Destruksi Estetika Ruang Publik
Oleh SHIDARTA (Januari 2014)
Era otonomi daerah yang bergulir sejak era reformasi menawarkan pola transaksi politik yang unik. Calon anggota legislatif di pusat dan daerah atau calon pejabat eksekutif yang sedang berkompetisi di ajang pemilihan, berebut ruang publik guna menawarkan diri dengan jargon-jargon klise. Hampir semua peluang dimanfaatkan untuk memajang poster-poster setengah badan. Gelar-gelar akademik, kyai atau haji, tidak lupa dipasang melengkapi nama-nama yang biasanya sudah lumayan panjang. Tidak lupa, figur-figur sentral dari masing-masing partai diikutsertakan. “Mohon doa dan dukungannnya” adalah seruan yang paling umum ditemui. Yang lain menulis, “Amanah dan peduli rakyat” atau “Insya Allah amanah!”
Di kota Medan, misalnya, hampir semua becak bermotor (betor) kini dihiasi kain terpal dengan motif foto berbagai calon anggota badan legislatif. Tidak ada lagi yang menarik dari betor yang konon diklaim sebagai ciri keunikan kota Medan ini. Bagi mereka yang berkantong tebal, tempat mejeng-nya dipilih lebih strategis, yakni pada perempatan jalan atau di dekat lampu lalu lintas, dengan asumsi pelintas jalan akan lebih mudah menyimak wajah-wajah penuh harap tersebut.
Secara hukum, memang tidak ditemukan ada larangan bagi setiap calon untuk memasarkan diri dalam ajang pemilihan jabatan publik. Persoalan baru muncul apabila ruang-ruang publik menjadi rusak atau tercemar karena cara dan bentuk pemasaran tersebut. Estetika kota menjadi hilang karena disesaki poster-poster bernada klise yang sama sekali tidak menjual ide-ide kreatif dan bernas. Lalu apa yang harus dilakukan?
Pertama, otoritas yang paling mumpuni untuk mengatur dan menertibkannya adalah pemerintah daerah. Urusan seperti ini tidak ada gunanya jika diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum di pusat atau daerah. Mereka terbukti bukan regulator yang baik dalam hal ini, dan jelas bukan pula eksekutor. Cukuplah ini menjadi urusan Pemda. Agar tersedia ruang ekspresi bagi calon-calon pejabat publik ini, maka “terpaksa” ada ruas-ruas jalan kota yang harus dikorbankan. Artinya, mereka boleh memasang poster di sana, dengan ukuran dan ketinggian yang dipersyaratkan. Jika ukurannya sangat besar, maka pemasangannya harus pula dengan izin khusus agar keamanannya dapat ikut diperhatikan. Banyaknya ruas jalan yang boleh dipasang poster, sebaiknya tidak lebih dari lima. Di luar itu, mereka boleh beriklan melalui media massa atau media jejaring sosial. Ruas jalan protokol berstatus jalan provinsi dan jalan negara, sebaiknya bebas dari tempelan poster-poster ini.
Kedua, tiang listrik, tiang telepon, dan pohon-pohon peneduh jalan tidak boleh ikut dibebani dengan poster-poster ini. Demikian pula dengan moda angkutan yang dikelola oleh badan usaha milik daerah atau negara. Tidak ada salahnya apabila Pemda membangun papan-papan pajangan khusus di sejumlah lokasi strategis pada ruas-ruas jalan kota. Papan-papan ini bisa disewakan dalam jangka waktu tertentu, sehingga berpotensi menuai pendapatan daerah. Sementara itu, moda angkutan kota yang dikelola oleh badan usaha milik daerah atau negara, tidak diperkenankan menerima pemasangan poster-poster tersebut. Disadarai bahwa sangat sulit bagi Pemda untuk mengawasi moda-moda angkutan yang dikelola oleh perorangan atau perusahaan swasta, mengingat pemilik moda demikian terkadang membutuhkan uang sebagai kompensasi dari pemasangan poster-poster itu di kendaraan mereka.
Ketiga, calon-calon pemegang jabatan publik yang tetap membandel dengan mendestruksi estetika ruang-ruang publik ini, harus berani untuk diumumkan ke hadapan publik. Petugas satuan polisi pamong praja (Satpol PP) diberi kewenangan untuk menandai poster-poster ini, misalnya dengan tanda tertentu dan membiarkannya selama beberapa hari. Intinya, tanda ini memberi petunjuk bagi pengguna jalan untuk mengenal calon-calon pejabat publik mereka yang telah melanggar aturan dan hal ini bisa menjadi kampanye negatif bagi diri yang bersangkutan. Biarkan poster-poster yang dipajang secara sembarangan ini dibersihkan sendiri oleh mereka yang memasangnya. Barulah setelah beberapa lama, apabila belum dibersihkan sendiri, maka Satpol PP dapat menyingkirkannya. Para perusak estetika ruang publik ini, apabila terus membandel (baca: ‘narsis’), perlu dimasukkan ke dalam daftar “calon bermasalah” dan daftar demikian merupakan bagian dari rekam jejak (track record) yang akan mewarnai perjalanan karir yang bersangkutan.
Apa yang dirintis oleh Gerakan Merti Kutha di Yogyakarta berupa pembersihan sampah-sampah visual di jalan-jalan raya, misalnya, menjadi bukti bahwa aksi menumpas perusak estetika ruang publik ini bukan hal yang tidak mungkin untuk dilaksanakan di kota-kota lain di Indonesia. Apabila warga biasa di Yogyakarta bisa menggugah banyak orang untuk ikut terlibat, maka seharusnya Pemda di tiap-tiap kota bisa lebih serius untuk menjalankan dengan otoritas penuh di tangan. Paling tidak, tindakan Pemda ini bisa mencegah gerakan vigilante seperti ini bermuara ke gesekan-gesekan sosial yang tidak perlu. (***)
Published at :