PEMBATASAN INVESTASI ASING PADA USAHA PERKEBUNAN
Oleh ERMANTO FAHAMSYAH (Desember 2014).
Pada Bulan September 2014 ini, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah RI sedang membahas Rancangan Undang-Undang Perkebunan untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Salah satu pengaturan krusial dalam RUU Perkebunan yang baru adalah tentang Penanaman Modal, khususnya tentang pembatasan penanaman modal asing pada satu usaha perkebunan. Dimana perihal pembatasan tersebut sebelumnya tidak diatur secara khusus dalam UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.
Pasal 70 RUU Perkebunan menyebutkan:
- Pemerintah mendorong penanaman modal dengan mengutamakan penanaman modal dalam negeri.
- Penanaman modal asing hanya dapat dilakukan dalam usaha perkebunan dengan melibatkan teknologi baru.
- Besarnya penanaman modal asing pada satu usaha perkebunan paling banyak 30% (tiga puluh persen) dari seluruh modal perusahaan perkebunan.
- Penanam modal yang melakukan penanaman modal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilarang menggunakan kredit dari bank atau lembaga keuangan milik Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
- Penyelenggaraan penanaman modal asing dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Terkait pembatasan penanaman modal asing pada satu usaha, termasuk pada usaha perkebunan, dapat dikaji dengan memperhatikan dasar/landasan yuridis, filosofis dan sosiologis.
Dari dasar/landasan yuridis, pelaksanaan penanaman modal asing, termasuk pada usaha perkebunan, dapat merujuk pada peraturan perundang-undangan yang telah ada, antara lain:
Pertama, UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, selanjutnya disebut UU Penanaman Modal.
UU Penanaman Modal sebagai dasar hukum pelaksanaan penanaman modal di Indonesia dan peraturan pelaksanaannya, cakupan materinya telah memberikan berbagai insentif berupa pelayanan, fasilitas, kemudahan dan jaminan bagi investor yang diberikan dalam penanaman modal di Indonesia. Insentif yang diberikan meliputi insentif langsung dan insentif tidak langsung. Pemberian insentif ini bertujuan untuk lebih dapat menarik minat investor.
Insentif langsung dalam UU Penanaman Modal di Indonesia antara lain: a) Kepemilikan Modal 100% bagi Perusahaan Penanaman Modal Asing; b) Pengalihan Aset, Transfer dan Repatriasi Ketenegakerjaan; c) Perpajakan; d) Hak atas Tanah; e) Keimigrasian dan Izin Tinggal; dan f) Fasilitas Perizinan Impor. Sementara insentif tidak langsung diberikan terkait: a) Jaminan terhadap Tindakan Nasionalisasi; dan b) Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal.
Dari beberapa insentif langsung dan tidak langsung dalam UU Penanaman Modal di atas, yang menarik dicermati adalah mengenai insentif kepemilikan modal bagi penanaman modal asing pada suatu usaha di Indonesia.
Indonesia adalah termasuk negara berkembang yang diantara kegiatan usaha perekonomian nasionalnya adalah Penanaman Modal. Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia (vide Pasal 1 angka 1 UU Penanaman Modal). Dalam suatu negara, Penanaman Modal memiliki tujuan untuk mengolah potensi ekonomi menjadi suatu kekuatan ekonomi yang nyata. Apabila pada modal dalam negeri tidak dianggap cukup, negara tersebut akan berusaha untuk menarik modal asing sebagai pelengkap yang sering sekali memliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian pada suatu negara.
Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Latar belakang filosofi kebijakan penanaman modal asing dapat diketahui melalui penelusuran konstelasi politik dan ekonomi yang berpengaruh pada masanya yang oleh karena itu, substansi kebijakan tentang penanaman modal asing senantiasa berkembang sesuai dengan dinamika politik dan ekonomi (vide Rustanto, Hukum Nasionalisasi Modal Asing, hal.47-48)
Penanaman modal asing di Indonesia tidak hanya diharapkan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi nasional saja. Investasi asing juga diperlukan bagi perekonomian Indonesia untuk dapat mampu menembus pasar internasional, di tengah lajunya perkembangan ekonomi global saat ini. Penanaman modal asing dapat memfasilitasi peningkatan labor skill, baik dari aspek teknis maupun managerial, yang dapat ditemukan dalam mekanisme transfer teknologi.
