People Innovation Excellence

UTILITARIANISME DAN TUJUAN PERKEMBANGAN HUKUM MULTIMEDIA DI INDONESIA

Oleh BESAR (Juni 2016)

Teori utilitarianisme yang digagas oleh Jeremy Bentham (juga John Stuart Mill dan Rudolf von Jhering) adalah bentuk reaksi terhadap konsepsi hukum alam pada abad ke delapan belas dan sembilan belas. Bentham mengecam konsepsi hukum alam, karena menganggap bahwa hukum alam tidak kabur dan tidak tetap. Bentham mengetengahkan gerakan periodikal dari yang abstrak, idealis, dan apriori sampai kepada yang konkret, materialis, dan mendasar.

Menurut Bentham, tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Jadi, konsepnya meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Ukurannya adalah kebahagian yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang. Penilaian baik-buruk, adil atau tidaknya hukum ini sangat tergantung apakah hukum mampu memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak. Kemanfaatan diartikan sama sebagai kebahagiaan (happiness).

Jeremy Bentham dilahirkan di London tahun 1748. Ia hidup selama masa perubahan sosial, politik dan ekonomi yang masif, juga mengikuti terjadinya revolusi di Perancis dan Amerika yang membuat Bentham bangkit dengan teorinya. Ia banyak diilhami oleh David Hume dengan ajarannya bahwa sesuatu yang berguna akan memberikan kebahagiaan. Menurut Bentham hakikat kebahagiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari kesengsaraan.

Prinsip-prinsip dasar ajaran Bentham dapat dijelaskan sebagai berikut. Tujuan hukum adalah hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu, barulah kepada orang banyak. ”the greatest happiness of the greatest number” (kebahagiaan yang sebesar-besarnya dari sebanyak-banyaknya orang). Prinsip ini harus diterapkan secara kuatitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama. Untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat maka perundang-undangan harus mencapai empat tujuan: (1) to provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup); (2) to Provide abundance (untuk memberikan nafkah makanan berlimpah); (3) to provide security (untuk memberikan perlindungan); dan (4) to attain equity (untuk mencapai persamaan).

Undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik. Lebih lanjut Bentham berpendapat bahwa keberadaan negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat yang hakiki yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Ajaran Bentham yang sifat individualis ini tetap memperhatikan kepentingan masyarakat, agar kepentingan idividu yang satu dengan individu yang lain tidak bertabrakan maka harus dibatasi tidak terjadi homo homini lupus. Menurut Bentham agar tiap-tiap individu memiliki sikap simpati kepada individu lainnya sehingga akan tercipta kebahagiaan individu dan kebahagiaan masyarakat akan terwujud. Bentham menyebutkan“The aim of law is the greatest happines for the greatest number” 

Beberapa pemikiran penting Bentham juga dapat ditunjukkan, seperti:

  1. Hedonisme kuantitatif yakni paham yang dianut orang-orang yang mencari kesenangan semata-mata secara kuantitatif. Kesenangan bersifat jasmaniah dan berdasarkan penginderaan.
  2. Summun bonum yang bersifat materialistik berarti bahwa kesenangan-kesenangan bersifat fisik dan tidak mengakui kesenangan spritual dan menganggapnya sebagai kesenangan palsu.
  3. Kalkulus hedonistik (hedonistik calculus) bahwa kesenangan dapat diukur atau dinilai dengan tujuan untuk mempermudah pilihan yang tepat antara kesenangan-kesenangan yang saling bersaing. Seseorang dapat memilih kesenangan dengan jalan menggunakan kalkulus hedonistik sebagai dasar keputusannya. Adapun kriteria kalkulus yakni: intensitas dan tingkat kekuatan kesenangan, lamanya berjalan kesenangan itu, kepastian dan ketidakpastian yang merupakan jaminan kesenangan, keakraban dan jauh dekatnya kesenangan dengan waktu,kemungkinan kesenangan akan mengakibatkan adanya kesenangan tambahan berikutnya kemurnian tentang tidak adanya unsur-unsur yang menyakitkan, dan kemungkinan berbagi kesenangan dengan orang lain. Untuk itu ada sanksi yang harus dan akan diterapkan untuk menjamin agar orang tidak melampaui batas dalam mencapai kesenangan yaitu: sanksi fisik, sanksi politik, sanksi moral atau sanksi umum, dan sanksi agama atau sanksi kerohanian.

Teori Bentham tentu saja memiliki kelemahan. Pertama, rasionalitas yang abstrak dan doktriner, yang mencegah melihat orang sebagai keseluruhan yang kompleks, sebagai campuran materialisme dan idealisme, bangsawan dan golongan rendah, egoisme yang menyebabkan Bentham melebih-lebihkan kekuasaan-kekuasaan pembuat undang-undang dan meremehkan perlunya menginduvidualisasikan kebijaksanaan dan keluwesan dalam penerapan hukum. Begitu besar kepercayaannya yang naif akan sifat umum dan prinsip-prinsip kodifikasi ilmiah, sehingga ia bekerja dengan antusiasisme yang sama dan tidak menghiraukan perbedaan-perbedaan nasional dan historis. Kedua, adalah akibat kegagalan Bentham untuk mengembangkan dengan jelas konsepsinya sendiri mengenai keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan mayarakat. Bentham percaya bahwa kepentingan-kepentingan yang tak terbatas dari individu-individu yang sangat luar biasa banyaknya secara otomatis berakibat bagi kepentingan-kepentingan masyarakat tetapi Bentham tidak menjelaskan mengapa demikian.

