People Innovation Excellence

PANCASILA ITU ‘GRUNDNORM’ ATAU ‘VOLKSGEIST’?

Oleh SHIDARTA (Juli 2019)

Ada pertanyaan kunci yang kerap diajukan, yakni Pancasila itu jika dikaitkan dengan teori-teori besar yang lazim dipelajari di bangku-bangku kuliah filsafat hukum, menempati posisi yang mana: (1) sebagai Grundnorm (norma dasar) atau (2) sebagai Volksgeist (jiwa rakyat)? Karena istilah-istllah ini terlanjur berbau sangat akademis dan diserap dari bahasa asing, maka posisi-posisi itu harus dimintakan bantuan jawabannya dari para konseptor utamanya, yaitu posisi pertama melalui pemikiran Hans Kelsen (1881-1973), sedangkan posisi kedua melalui pandangan yang lebih lawas, yakni dari Friedrich C. von Savigny (1779-1861).

Apakah makna dari Grundnorm itu? Untuk itu kita bisa mencuplik pendapat Kelsen tatkala ia menyatakan, “… the basic norm is the condition under which the subjective meaning of the constitution-creating act, and the subjective meaning of the acts performed in accordance with the constitution, are interpreted as their objective meaning, as valid norms, …” (Pure Theory of Law, 1992). Di sini Kelsen menempatkan Grundnorm (basic norm) sebagai “the final standard of legal validity” sehingga tidak ada lagi tolok ukur validitas lain yang dapat digunakan untuk menilai kesahihan Grundnorm itu. Sebagai konsekuensinya, Grundnorm harus diletakkan di luar dan lebih tinggi daripada konstitusi. Ia justru harus menjadi tolok ukur untuk menilai keabsahan konstitusi. Ia juga sudah berlaku tanpa harus menunggu proses positivisasi. Ia dipersangkakan dan diasumsikan sudah ada, mendahului keberadaan hukum positif.

Persoalannya adalah bahwa Kelsen tidak pernah menyebutkan secara gamblang apa substansi dari Grundnorm itu. Apabila makna objektif dari Grundnorm itu dipahami sebagai setiap tindakan konstitusional dari para subjek yang diatur dalam konstitusi itu, maka kita dapat mengatakan bahwa formulasi dari norma Grundnorm tadi bisa jadi akan sangat sederhana, yaitu: “Taatilah konsitusi!” Dalam hal ini terbuka peluang terjadinya kesesatan bernalar yang disebut petitio principii atau argumen berputar (circular argument). Kita ingin menguji konstitusi dengan Grundnorm tetapi yang terjadi malah sebaliknya, Grundnorm mengembalikannya lagi dengan meminta kita agar menaati konstitusi tersebut.

Pancasila tentu tidak kita kehendaki menjalankan peran untuk menguji konstitusi dengan argumentasi berputar seperti ini. Dengan demikian, memposisikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum (istilah yang pernah dipakai di dalam Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966) hakikatnya tidak sama persis dengan mendudukkannya sebagai Grundnorm sebagaimana dimaksud oleh Kelsen.

Kelsen dengan Teori Jenjang-nya itu berangkat dari filosofi positivisme hukum, atau lebih tepat lagi legisme. Kaum legistis selalu mendudukkan hukum sebagai produk (bentukan) penguasa. Setiap produk hukum dari penguasa yang berwenang, yang dibuat mengikuti format dan prosedur tertentu adalah produk hukum yang harus dijamin legalitasnya. Ia benar dengan sendirinya (self-evident).  Oleh karena keberadaan dan keberlakuan konstitusi ditentukan oleh penguasa publik, maka perintah dari Grundnorm untuk menaati konstitusi itu juga harus dipahami sebagai produk yang benar dengan sendirinya.

Filosofi dari kehadiran konsep Grundnorm tersebut jelas sangat berbeda jika kita bandingkan dengan Volksgeist sebagaimana diusung oleh Mazhab Sejarah dengan von Savigny sebagai eksponen utamanya. Volksgeist itu lahir melalui pengalaman empiris, sehingga tidak bisa dipersangkakan ada. Ia secara faktual ada dan dilakoni sebagai tradisi. Ia tidak apriori, melainkan aposteriori.

Volksgeist lahir melalui proses evolusi hukum. Sama seperti bahasa, setiap hukum berevolusi tanpa perlu didesain oleh kekuasaan manapun. Tradisilah yang membentuk hukum. Tradisi ini lahir dari perjalanan historis berkat adanya kesamaan hidup masyarakat di dalam satu kesatuan ruang dan waktu, sehingga semua komponen masyarakat menyelami adanya satu semangat yang sama; satu jiwa rakyat yang diisebut Volksgeist tersebut.