Secara yuridis mengenai Penanaman Modal Asing di Indonesia diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang dinyatakan bahwa:
“Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.”
UU Penanaman Modal memberikan kemungkinan bagi penanaman modal asing yang kepemilikan modalnya 100% dimiliki oleh penanam modal asing. Pengaturan pemerintah yang memperkenankan kepemilikan modal 100% bagi penanaman modal asing dimaksudkan untuk memberi insentif atau kelonggaran bagi penanaman modal asing. Namun, pengaturan tersebut tentunya belum juga bisa dikatakan final karena masih harus memenuhi persayaratan lain seperti bidang usaha, sifat usaha, bentuk usaha, komposisi pemilikan saham dan divestasi (vide Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, hal. 37).
Pemberian fasilitas kepemilikan modal 100% bagi penanaman modal asing tentunya hanya untuk bidang-bidang usaha tertentu dan dipandang tidak sampai merugikan kepentingan nasional. Pemerintah menetapkan kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing dengan Peraturan Presiden (vide Pasal 12 UU Nomor 25 Tahun 2007). Dimana saat ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Kedua, Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Pada tanggal 23 April 2014, Presiden RI telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Selanjutnya Perpres tersebut diundangkan pada tanggal 24 April 2014 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 93.
Presiden RI menetapkan Perpres Nomor 39 Tahun 2014 dengan dasar pertimbangan sebagai berikut: a) bahwa untuk melaksanakan Pasal 12 ayat (4) dan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal; b) bahwa untuk lebih meningkatkan kegiatan penanaman modal di Indonesia dan dalam rangka pelaksanaan komitmen Indonesia dalam kaitannya dengan Association of Southeast Asian Nations/ASEAN Economic Community (AEC), dipandang perlu mengganti ketentuan mengenai daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal; c) bahwa sehubungan dengan hal sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b di atas, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Berdasarkan dasar pertimbangan tersebut, urgensi penetapan Perpres Nomor 39 Tahun 2014 adalah untuk menggantikan Perpres Nomor 36 Tahun 2010 dalam rangka meningkatkan kegiatan penanaman modal di Indonesia dan pelaksanaan komitmen Indonesia dalam kaitannya dengan Association of Southeast Asian Nations/ASEAN Economic Community (AEC).
Pemerintah RI melalui Perpres Nomor 39 Tahun 2014 membagi 3 (tiga) kelompok bidang usaha yaitu: a) bidang usaha yang tertutup, merupakan bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal; b) bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan, adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus; c) bidang usaha yang terbuka tanpa persyaratan.
Salah satu materi muatan dalam Perpres Nomor 39 Tahun 2014 adalah mengenai batasan kepemilikan modal asing dalam bidang usaha perkebunan.
Pada usaha industri perbenihan perkebunan dengan luas 25 hektar atau lebih untuk Tanaman Jarak Pagar, Tanaman Pemanis Lainnya, Tanaman Tebu, Tanaman Tembakau, Tanaman Bahan Baku Tekstil dan Tanaman Kapas, Tanaman Jambu Mete, Tanaman Kelapa, Tanaman Kelapa Sawit, Tanaman Untuk Bahan Minuman (Teh, Kopi dan Kakao), Tanaman Lada, Tanaman Cengkeh, Tanaman Minyak Atsiri, Tanaman Obat/Bahan Farmasi (di luar hortikultura), Tanaman Rempah Lainnya, Tanaman Karet dan Penghasil Getah Lainnya, Tanaman lainnya yang tidak diklasifikasikan di tempat lain, kepemilikan modal asingnya diizinkan sampai dengan maksimal 95 persen dengan rekomendasi Menteri Pertanian.
