dan kembali pada kehidupan normal. Negara yang wajib mengambil alih proses ini karena Negara pun gagal melindungi anak-anak dari kekerasan seksual dan gagal membuat legislasi yang harus memenuhi hak-hak korban yang tercerabut akibat kekerasan seksual yang sistemik.
Rekomendasi
- Meskipun hukum nasional sudah cukup dalam melindungi anak-anak dari kekerasan seksual, namun para penegak hukum masih memiliki kendala dalam melakukan penyidikan dan penuntutuan terhadap kekerasan seksual. Karena itu, Negara harus meningkatkan kapasitas para penegak hukum ini agar lebih terlatih menangani kasus-kasus kekerasan seksual, mereka juga perlu memiliki sensitvitas terhadap korban sehingga lebih sungguh-sungguh bekerja, adanya fasilitas yang handal sehingga dapat dengan mudah mengenali kejahatan ini, disamping penambahan unit cyber crime dibeberapa kota yang dinilai kadar kejahatan seksualnya tinggi.
- Banyak analis hukum mengatakan bahwa hukum nasional Indonesia khususnya yang mengatur dan melindungi anak, masih “bertubrukan” dengan hukum acaranya (KUHAP), sehingga acap kali terjadi benturan dalam melindungi hak-hak korban. Hukum acara kita masih berpihak pada perlindungan hak-hak pelaku (offender oriented) dan belum berpihak pada perlindungan korban (victim oriented). Dengan demikian perlu ada “perombakan” dan “pembongkaran” besar-besaran terhadap hukum acara ini, sehingga hak-hak korban kekerasan seksual dijamin sepenuhnya oleh negara.
- Setelah Indonesia meratifikasi Optional Protokol Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak, dan Pornografi anak melalui Undang-Undang No. 10/2012 belum ada langkah-langkah legislasi nasional untuk melakukan harmonisasi dalam hukum perlindungan anak di Indonesia. Hukum nasional di bidang perlindungan anak dibiarkan ‘berserakan” dan “kehilangan arah”. Sehingga negara tidak memberikan jaminan perlindungan yang maksimal terhadap upaya pencegahan, perlindungan, pemulihan, reintegrasi korban kekerasan seksual anak. Dengan demikian perlu ada program legislasi nasional yang menyeluruh dalam melindungi anak-anak dari kekerasan seksual dan menjamin hak-hak mereka terpenuhi termasuk adanya kerjasama yang riil dari berbagai komponen dan stakeholder kunci. Program legislasi ini akan mampu merubah paradigma perlindungan anak yang selama terpenggal-penggal dalam berbagai legislasi nasional.
- Menjamin tersedianya pusat-pusat rehabilitasi terhadap korban kekerasan seksual anak di setiap kota di Indonesia yang pengelolaannya dapat dilakukan bersama-sama dengan komponen-komponen terpilih di masyarakat yang memiiki kepeduliaan terhadap pengasuhan, pemulihan masa depan anak. Pusat-pusat rehabilitasi ini harus dikelola secara profesional dengan anggaran yang mencukupi sehingga negara memberikan jaminan pemulihan yang seimbang. Pusat-pusat rehabilitasi ini perlu diintegrasikan dengan peran penyidik dan peran-peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
- Sektor swasta merupakan salah satu mitra kunci dalam memerangi kekerasan seksual ini, sehingga negara tidak membiarkan mereka menjadi “penonton” dan “pendengar” terhadap berbagai praktek kekerasan seksual anak. Mereka perlu didorong dalam memberikan tanggapan, meningkatkan kesadaran mereka dalam berpartisipasi mencegah, menanggulangi masalah kekerasan seksual anak. Ada kode etik atau hukum yang perlu diterapkan kepada mereka agar tidak memfasilitasi terjadinya kekerasan seksual pada anak. Industri telekomunikasi, penyedia layanan internet, industri pariwisata termasuk sektor swasta yang sering bersentuhan dengan praktek-praktek kekerasan seksual pada anak. Mereka harus memiliki aturan untuk menolak menjadi “tuan rumah” bagi kekerasan seksual (online) pada anak, mereka juga didorong untuk melaporkan kasus-kasus kekerasan seksual pada anak yang mereka ketahui, mereka juga harus memiliki software atau hardware yang dapat mengenali kekerasan seksual online pada anak dan melaporkannya, mereka juga didorong untuk memiliki program corporate social responsibility dalam memulihkan korban di daerah wisata.
- Kementrian Komunikasi dan Informasi memiliki peran strategis dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual online. Peran ini sudah mereka lakukan, namun penapisan terhadap konten seksual online ternyata hanya sebatas pada konten-konten yang mereka berhasil pantau. Kebijakan menyeluruh dalam melindungi anak-anak dari ancaman kekerasan seksual online belum sepenuhnya berhasil dirumuskan mekskipun kementerian ini faham betul apa yang harus dilakukan. Karena itu, kementerian ini perlu dimotivasi agar sungguh-sungguh menjalankan mandat sebagai institusi negara untuk mencegah kekerasan seksual online pada anak.
Penutup
Sebuah “blueprint” Negara untuk menanggulangi kekerasan seksual anak perlu segera dijalankan. Menunggu terlalu lama, sama artinya “menggadaikan” anak-anak negeri ini kepada pemangsa yang berseliweran di sekitar mereka.
[i] Ahmad Sofian adalah dosen d Program Business Law, Binus University dan saat ini juga bekerja di ECPAT Indonesia. Makalah ini disampaikan beliau dalam Sidang HAM ke-3, yang diadakan oleh Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan KPAI tanggal 12 Desember 2013.
[ii] Badriyah Fayumi, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 5 Desember 2013
[iii] Pasal 34 Konvensi Hak Anak
[iv] Stockholm Declaration, 1996 “First World Congress against Commercial Sexual Exploitation of Children
[v] Indonesia meratifikasi opsional protocol ini pada tanggal 23 Juli 2012 melalui Undang-Undang No. 10/2012. Dalam Undang-Undang yang diratifikasi ini disebutkan bahwa selambat-lambatnya dua tahun setelah ratifikasi, Pemerintah Indonesia harus menyampaikan laporan kepada Komite Hak Anak PBB.
[vii] REP. “Nawala: Yogyakarta Tertinggi dalam Mengakses Situs Pornografi, Jakarta untuk Situs Perjudian. http://teknologi.kompasiana.com/internet/2013/05/26/nawala-yogyakarta-tertinggi-dalam-mengkases-situs-pornografi-jakarta-untuk-situs-perjudian-559484.html.
[viii] Sekilas DNS Nawala. Rilis Nawala. http://nawala.org.
[ix] Ibid
[x] Noor, Ahmad Rouzni. “Indonesia Keranjingan Chatting”. http://inet.detik.com/read/2013/08/12/073032/2327064/398/indonesia-keranjingan-chatting.
[xi] Informasi dari Edward Dewaruci dan Muhammad Umar dari Surabaya Children Cricis Center yang pernah diwawancarai pada tanggal 30 Juli 2013.
[xii]Situs Jejaring Sosial Perluas Trafficking, diunduh melalui, http://www.aidsindonesia.or.id/news/4538/3/12/04/2012/Situs-Jejaring-Sosial-Perluas-Trafficking#sthash.fq3hcNR3.dpuf
[xiii] Jefwu, dalam sebuah seminar “Sexual Abuse Online of Children in Southeast Asia” di Oktober, 2012 di Bali.
Published at :