Namun demikian apa yang disampaikan oleh Bentham mempunyai arti penting dalam sejarah filsafat hukum. Bentham menghubungkan dasar pemikiran filsafat dengan dalil-dalil hukum praktis, meletakkan individualisme atas dasar materilistis baru, menghubungkan hak-hak individu yang tahu diri dan menempatkannya di bawah kebahagiaan sejumlah besar individu-individu dengan tuntutan yang sama yang hidup dalam masyarakat, mengarahkan tujuan-tujuan hukum pada tujuan-tujuan sosial praktis, bukannya pada dalil-dalil yang abstrak, meletakkan dasar untuk kecenderungan relitivitas baru dalam ilmu hukum, yang di kemudian hari disebut ilmu hukum sosiologis dan menghubungkan hukum dengan tujuan-tujuan sosial yang pasti dan keseimbangan dari pelbagai kepentingan, memandang jaminan keamanan sebagai objek hukum yang penting, sebagai fungsi yang dikembangkan, untuk tidak menghiraukan orang-orang lain, dengan positivisme analitis, memberi tekanan pada kebutuhan dan mengembangkan cara pembentukan hukum yang disadari, dengan kodifikasi melalui pengadilan atau evolusi melalui kebiasaan.

Lalu, apa kaitan dari penjelasan teori utilitarianisme di atas dengan perkembangan multimedia di Indonesia?

Keterkaitan itu terletak pada keyakinan bahwa hukum mesti dibuat secara utilitaristik. Tujuan hukum bukan hanya untuk kepastian hukum dan keadilan, akan tetapi juga ditujukan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat. Tujuan hukum itu dapat dilihat seberapa besar dampaknya bagi kesejahteraan manusia (human welfare). Tujuan hukum seperti ini memberi landasan etis bagi aliran berpikir Utilitarianisme.

Hukum itu pada prinsipnya ditujukan untuk menciptakan ketertiban masyarakat, di samping untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak. Dalam mencapai tujuan hukum yang telah dirumuskan tersebut peranan hukum multimedia yang dihasilkan seberapa bisa memberikan ruang bagi setiap orang untuk mengejar kebahagiaannya. Hukum multimedia yang dihasilkan oleh para legislator ini untuk memberikan dan menghasilkan keserasian antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi. Dengan demikian, legislasi merupakan proses kunci untuk mewujudkan hukum yang dapat mendatangkan manfaat bagi individu. Proses legislasi akan menghasilkan hukum yang akan dipatuhi oleh semua warga negara.

Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Merek, juga dapat dilihat dengan kacamata teori Utilitarianisme ala Bentham, yakni berupaya memberikan gambaran tentang hukum yang bisa bermanfaat bagi masyarakat banyak. Teori ini seakan menjadi dasar pemikiran perkembangan multimedia di Indonesia, bahwa tujuan hukum itu adalah untuk memberi kemanfaatan bagi banyak orang, yakni kemanfaatan hukum yang memberikan perlindungan bagi setiap individu kreatif melalui sarana multimedia dengan memberikan perlindungan secara moral maupun secara ekonomi atas kreativitas ciptaannya. Negara ikut mengatur kepentingan warga negara dan menjaga kestabilan serta ketertiban hukum, yang pada gilirannya untuk menciptakan secara terarah berbagai kondisi kesejahteraan sosial yang dikehendaki masyarakat.

Jadi, perkembangan multimedia sangat dipengaruhi oleh hukum yang membela dan melindungi kepentingan masyarakat banyak untuk menuju kesejahteraan masyarakat seperti yang tercantum dalam Alinea ke-4 Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. ”Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melekasanakan ketertiban dunia…”

Sampai di sini terlihat ada keselarasan antara teori Utilitarianisme dan perkembangan hukum multimedia di Indonesia. Sekalipun demikian, penulis ingin memberikan catatan bahwa rezim hak kekayaan intelektual yang memberikan perlindungan kepada pemegang hak kekayaan intelektual itu pada hakikatnya merupakan sebuah bentuk monopoli privat (private monopoly). Dalam negara yang menjunjung tinggi semangat kolektivitas seperti halnya dianut oleh masyarakat Indonesia, hak-hak monopolistis seperti ini tentu perlu dibatasi agar kemanfaatan dari suatu kreativitas tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang, melainkan dapat dinikmati oleh sebanyak mungkin orang. Pembatasan masa perlindungan hak kekayaan intelektual merupakan jalan kompromi dari keinginan melindungi kepentingan individu-individu kreatif di satu sisi, dan kepentingan publik di sisi lain. Itulah sebabnya, pada suatu waktu perlindungan hak kekayaan intelektual ini akan berakhir dan karya tersebut menjadi milik umum (public domain).

Penulis berpandangan sangat penting bagi negara untuk secara bijak menetapkan batas waktu perlindungan yang wajar. Jika masa perlindungan terlalu lama, maka kesempatan bagi publik untuk mendapatkan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang, jelas akan berkurang. Sekaligus ini dirasakan tidak adil bagi kelompok masyarakat yang memiliki akses terbatas untuk ikut menikmati karya-karya kreatif tersebut. (***)


BESAR


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close