Usaha perkebunan dengan luas 25 hektar atau lebih sampai luasan tertentu tanpa unit pengolahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, kepemilikan modal asingnya juga diizinkan sampai dengan maksimal 95 persen dengan rekomendasi Menteri Pertanian. Yaitu untuk Perkebunan Jarak Pagar; Perkebunan Pemanis Lainnya; Perkebunan Tebu; Perkebunan Tembakau; Perkebunan Bahan Baku Tekstil dan Tanaman Kapas; Perkebunan Lainnya yang Tidak diklasifikasikan di Tempat Lain; Perkebunan Jambu Mete; Perkebunan Kelapa; Perkebunan Kelapa Sawit; Perkebunan Untuk Bahan Minuman (Teh, Kopi dan Kakao); Perkebunan Lada; Perkebunan Cengkeh; Perkebunan lada dan industri biji lada putih kering dan biji lada hitam kering; Perkebunan Jarak dan Industri Minyak Jarak Pagar; Perkebunan Tebu, Industri Gula Pasir, Pucuk Tebu, dan Bagas; Perkebunan Tembakau dan Industri Daun Tembakau Kering; Perkebunan Kapas dan Industri Serat Kapas; Perkebunan Kelapa dan Industri Minyak Kelapa Perkebunan Kelapa dan Industri Kopra, Serat (fiber), Arang Tempurung, debu (dust), Nata de Coco; Perkebunan Kelapa Sawit dan Industri Minyak Kelapa Sawit (CPO); Perkebunan Kopi dan Industri Pengupasan, Pembersihan dan Sortasi Kopi; Perkebunan Kakao dan Industri Pengupasan, Pembersihan dan Pengeringan Kakao; Perkebunan Teh dan Industri Teh Hitam/Teh Hijau; Perkebunan Cengkeh dan Industri Bunga Cengkeh Kering; Perkebunan Tanaman Minyak Atsiri dan Industri Minyak Atsiri; Perkebunan Karet dan Industri Sheet, Lateks Pekat; Perkebunan Biji-bijian selain Kopi dan Kakao dan Industri Pengupasan dan Pembersihan Biji-Bijian Selain Kopi dan Kakao.
Selanjutnya, usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas sama atau melebihi kapasitas tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu Industri Minyak Mentah (minyak makan) dari Nabati dan Hewani; Industri Kopra, Serat (fiber), Arang Tempurung, Debu (dust), Nata de Coco; Industri Minyak Kelapa; Industri Minyak Kelapa Sawit; Industri Pengupasan, Pembersihan dan Sortasi Kop; Industri Pengupasan, Pembersihan dan Pengeringan Kakao; Industri Pengupasan dan Pembersihan Biji-bijian selain Kopi dan Kakao; Industri Gula Pasir, Pucuk Tebu, dan Bagas; Industri Teh Hitam/Teh Hijau; Industri Tembakau Kering (Krosok); Industri Minyak Jarak Kasar; Industri Serat Kapas dan Biji Kapas; Industri karet menjadi sheet, lateks pekat; Industri jambu mete menjadi biji mete kering dan Cashew Nut Shell Liquid (CNSL); Industri lada menjadi biji lada putih kering dan biji lada hitam kering; dan Industri Bunga Cengkeh Kering, kepemilikan modal asingnya diizinkan sampai dengan 95 persen dengan rekomendasi dari Menteri Pertanian.
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa materi muatan Perpres Nomor 39 Tahun 2014 telah memberikan kesempatan yang besar kepada para penanam modal asing untuk menanamkan modalnya dalam bidang-bidang usaha perkebunan tertentu. Kesempatan tersebut diharapkan dapat menjadi insentif untuk lebih mendorong masuknya modal asing ke dalam usaha perkebunan di Indonesia guna peningkatan perekonomian nasional Indonesia. Pada akhirnya diharapkan dapat membawa implikasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun demikian, agar Perpres Nomor 39 Tahun 2014 dapat berjalan secara efektif perlu didukung penuh oleh seluruh aparatur pelaksana terkait, baik dalam pelaksanaanya maupun pengawasannya.
