Antisipasi Lembaga Penjamin Simpanan Terhadap Gugatan Konsumen Sektor Perbankan
Oleh: Dr. Shidarta, SH., M.Hum.
Terminologi ”konsumen” terlanjur dikenal masyarakat sebagai antonim dari ”produsen”. Istilah konsumen juga dipakai luas sebagai sebutan untuk semua subjek yang berhadapan dengan pelaku usaha, termasuk pelaku usaha dalam sektor perbankan.
Sejak era Pemerintahan Presiden B.J. Habibie, Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kelahiran undang-undang ini cukup fenomenal karena dibidani oleh DPR melalui hak inisiatifnya; sesuatu yang sangat langka pada era Orde Baru. Undang-undang hasil hak inisiatif DPR ini baru diberlakukan satu tahun sejak diundangkan, yakni pada tanggal 20 April 2000.
Ada yang menarik dari rumusan tentang kata ”konsumen” dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut. Dalam undang-undang ini dikatakan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Terkait dengan relevanasinya dalam tulisan ini, timbul pertanyaan: apakah setiap orang yang menjadi nasabah penyimpan dalam sektor perbankan dapat dimasukkan dalam kriteria konsumen?
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sendiri sebenarnya sangat berkepentingan untuk memastikan kejelasan kriteria ini. Ada beberapa alasan untuk menekankan kepentingan tersebut. Pertama, LPS adalah lembaga yang memiliki fungsi untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan pada perbankan. Menurut Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, LPS menjamin simpanan nasabah bank yang berbentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Apabila semua nasabah bank di atas dapat dikategorikan sebagai konsumen bank (terlepas istilah ”konsumen” ini sendiri tidak ditemukan dalam Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan itu), maka ada kemungkinan bahwa LPS pun suatu ketika dapat digugat dengan menggunakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Alasan kedua, dalam praktik ternyata ketidakjelasan kriteria konsumen ini memang telah menyentuh kepentingan sektor perbankan di Indonesia. Kendati sengketa tersebut belum sempat mengaitkan institusi LPS sebagai pihak tergugat/turut tergugat, bukan tidak mungkin pada suatu ketika LPS juga akan terimbas oleh sengketa-sengketa hukum perbankan. Tulisan ini perlu disampaikan antara lain dalam rangka mengantisipasi LPS dari kemungkinan gugatan demikian.
Ada satu contoh konkret yang dapat ditunjukkan untuk mendukung alasan kedua di atas. Seorang nasabah Bank Century, misalnya, pada Agustus 2009 telah berhasil memenangkan gugatannya melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Yogyakarta. Bank Century selaku pelaku usaha dinilai telah gagal memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur kepada konsumennya terkait pemasaran reksadana Antaboga. Terlepas bahwa reksadana ini tidak diakui oleh Bank Century sebagai produknya, majelis BPSK Yogyakarta tetap menilai Bank Century bertanggung jawab atas cara perdagangan jasa yang tidak melindungi konsumen tersebut. Poin dari permasalahan ini memang bukan terletak pada apakah produk reksadana ini termasuk dalam lingkup simpanan yang dijamin oleh LPS. Poin yang ingin ditunjukkan di sini adalah bahwa BPSK ternyata memperlakukan seorang penyimpan dana yang kebetulan ditawarkan melalui sektor perbankan, sebagai konsumen bank. Jika investor reksadana saja diperlakukan sebagai konsumen—sehingga Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat diberlakukan untuk kasus ini—bagaimana halnya dengan produk yang jelas-jelas dijamin oleh LPS seperti giro dan deposito? Adakah sesuatu yang salah dalam pemahaman tentang istilah konsumen dalam kasus ini?
Jika definisi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen diperhatikan baik-baik, maka sesungguhnya konsumen yang termasuk dalam lingkup yang dilindungi undang-undang itu hanyalah konsumen akhir (end consumer atau ultimate consumer). Konsumen adalah pemakai, baik barang maupun jasa, yang tidak diperdagangkan kembali. Dalam jasa perbankan, tidak semua nasabah penyimpan memenuhi kriteria sebagai pemakai (konsumen) akhir ini.
