People Innovation Excellence

KLASIFIKASI PERUMUSAN MASALAH DALAM PENELITIAN HUKUM

Oleh SHIDARTA (Maret 2016)

Perumusan masalah merupakan kunci dalam penelitian. Ada banyak cara ditawarkan untuk memformulasikan permasalahan. Salah satunya seperti yang diajukan oleh J.T. Dillon dari University of California (Riverside) dalam tulisannya di Review of Educational Research, Fall 1984, Vol. 53 No. 3 pp. 327-361. Dalam tulisan singkat ini saya akan menyinggung satu model pemilahan pertanyaan yang dikreasikan oleh Dillon. Model ini dibuatnya berangkat dari pemikiran Aristoteles. Beberapa contoh yang disajikan dalam tulisan ini sudah saya sesuaikan untuk kepentingan penelitian hukum, yang tentu saja tidak ditemukan dalam versi orisinali tulisan J.T. Dillon.

Seperti dikutip oleh Dillon, dalam buku Posterior Analytics (jilid II) Aristoteles menganalisis bentuk-bentuk pertanyaan yang mungkin. Ia mulai dari proposisi bahwa jenis pertanyaan yang kita ajukan sama banyaknya dengan jenis hal yang kita ketahui. Untuk itu Aristoteles lalu mengidentifikasinya menjadi dua pasangan pertanyaan. Pasangan pertama terkait dengan keberadaan. Jika kita yakin sesuatu ada, maka kita akan bertanya hakikat dari keberadaannya. Pasangan kedua terkait dengan kejadian. JIka kita tahu sesuatu itu sungguh nyata terjadi, maka kita akan bertanya alasan kejadiannya. Kata Aristoteles, “When we have ascertained the thing’s existence, we inquire as to its nature. When we know the fact, we ask the reason.”

Pasangan pertama bersinggungan dengan eksistensi dan esensi. Misalnya saja, kita bertanya tentang apakah gerhana matahari itu ada (eksis)? Jika kita memberi jawaban bahwa gerhana matahari itu ada (afirmasi), maka kita akan ditantang dengan pertanyaan tentang apa esensi dari gerhana matahari. Dalam hal ini kita diminta untuk memberikan definisi tentang gerhana matahari.

Pada pasangan Kedua, kita menanyakan tentang atribut dan penyebab (kausa) suatu kejadian. Misalnya kita mengetahui ada suatu kejadian yang diberi atribut sebagai gerhana matahari. Untuk atribut ini kita akan diminta untuk mendeskripsikan (description) seperti apa suasana gerhana matahari itu. Lalu, masuklah kita pada pertanyaan tentang penyebab. Di sini diperlukan penjelasan (explanation) yang menceritakan sebab musabab terjadinya gerhana matahari. Pada contoh ini, topik pasangan pertanyaan pertama dan kedua tampaknya dirumuskan terpisah. Padahal sebenarnya kita dapat bertanya untuk kedua pasangan itu untuk satu topik yang sama.

Muncul pertanyaan, apakah pertanyaan topik pasangan pertama itu harus terjawab tuntas lebih dulu baru kemudian dapat dimunculkan topik yang sama untuk pertanyaan pasangan kedua? Sesungguhnya otak kita tidak pernah bekerja linear seperti demikian. Pertanyaan pasangan pertama itu merupakan pertanyaan perenial yang hakikatnya juga tidak akan pernah tuntas terjawab secara memuaskan. Belum lagi jika yang dipertanyakan itu adalah eksistensi atas hal-hal yang relatif abstrak, seperti keadilan dan kemanusiaan. Oleh sebab itu, tanpa harus menunggu definisi yang tuntas, dan dengan berpegang pada pemahaman “sementara” atas suatu atribut, orang dapat mulai merumuskan pertanyaan untuk pasangan kedua dalam waktu relatif bersamaan.