Ketiga, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, selanjutnya disebut UU Perseroan Terbatas. UU Perseroan Terbatas memiliki keterkaitan erat dengan penanaman modal asing yang diatur oleh UU Penanaman Modal, dalam hal bentuk usaha yang dibentuk untuk melakukan penanaman modal. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 5 ayat (2) UU Penanaman Modal, dimana diatur bahwa penanaman modal asing wajib berbentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum lndonesia dan berkedudukan di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (3) UU Penanaman Modal memberikan arahan bahwa dalam pendirian perusahaan yang berkaitan dengan investasi asing langsung, investor asing harus berdasarkan ketentuan dalam UU Perseroan Terbatas. UU Perseroan Terbatas mengatur antara lain mekanisme mengenai:
- Pengajuan permohonan dan pemberian pengesahan status badan hukum;
- Pengajuan permohonan dan pemberian persetujuan perubahan anggaran dasar;
- Penyampaiaan pemberitahuan dan penerimaan, pemberitahuan perubahan-perubahan anggaran dasar dan/atau pemberitahuan dan penerimaan pemberitahuan perubahan data lainnya yang dilakukan melalui jasa teknologi informasi sistem administrasi badan hukum secara online namun tetap mempertahankan cara manual.
Ketentuan mengenai pendirian PT terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perseroan Terbatas, dimana perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih. Dalam penjelasannya pasal ini dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan “orang” adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia maupun asing atau badan hukum Indonesia atau asing.
Dalam Penjelasan Pasal 8 UU Perseroan Terbatas dinyatakan bahwa warga negara asing diberi kesempatan untuk mendirikan badan hukum Indonesia yang berbentuk perseroan sepanjang undang-undang yang mengatur bidang usaha tersebut memungkinkan.
Keempat, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, selanjutnya disebut UU Perkebunan.
Undang-undang Perkebunan merupakan peraturan sektoral dalam hal penanaman modal asing. Investor asing yang akan melakukan penanaman modal di bidang perkebunan harus merujuk kepada UU Perkebunan dalam hal permasalahan teknisnya.
Mengenai pengaturan keterlibatan asing dalam usaha perkebunan dapat dilihat pada pasal 13 ayat 2 UU Perkebunan:
“Badan hukum asing atau perorangan warga negara asing yang melakukan usaha perkebunan wajib bekerja sama dengan pelaku usaha perkebunan dengan membentuk badan hukum Indonesia”.
Kelima, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, selanjutnya disebut UU Perindustrian.
UU Perindustrian memuat ketentuan bahwa pembatasan kepemilikan modal asing diatur dalam pengelolaan Industri Strategis. Adapun yang dimaksud dengan Industri Strategis adalah Industri yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, meningkatkan atau menghasilkan nilai sumber daya alam strategis, atau mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara dalam rangka pemenuhan tugas pemerintah negara (vide Pasal 1 angka 4 dan Pasal 84 UU Perindustrian). Penguasaan Industri Strategis oleh negara sebagaimana dimaksud dilakukan melalui pengaturan kepemilikan; penetapan kebijakan; pengaturan perizinan; pengaturan produksi, distribusi, dan harga; dan pengawasan. Pengaturan kepemilikan Industri Strategis sebagaimana dimaksud dilakukan melalui penyertaan modal seluruhnya oleh Pemerintah; pembentukan usaha patungan antara Pemerintah dan swasta; atau pembatasan kepemilikan oleh penanam modal asing (vide Pasal 84 UU Perindustrian).