Sekarang kita tinggal merenungi, apakah Pancasila itu ingin kita labelkan sebagai nilai (atau asas dan norma) yang apriori ada atau aposteriori di dalam khazanah kehidupan bangsa Indonesia? Apabila Bung Karno mengatakan ia menggali nilai-nilai Pancasila itu dari sari pati kehidupan bangsa Indonesia, maka jelas ia maksudkan Pancasila ini lebih sebagai Volksgeist dan bukan sebagai sesuatu yang apriori ada seperti konsep Grundnorm ala Kelsen.

Patut dicatat bahwa Grundnorm ini oleh Hans Nawiasky lalu diberi terminologi baru, yaitu Staatsfundamentalnorm. Apakah Pancasila menjadi lebih terakomodasi di dalam Staatsfundamentalnorm ini? Saya cenderung menganggapnya demikian, namun tetap perlu diberikan sejumlah perhatian khusus terkait konsekuensi filosofisnya. Untuk dapat menjadikan Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm, pertama-tama Pancasila tersebut harus terlebih dulu bertransformasi ke dalam suatu format norma hukum tertentu. Apabila kita berusaha mencari di mana letak format hukum tersebut, maka tempat yang paling layak baginya adalah Pembukaan UUD 1945.  Di dalam bingkai Pembukaan UUD 1945 inilah terkandung Pancasila, tepatnya di dalam empat pokok pikirannya. Pembukaan ini ditetapkan oleh badan pembentuk negara, yakni oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Junbi Iinkai) yang kedudukannya lebih tinggi daripada lembaga tinggi negara manapun. Oleh sebab itu, Pembukaan UUD 1945 ini tidak dapat diubah karena perubahan Pembukaan UUD sebagai Staatsfundamentalnorm itu berarti mengubah (membubarkan) negara RI versi 17 Agustus 1945. Dengan demikian, Staatsfundamentalnorm kita itu sebenarnya adalah Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terkandung pokok-pokok pikiran, yang tidak lain adalah Pancasila (harap dibedakan antara Pancasila dalam rumusan alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila sebagai pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945). Atau, dengan perkataan lain, Staatsfundamentalnorm tersebut adalah Pancasila sebagaimana terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945.

Di sisi lain, ada posisi Pancasila yang lain, yang substansinya lebih abstrak dan tidak bertransformasi ke dalam format norma hukum. Inilah posisi Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee). Jadi, kita dapat mencermati ada perbedaan antara norma dasar (Grundnorm) dan norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm). Kemudian ada pula perbedaan antara norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) dan cita hukum (rechtsidee). Cita hukum ini adalah bagian dari cita negara (staatsidee). Cita negara ini menekankan tali ikatan batin dari seluruh rakyat Indonesia untuk bernaung di dalam satu wadah tunggal sebagai satu bangsa dan satu negara, yang karena faktor kesejarahan rela hidup senasib sepenanggungan. Jadi, istilah jiwa rakyat (Volksgeist) sangat dekat dengan konsep cita negara dan cita hukum ini.

Sampai di sini kita juga perlu mempertanyakan tentang konteks pembicaraan kita tentang posisi Pancasila ini. Apakah kita sedang berbicara tentang konteks pencarian (context of discovery) Pancasila, atau konteks justifikasi (context of justification)-nya sebagai bagian dari sistem norma hukum positif. Kedua konteks ini mempunyai implikasi secara akademis. Posisi Pancasila sebagai Volksgeist adalah sebuah penempatan untuk konteks pencarian itu, sementara posisi Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm adalah penempatan dalam konteks justifikasi.

Rangkaian konklusi saya tersebut di atas tentu sangat spekulatif, dalam arti terbuka untuk diperiksa dan dikritisi, serta didiskursus lebih jauh. Ada banyak tesis yang masih mungkin diajukan untuk menjawab persoalan ini secara lebih jernih. Beberapa disertasi dan buku teks telah ditulis untuk menjawabnya, namun tetap belum kita temukan jawaban yang memuaskan. Sayangnya, topik perbincangan seperti ini kerap dinilai terlalu mengawang (tidak menginjak bumi) dan tidak memiliki kegunaan pragmatis, bahkan untuk kalangan pengajar filsafat hukum dan/atau pengajar mata kuliah Pancasila di perguruan tinggi. Pengalaman saya berinteraksi dengan rekan-rekan analis dan evaluator hukum di institusi seperti Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), memperlihatkan bahwa “kebingungan” ini berdampak sangat signifikan pada kesemrawutan tatanan sumber hukum positif, khususnya peraturan perundang-undangan di Tanah Air. Gagasan kami melalui Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) untuk mengangkat tema ini di beberapa kali konferensi, juga belum mampu menggugah lebih banyak perhatian dari pihak-pihak berkepentingan. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) memang sangat diharapkan berminat untuk memfasilitasi diskursus lebih lanjut tentang hal ini, sehingga secara akademis pilihan labelisasi Pancasila, misalnya saja apakah sebagai Grundnorm atau sebagai Volksgeist, tidak disematkan begitu saja secara arbiter. (***)


 


Published at : Updated

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close