Perlu dicatat bahwa pasangan pertanyaan pertama mempersoalkan soal “know-what”. Bertanya tentang hakikat sesuatu. Sementara, pasangan kedua bertanya tentang “know-why”. Bertanya tentang alasan terjadinya sesuatu.  Apa dan mengapa? Kedua pasangan pertanyaan ini tentu tidak berdiri terpisah. Jika kita bertanya apakah gerhana matahari itu ada, maka dalam waktu yang hampir bersamaan sebenarnya kita juga bisa bertanya mengapa (apa alasan) sampai gerhana matahari itu harus ada atau tiada? Jawaban atas kedua pasangan ini saling berkelindan membentuk siklus pertanyaan yang membutuhkan jawaban baru yang makin mendalam.

Sejak lama dipercaya bahwa manusia yang tahu sesuatu sampai pada tingkat know-why, sangat mungkin akan menjadi bijaksana. Kebijaksanaan itu tercapai karena manusia yang tahu sampai pada ‘hukum-hukum’ kausalitas berarti ia sampai pada tingkat kehidupan tertinggi yang disebutnya hidup ber-theoria. Kata ‘theoria’ di sini menjadi cikal bakal dari kata ‘teori’  yang kita kenal saat ini, namun kedua istilah ini sebenarnya mempunyai kedalaman makna yang berbeda. Theoria adalah pemahaman know-why yang paling hakiki karena ia adalah pengungkapan kebenaran abadi atas rahasia alam raya dan/atau kehidupan manusia. Penjelasan tentang hal ini antara lain dapat ditelusuri dari buku Nicomachean Ethics. 

Bagaimana caranya agar know-what dapat sampai pada tingkat know-why? Cara adalah suatu metode, yakni tentang bagaimana pengetahuan itu berproses. Inilah yang disebut know-how. Jadi, know-how menjembatani antara know-what dan know-why.  Oleh karena berfungsi sebagai jembatan, maka kerap ia tidak diperhitungkan. Namun, tatkala zaman modern memunculkan diskursus tentang antroposentris, justru peran know-how inilah yang dianggap paling penting. Pengetahuan dan ilmu (sains) tidak diarahkan untuk membuat manusia bahagia sebagaimana halnya para filsuf dari Athena, melainkan bahagia sebagai manusia pada umumnya. Untuk itu know-how dipandang oleh kaum modernis, justru perlu dikedepankan agar manusia dapat mengendalikan dan mengubah keadaan). Ilmu tidak hanya untuk ilmu, tetapi ilmu untuk diabdikan kepada tujuan-tujuan konkret kemasyarakatan. Menurut mereka, inilah misi sains di era modern.

Dengan demikian, dalam perspektif kaum modernis, perjalanan dari know-what, yang berlanjut ke know-how, dan kemudian sampai ke area know-why, bukanlah perjalanan linear, melainkan berputar kembali untuk memperkuat know-how. Perputaran inilah yang juga ditekankan oleh Karl Popper dalam ceramahnya di Universitas Michigan (7 April 1978) tentang the three worlds of knowledge.

 



 

 


Kita kembali kepada klasifikasi atas dua pasangan pertanyaan Aristoteles di atas! Atas dasar dua pasangan pertanyaan itu, maka Dillon lalu membuat urutan pertanyaan dalam penelitian, yang dimulai dari urutan nol, urutan pertama, urutan kedua, urutan ketiga, dan urutan lain-lain. Sekalipun berlatar belakang pakar ilmu pendidikan, klasifikasi yang dibuat oleh Dillon ini pada dasarnya dapat juga diterapkan untuk berbagai rumusan masalah riset dalam ilmu-ilmu lain karena urutan-urutan tersebut berhubungan dengan pengetahuan yang ingin dicapai dari pertanyaan yang diajukan.

Urutan nol (0) adalah pertanyaan retoris. Pengetahuan yang ingin diperoleh sama sekali tidak ada. Misal: Bukankah Indonesia adalah sebuah negara berdaulat? Pertanyaan yang retoris seperti ini tentu tidak layak dijadikan rumusan masalah dalam penelitian.

