JURNAL PERKULIAHAN
Mencatat kuliah adalah suatu teknik yang harus dikuasai oleh setiap mahasiswa. Di Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) BINUS, mahasiswa dilatih tidak sekadar mencatat apa adanya isi perkuliahan yang diberikan oleh dosen, melainkan juga menjadikan catatan itu sebagai sebuah jurnal perkuliahan. Pada jurnal perkuliahan itu terdapat empat bagian: (1) DESKRIPSI, yang berisi paparan tentang apa yang didapatkan dari penjelasan dosen di muka kelas; (2) REFLEKSI, yaitu tambahan materi yang dicari sendiri oleh mahasiswa, sesuai dengan topik yang dibahas oleh dosen pada minggu tersebut; (3) REFERENSI, yaitu kepustakaan yang digunakan oleh mahasiswa, misalnya dari buku teks dan informasi online terkait dari tambahan materi yang dilakukannya; dan (4) DISKUSI, yakni pertanyaan-pertanyaan kritis yang wajib diajukan oleh mahasiswa sehubungan dengan materi yang telah dibuatkan jurnal ini.
Berikut ini adalah contoh dari sebuah jurnal perkuliahan.
JURNAL PERKULIAHAN
Mata Kuliah : Hukum Perlindungan Konsumen
Dosen : Dr. Shidarta, S.H., M.Hum.
Tanggal : 21 Februari 2013 (Kuliah Minggu I)
Topik : Pengantar Hukum Perlindungan Konsumen
Subtopik : Definisi Konsumen
Metode : Tatap muka (F2F) dengan presentasi dan diskusi.
DESKRIPSI:
Konsumen adalah terminologi penting sebagai pintu masuk untuk mempelajari hukum perlindungan konsumen. Dengan memahami arti “konsumen” dapat ditetapkan apakah suatu peristiwa hukum dapat dimasukkan ke dalam area perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (disingkat UUPK).
Menurut Pasal 1 butir 2 UUPK, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa;ang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk lain dan tidak untuk diperdagangkan. Definisi ini menunjukkan bahwa konsumen yang dilindungi dalam UUPK adalah konsumen akhir (end user/ultimate consumer). Apa yang disebut “konsumen antara” (intermediate consumer), yaitu para agen, penyalur (distributor), dan pedagang lain di bawahnya, pada hakikatnya bukan konsumen sebagaimana dimaksud oleh UUPK. Mereka adalah pelaku usaha juga.
UUPK tidak memberi pernyataan tegas tentang siapa yang dimaksud dengan unsur “orang” ini. Di banyak negara, unsur “orang” dibatasi hanya pada orang perseorangan (orang natural), sementara badan usaha tidak termasuk di dalamnya. Lain halnya dengan unsur “pelaku usaha.” Ada pengertian yang tegas tentang siapa pelaku usaha menurut Pasal 1 butir 3 UUPK, yaitu setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dengan demikin, istilah “pelaku usaha” mencakup baik orang perserorangan maupun badan usaha. Sementara istilah “konsumen” tidak diberikan pembedaan demikian. Artinya, jika diinterpretasikan secara luas, konsumen dapat mencakup pula badan usaha.
Kata “pemakai” dalam definisi konsumen memberi penegasan kembali bahwa orang yang dilindungi sebagai konsumen dalam UUPK ini adalah konsumen akhir. Namun, hubungan hukum yang menjadi sebab dari posisi seseorang sebagai pemakai tidaklah harus berupa perjanjian jual-beli. Konsumen tidak sama dengan pembeli. Sebagai contoh, seseorang yang menerima hadiah (parsel) dari rekan bisnisnya, akan tetap memenuhi syarat sebagai konsumen selama ia menjadi pemakai.
Objek yang dipakai adalah barang dan/atau jasa. Menurut UUPK, barang adalah setiap benda baik berwujud rnaupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sementara jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
Satu unsur yang ditambahkan adalah “yang tersedia dalam masyarakat”. Unsur ketersediaan ini kembali mengaburkan makna konsumen karena barang/jasa yang dinikmati oleh konsumen dapat saja belum ada saat transaksi dilakukan. Sebagai contoh, seseorang yang hendak membeli apartemen untuk dihuni oleh keluarganya sendiri, sangat mungkin belum mendapati bangunan apartemennya. Ia harus membayar lebih dulu dan dijanjikan bangunan akan selesai beberapa bulan kemudian. Jadi, ketersediaan barang belum ada. Rasanya tidak adil apabila pembeli seperti ini tidak ikut dilindungi.