Selanjutnya dari dasar/landasan filosofis. Cita-cita mewujudkan Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state) telah diamanatkan dengan jelas dalam falsafah negara yaitu Pancasila dan UUD 1945. Terdapat aspek yang selalu muncul dalam konsep negara kesejahteraan, salah satunya adalah adanya peran pemerintah dalam aspek kehidupan masyarakat. Campur tangan pemerintah dalam aspek regulasi dimaksudkan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat secara merata supaya free fight liberalism dapat terhindar (vide Taufiq Effendi, Reformasi Birokrasi dan Iklim Investasi, hal. 67).
Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 yang merupakan landasan utama perekonomian nasional menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Ini berarti pula bahwa aktivitas ekonomi dalam bentuk apapun di Indonesia harus berdasar atas asas kekeluargaan dan memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Amanat konstitusi tersebut mewajibkan negara mewujudkan kesejahteraan melalui pembangunan ekonomi dengan cara pemanfaatan sumber daya alam sebesar-besarnya melalui berbagai peraturan perundang-udangan yang harus dipastikan dapat menjamin keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Salah satu indikator pembangunan ekonomi adalah penanaman modal yang berperan dalam mengolah potensi ekonomi Indonesia yang besar menjadi kekuatan ekonomi yang riil. Peningkatan penanaman modal di Indonesia menjadi penting dalam hal mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan perwujudan kedaulatan politik serta ekonomi Indonesia.
Fakta menunjukkan bahwa perkebunan berperan penting dalam perekonomian nasional dan memiliki potensi besar dalam pembangunan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Sehingga dapat dikatakan bahwa usaha pada sektor perkebunan merupakan wujud pengejewantahan asas Ekonomi Kerakyatan dan asas Demokrasi Ekonomi yang diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945. Oleh karenanya, usaha perkebunan harus selalu didorong dan didukung dengan adanya berbagai kebijakan yang salah satunya kebijakan untuk meningkatkan penanaman modal asing dalam rangka mengolah potensi yang terdapat pada usaha perkebunan, baik dalam bentuk penanaman modal dalam negeri atau penanaman modal asing.
Terakhir dari dasar/landasan sosiologis, data yang ada menunjukkan bahwa perkebunan merupakan sub sektor yang berperan penting dalam perekonomian nasional melalui kontribusi dalam Produk Domestik Bruto (PDB), pendapatan nasional, penyediaan lapangan kerja, penerimaan ekspor, dan penerimaan pajak. Perkebunan selama tahun 2005-2009 telah memberikan PDB yang terus mengalami pertumbuhan rata-rata 23,52% per tahun. Pada tahun 2009 telah menyumbangkan PDB sebesar Rp 130,30 triliun. Dari angka tersebut sub sektor perkebunan telah memberikan kontribusi sebesar 20% dari seluruh PDB sektor pertanian (di luar kehutanan dan perikanan) yang berada pada angka Rp 649,25 triliun (vide Data Direktorat Jenderal Perkebunan).
Sub sektor perkebunan juga telah menyumbangkan penerimaan ekspor yang selalu meningkat setiap tahunnya, yaitu pada tahun 2005 sebesar 10.673.186 ribu US$, tahun 2006 sebesar 13.972.064 ribu US$, tahun 2007 sebesar 19.948.923 ribu US$, tahun 2008 sebesar 27.369.363 ribu US$ dan tahun 2009 (sampai dengan bulan September) sebesar 21.581.670 ribu US$. Dengan nilai ekspor yang cukup besar tersebut jelas menunjukkan perkebunan merupakan sub sektor yang cukup berpengaruh dalam perekonomian nasional Indonesia (vide Data Direktorat Jenderal Perkebunan).
Selain dalam PDB dan penerimaan ekspor, sub sektor perkebunan juga memberikan lapangan pekerjaan yang cukup besar. Sejak tahun 2005-2009 tenaga kerja perkebunan telah mengalami laju pertumbuhan 0,98%. Pada tahun 2009 telah menyerap tenaga kerja sejumlah 19,70 juta orang. Angka tersebut merupakan 17,32 % dari total tenaga kerja nasional dan 45,78% dari tenaga kerja sektor pertanian (vide Data Direktorat Jenderal Perkebunan).