Urutan pertama bertanya tentang keberadaan sesuatu (properties). Ada enam kemungkinan pertanyaan, yang dapat dibedakan sebagai berikut:


1 Existence/affirmation-negation whether P is Apakah ada negara hukum itu?
2 Instance/identification whether this is a/the P Apakah Indonesia adalah negara hukum?
3 Substance/definition

– nature

– label

– meaning

what P is

– what makes P be P

– whether “P” names P

– what P or “P” means

Apa makna negara hukum itu?

– Apa yang membuat suatu negara menjadi negara hukum?

– Apakah Indonesia ini dapat disebut negara hukum?

– Apa artinya negara hukum Indonesia itu?

4 Character/description What P has Apa ciri dari negara hukum itu?
5 Function/application

– Modes

– Uses

– Means

What P does

– how P acts

– what P can do

– how P does it or is done

Apa fungsi dari negara hukum itu?

– Bagaimana negara hukum itu bekerja?

– Apa yang dapat dijalankan oleh negara hukum?

– Bagaimana negara hukum terbentuk?

6 Rationale/explication Why or how P has a certain attribute Mengapa atau bagaimana negara hukum memiliki ciri sebagai negara berdaulat?

Urutan kedua berkaitan dengan perbandingan (comparisons). Di sini ada tiga jenis pertanyaan yang diklasifikasikan oleh Dillon, yakni:

7 Concomitance

– Conjunction

– Disjunction

whether P goes with Q

– whether P and Q are associates

– whether P and Q are alternatives

Apakah hukum Islam di Indonesia sebanding dengan di Malaysia?

– Apakah perkembangan hukum Islam di Indonesia dan di Malaysia berhubungan?

– Apakah perkembangan hukum Islam di Indonesia dan di Malaysia berbeda?

8 Equivalence whether P is like Q, and wherein Apakah perkembangan hukum Islam di Indonesia sama seperti di Malaysia, dan dalam dalam hal apa persamaan tersebut?
9 Difference

– Disproportion

– Subordination

whether P and Q differ

– whether P is more/less than Q

– whether P is part/whole of Q

Apakah perkembangan hukum Islam di Indonesia berbeda dengan perkembangan serupa di Malaysia?

– Apakah perkembangan hukum Islam di Indonesia mendekati perkembangan hukum islam di Malaysia?

– Apakah perkembangan hukum Islam di Indonesia merupakan bagian dari perkembangan hukum Islam di Malaysia atau sebaliknya?


Urutan ketiga disebut persinggungan (contingencies). Dillon membedakannya menjadi empat kategori pertanyaan, yakni:

10 Relation whether P relates to Q Apakah perkembangan hukum Islam di Indonesia berhubungan dengan perkembangan konsep negara hukum di negara ini?
11 Correlation whether P and Q covary Apakah perkembangan hukum Islam di Indonesia berjalan linear dengan perkembangan hukum Islam di Malaysia?
12 Conditionality

– Consequence

– Antecedence

whether or how if P then Q, or if Q then P.

– whether if P then Q, or if Q then P

– whether if Q then P or what X then P.

Apakah perkembangan hukum Islam di Indonesia mempengaruhi perkembangan di Malaysia?

– Apakah jika terjadi reformasi hukum Islam di Indonesia maka akan terjadi reformasi hukum Islam di Malaysia?

– Apakah reformasi hukum Islam di Brunai Darussalam terjadi karena reformasi serupa di Indonesia atau di Malaysia?

13 Biconditionality (causality)

 

whether or how if P then Q and if Q then P Apakah perkembangan hukum Islam di Indonesia dan di Malaysia saling mempengaruhi?

Urutan berikutnya disebut urutan lain-lain (extra order), yang dibedakan menjadi tiga klasifikasi sebagai berikut:

14 Deliberation whether to do and think P Apa faktor yang seharusnya mempengaruhi perkembangan hukum Islam di Indonesia?
15 Unspecified to know P in other ways Hal apa saja yang belum teridentifikasi sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum Islam di Indonesia?
16 Unclear not known Apa yang tidak diketahui mengenai faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum Islam di Indonesia?

