FGD MENYONGSONG AMANDEMEN KE-5 UUD 1945
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bekerja sama dengan Komisi Yudisial (KY) pada tanggal 5 Desember 2013 di Puri Denpasar, Jakarta, telah mengadakan focused group discusson tentang penguatan KY menyosong amandemen ke-5 UUD 1945. Tema yang diangkat adalah “Urgensi Penguatan Komisi Yudisial sebagai Penyeimbang Lembaga Kekuasaan Kehakiman”. Dr. Shidarta diundang mewakili Business Law, Binus University, menjadi pembahas. Para narasumber yang diundang antara lain Prof. Dr. Satya Arinanto, Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, Dr. Frans Hendra Winarta, Dr. Anthon F. Susanto, Dr. Widodo Dwi Putro, Dr. Imam Anshory, Dr. Jaja Ahmad Jajus, dan sejumlah pimpinan teras MPR, DPR, dan DPD.
Pada kesempatan tersebut Binus University mengusulkan agar ketetapan MPR tidak ditempatkan sebagai jenis peraturan perundang-undangan “sementara” sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 12 Tahun 2011. Dalam penjelasan Pasal 7 undang-undang tersebut, ketetapan MPR yang dimungkinkan adalah ketetapan-ketetapan yang disebutkan dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR No. I/MPR/2003. Padahal, menurut Dr. Shidarta yang menjadi salah satu pembahas dalam acara itu, penjelasan itu telah merestriksi ketetapan MPR. Akibatnya, MPR tidak dapat lagi memproduksi ketetapan baru yang bersifat regeling. Pencantuman norma baru di dalam penjelasan juga dinilainya telah menyalahi teori perundang-undangan.
Apabila Komisi Yudisial ingin mengembalikan kewenangannya mengawasi hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi, maka tidak harus kewenangan itu dicantumkan dalam UUD 1945, melainkan cukup dalam ketetapan MPR. Hanya saja perlu diingat, bahwa di dalam salah satu pasalnya harus ditegaskan bahwa MK tidak boleh lagi menguji undang-undang yang materi muatannya berkaitan dengan dirinya sendiri. (***)