Seseorang yang datang ke bank untuk menyimpan uangnya, memiliki berbagai motif di benaknya. Ia mungkin membuka rekening tabungan hanya karena gaji bulanannya ditransfer melalui bank tersebut. Dari aspek ini, ia tidak memiliki motif apapun terkait besaran bunga yang ditawarkan pihak bank. Kelompok nasabah bank seperti ini adalah jenis nasabah penyimpan yang termasuk kriteria konsumen atau pemakai akhir sebagaimana dimaksudkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Oleh sebab itu, apabila bank tersebut tidak memberikan pelayanan yang baik, atau jika suatu ketika LPS tidak bersedia menjamin simpanannya, maka konsumen ini dapat saja menggugat bank atau LPS dengan menggunakan instrumen Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Lain halnya dengan nasabah penyimpan yang membuka tabungan dalam jumlah transaksi yang besar, dan kemudian menyimpannya dalam waktu relatif lama. Mereka ini harus dikecualikan dari kriteria konsumen akhir tersebut. Artinya, majelis hakim di pengadilan umum atau majelis BPSK, sudah dapat diyakinkan bahwa motif dari penyimpanan ini adalah untuk mencari keuntungan tertentu yang tidak lagi layak disebut pemakai akhir. Motifnya bukanlah sebagai konsumen menurut pengertian Undang-Undang Perlindungan Konsumen, melainkan lebih sebagai investor. Motif investasi ini juga berlaku bagi nasabah penyimpan dalam bentuk giro dan deposito. Dalam konteks ini, penyedia jasa sektor perbankan dan LPS layak untuk menolak penggunaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai dasar gugatan terhadap dirinya, apalagi jika gugatan ini diajukan melalui lembaga BPSK yang notabene didirikan atas pendelegasian Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Harus diakui bahwa motif (itikad) seseorang dalam mengikat perjanjian merupakan variabel yang tidak mudah dibuktikan. Perjanjian-perjanjian dalam sektor perbankan kerap tidak menganggap hal ini penting untuk dieksplisitkan. Padahal, jika tidak diantisipasi sejak awal, penyedia jasa sektor perbankan, termasuk LPS sebagai lembaga penjamin, memiliki risiko untuk digugat dengan instrumen hukum yang sejak awal memang didesain untuk lebih berpihak kepada nasabah, yaitu dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Antisipasi demikian juga perlu dilakukan mengingat kasus-kasus konsumen biasanya akan langsung menarik simpati publik. Belum lagi jika gugatan dilakukan secara bersama-sama, baik melalui mekanisme gugatan kelompok (class action), mekanisme hak gugat lembaga konsumen swadaya masyarakat (legal standing LPKSM), atau mekanisme hak gugat pemerintah (government action). Pada prinsipnya ketiga mekanisme ini dimungkinkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Penggugat yang terdiri dari atau mewakili masyarakat ini umumnya akan mudah mendapat dukungan media massa, sehingga akhirnya lembaga penyelesai sengketa (pengadilan atau BPSK) akan tergiring untuk menelurkan putusan-putusan yang cenderung populis.
Selain itu, perlu pula diingat bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen memiliki fungsi unik sebagai undang-undang payung (umbrella act) sekaligus sebagai undang-undang sektoral. Dalam fungsinya sebagai undang-undang payung, ia dapat digunakan untuk melingkupi undang-undang lain, termasuk Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan. Dengan perkataan lain, sebagai undang-undang payung, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat memposisikan diri sebagai undang-undang umum (lex generalis) terhadap undang-undang lain yang lebih khusus (lex specialis). Penafsiran tentang lex generalis dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen atas undang-undang sektor perbankan antara lain dapat ditemukan dalam bagian Penjelasan Umum Undang-Undang No. 8 Tahun 1999.
Dalam ilmu hukum dikenal satu asas penting bahwa undang-undang khusus dapat mengenyampingkan undang-undang umum (lex specialis derogat legi generali). Jadi, sebenarnya Undang-Undang Perbankan atau Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan dapat saja mencantumkan secara eksplisit aturan yang mengecualikan keberlakukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen untuk jenis-jenis simpanan yang tidak terkait dengan kepentingan konsumen akhir. Namun, tampaknya upaya demikian sangat menguras energi mengingat perubahan atas suatu undang-undang bukan pekerjaan mudah di negeri ini.
Solusi dan antisipasi yang lebih baik adalah dengan menerbitkan suatu klausula dalam perjanjian-perjanjian standar di lingkungan perbankan, yang di dalamnya dinyatakan bahwa nasabah penyimpan adalah konsumen sepanjang yang bersangkutan merupakan konsumen pemakai akhir jasa perbankan menurut ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pernyataan dalam klausula ini tidak dimaksudkan agar bank atau LPS mengelak dari tanggung jawabnya melindungi nasabah penyimpan, tetapi lebih untuk meluruskan kriteria konsumen yang terlanjur dipahami secara salah kaprah dalam masyarakat, termasuk di lingkungan aparat penegak hukum sendiri. Ini berarti, penyedia jasa sektor perbankan dan LPS harus tetap menghormati hak-hak konsumennya, dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen pun tetap dapat menyentuh sektor perbankan, tetapi tidak semua nasabah penyimpan layak menyebut dirinya sebagai konsumen akhir yang tunduk pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen. (*)