 

Demikianlah sekelumit model pengklasifikasian rumusan masalah penelitian, berikut dengan contoh-contoh sekadar memperjelas uraian (apabila penelitian itu dilakukan dalam area ilmu hukum). Di luar itu tentu ada banyak model pengklasifikasian lain, seperti dari Lundstedt (1968), Bunge (1967), Steiner (1978), Shulman (1981), Smith (1981), Johnson & Pennypacker (1980), Laudan (1977), Fischer (1970), dan Rescher (1982).

Cara pengklasifikasian model Dillon di atas “lumayan” membantu kita dalam mendudukkan tata urutan pertanyaan. Klasifikasi urutan nol tentu tidak termasuk dalam rumusan penelitian. Sementara itu, urutan terakhir, khususnya nomor 15 dan 16 biasanya juga dihindari.

Sebelum menutup artikel pendek ini, ada satu hal yang perlu untuk diberikan catatan. Jika dicermati di antara pertanyaan-pertanyaan model Dillon di atas ada kemungkinan—oleh segolongan ahli—pertanyaan-pertanyaan itu masih “belum” dianggap layak sebagai rumusan masalah penelitian karena bakal mengarah ke jawaban yang deskriptif semata. Pertanyaan yang mengarah ke jawaban deskriptif tidak dianggap sebagai permasalahan karena dinilai tidak problematis.

Keberatan seperti itu tentu saja sangat masuk akal. Oleh sebab itu kita harus hati-hati menyikapi keberatan tersebut. Benar bahwa, agar suatu rumusan masalah tidak mengarah ke jawaban deskriptif, sebaiknya rumusan penelitian terdiri dari paling sedikit dua variabel.

Berdasarkan pengklasifikasian model Dillon di atas, ditunjukkan bahwa pertanyaan yang terdiri dari satu variabel pun adalah suatu pertanyaan yang mungkin diajukan. Hanya saja, pertanyaan demikian membutuhkan alasan atau argumentasi yang perlu ditunjukkan kepada pembaca mengenai  problematika di dalamnya. Pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian filsafat (juga filsafat hukum) cukup lazim diformulasikan dengan satu variabel.

Katakan bahwa suatu ketika ada seorang peneliti terpanggil untuk mengkritis apa makna kata “adil/keadilan” menurut Sila ke-2 dan Sila ke-5 Pancasila. Kedua sila itu sama-sama menggunakan kata “adil”, tetapi apakah ada perbedaan konseptual di antara keduanya. Keadilan dalam kemanusiaan dan keadilan sosial itu apakah sama? Si peneliti lalu mencari berbagai literatur untuk memahami tentang konsep-konsep keadilan, namun untuk sementara ia belum menemukan jawaban yang memuaskan. Ia ingin mendalami sekaligus mengkritisi makna filosofis  yang menguak perbedaan kedua konsep “keadilan” tersebut. Untuk itu, ia bertekad untuk menelitinya lebih jauh dengan menggunakan kaca mata pemikiran filsafat tertentu. Dengan demikian, jika kemudian ia rumuskan pertanyaannya: “Apakah keadilan Pancasilais itu?” maka pertanyaan ini tetap problematis. 

Pembaca tidak boleh terjebak untuk langsung berkeberatan pada model perumusan demikian hanya karena  perumusan tersebut terdiri dari satu variabel. Pembaca harus terlebih dulu memahami latar belakang dan argumentasi di balik pertanyaan tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan dengan satu variabel, dengan demikian, tetap berpotensi menjadi rumusan permasalahan yang problematis dalam suatu peneltiian asalkan didukung oleh argumentasi yang kuat, yang biasanya didahului dengan kajian literatur yang mendalam. Pertanyaan-pertanyan demikian tetap layak menjadi rumusan permasalahan yang problematis, asalkan pertanyaan-pertanyaan itu tidak sekadar BERTANYA, melainkan MEMPERTANYAKAN. (***)


Screen.Shot.2015.12.21.at.04.40.58

 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close