Unsur berikutnya adalah peruntukan dari barang/jasa yang dikonsumsi. Pemakai barang/jasa itu bisa diri si konsumen itu sendiri, namun bisa juga pihak lain, bahkan mahluk hidup lain. Hanya saja, UUPK ternyata memakai kata “kepentingan” yang bermakna abstrak. Misalnya, seseorang yang membeli makanan untuk kucing kesayangannya pada hakikatnya adalah konsumen menurut UUP, mengingat ia membeli makanan itu bagi kepentingan mahluk hidup lain (kucing). Sekalipun kucingnya yang menikmati makanan itu, orang ini tetap saja mempunyai kepentingan pribadi, yaitu ia berkepentingan memiliki kucing yang sehat. Artinya, ada sekian banyak kata yang mubazir ditambahkan di dalam definisi konsumen tersebut.
Kata-kata “tidak untuk diperdagangkan” sekali lagi mengkonfirmasi pengertian konsumen akhir. Orang yang membeli barang/jasa dan kemudian menjualnya lagi, harus dipersepsikan bukan konsumen akhir. Ia adalah konsumen antara. Namun, dalam praktik tetap terbuka celah penafsiran berbeda. Dosen memberikan contoh di kelas seorang yang membeli kompor dengan teknologi remote control. Beberapa waktu kemudian, seorang tetangganya tetarik dengan kompor ini. Karena didesak, pemilik kompor ini lalu menjual lagi ke tetangganya. Sayangnya, ketika dipakai beberapa waktu, kompor ini rusak. Apakah pembeli pertama kompor tadi tetap dapat mengklaim sebagai konsumen akhir menurut UUPK? Dalam konteks ini, sebenarnya sangat perlu diperhatikan apakah pembeli pertama kompor ini memang benar-benar secara rutin menjual benda tersebut (dan mendapat keuntungan dari kegiatan penjualan itu) atau hanya sekali itu saja secara insidentil.
Sebagai perbandingan, dalam Trade Practice Act di Australia (pertama kali diberlakukan tahun 1974), konsumen adalah
1. For the purpose of this Act, unless the contrary intention appears— (a) A person shall be taken to have acquired particular goods as a consumer if, and only if: (i) the price of goods did not exceed the prescribed amount; or (ii) where that price exceeded the prescribed amount—the goods were of a kind ordinarily acquired for personal, domestic or household use or consumption or the goods consisted of a commercial road vehicle, and the person did not acquire the goods, or hold himself out as acquiring the goods, for the purpose of re-supply or …etc.
2. For the purpose of sub-section (1) (a) the prescribed amount is $40,000 or, if a greater amount is prescribed for the purpose of this paragraph, that greater amount; …
Jadi, nilai transaksi konsumen (consumer protection) yang ditetapkan adalah sebesar Aus$40,000. Jika lebih dari nilai itu, posisi sebagai konsumen tetap dimungkinkan sepanjang barang yang dibeli masih tetap berada dalam lingkup barang kebutuhan domestik.
REFLEKSI:
Secara substantif, setelah mengikuti perkuliahan Minggu I ini, dapat disampaikan pandangan pribadi saya bahwa pengertian konsumen menurut UUPK ini ternyata tidak cukup komprehensif melindungi masyarakat konsumen. Sebaiknya ada revisi terhadap definisi ini, yakni dengan:
- mempertegas apakah subjek hukum yang dimaksud dengan konsumen itu adalah orang perseorangan ataukah juga dapat mencakup badan usaha;
- menghilangkan unsur yang tersedia dalam masyarakat;
- menghilangkan kata-kata yang berlebihan terkait kepentingan siapa yang ditujukan atas tindakan konsumsi itu.
Jika diperhatikan lebih cermat, saya berpendapat bahwa motif konsumsi atas suatu barang/jasa ternyata sangat menentukan. Orang yang semula membeli sebuah apartemen untuk dihuni sendiri, tetapi kemudian berubah pikiran dengan menyewakannya kepada pihak lain, dapat saja diasumsikan sudah kehilangan statusnya sebagai konsumen akhir. Jika hal seperti ini menjadi permasalahan hukum, akan sulit dicarikan alat buktinya, mengingat motif seseorang sangat mudah berubah-ubah.
Secara metodis, saya berpendapat dosen masih belum lengkap menjelaskan dengan memberikan contoh-contoh konkret. Akan lebih baik pula jika ada kasus yang didiskusikan di antara mahasiswa, sehingga pemahaman mahasiswa menjadi lebih mendalam.
REFERENSI:
- M. Sadar, Moh. Taufik Makarao, Habloel Mawadi. (2012). Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Edition 1. Akademia, Jakarta, bab I.
- Shidarta. (2006). Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Revised edition 2. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta, bab I.
DIKSUSI:
- Jika motif konsumsi dijadikan sebagai tolok ukur penentuan status seseorang sebagai konsumen akhir atau bukan konsumen akhir, bagaimana indikator pembuktiannya?
- Apakah masyarakat yang menikmati layanan publik dapat juga dianggap sebagai konsumen akhir dan dilindungi dengan UUPK?
Leave Your Footprint
-
nabawi sangat luar biasa koment yang di atas
-
Jajang Terima kasih banyak