Perkembangan sub sektor perkebunan Indonesia tidak terlepas dari kebijakan, program dan langkah pemerintah. Di samping itu, tidak terlepas dari upaya para pemangku kepentingan perkebunan lainnya, diantaranya pelaku usaha perkebunan, baik perusahaan negara, perusahaan swasta-yang berasal dari penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing, dan pekebun. Berdasarkan angka sementara sampai tahun 2013, nilai penanaman modal dalam usaha perkebunan mencapai Rp77.243 triliun dengan laju pertumbuhan rata-rata 22,33%/tahun (vide Data Direktorat Jenderal Perkebunan).
Terkait penanaman modal, perkebunan merupakan usaha yang padat modal, utamanya pada usaha/industri pengolahan hasil komoditi perkebunan. Misalnya, untuk mendirikan 1 (satu) Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit dengan kapasitas pengolahan TBS sebanyak 30-40 ton TBS/jam harus didukung oleh kebun kelapa sawit seluas lebih kurang 7.000 hektar, dimana untuk membangun 1 hektar kebun dibutuhkan dana sekitar Rp95juta. Sementara biaya untuk membangunan pabrik pengolahan kelapa sawit dan emplasement dengan kapasitas pengolahan 30-40 ton TBS/jam dibutuhkan dana sekitar Rp125miliar. Apalagi untuk mendirikan satu pabrik gula dengan kapasitas 5.000 TCD membutuhan dukungan kebun tebu seluas 10-12.000 hektar, dimana biaya untuk membangun kebun tersebut sekitar Rp100juta/hektar. Sementara untuk membangun pabrik gula dengan kapasitas 5.000 TCD dan emplasement sekitar Rp1,4triliun. Kebutuhan dana yang relatif besar tersebut adakalanya tidak dapat dipenuhi seluruhnya hanya dengan penanaman modal dalam negeri, tetapi harus didukung dengan penanaman modal asing, baik sebagian kecil atau sebagian besar. Kami berpendapat, sebagai alternatif bahwa penanaman modal asing untuk satu usaha perkebunan dalam tingkat budidaya (on farm) dimungkinkan dibatasi maksimal 50 persen, sementara untuk usaha perkebunan yang terintegrasi dengan industri hilirnya dimungkinkan maksimal 95 persen.
Berdasarkan pertimbangan sosiologis ini, perlu dilakukan kajian secara komprehensif dan mendalam apabila ingin mengatur pembatasan jumlah penananam modal asing pada satu usaha perkebunan dengan nilai tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan, misalnya yang akan membatasi dengan angka maksimal 30 persen.
Dengan demikian, apabila perihal pembatasan penanaman modal asing pada satu usaha perkebunan akan diatur secara khusus dalam RUU Perkebunan seharusnya memperhatikan atau bahasa hukumnya “mengingat” pada dasar/landasan yuridis yang telah ada, diantaranya UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, dan peraturan perundang-undangan terkait penanaman modal asing lainnya. Disamping itu, harus dipertimbangkan apakah pengaturan mengenai jumlah pembatasan penanaman modal asing pada satu usaha perkebunan harus diatur pada tingkat undang-undang, misalnya UU Perkebunan. Sebagai perbandingan, dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pengaturan mengenai kepemilikan modal asing pada satu usaha di Indonesia diatur dalam peraturan pelaksanaan, yaitu dalam Peraturan Presiden. Demikian juga dalam UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, pengaturan mengenai pembatasan kepemilikan modal asing pada Industri Strategis tidak diatur secara spesifik atau khusus dalam UU tersebut, melainkan akan diatur dalam peraturan perlaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah. Hal ini dilakukan dengan asumsi untuk memenuhi prinsip prekdibilitas dan stabilitas suatu aturan hukum. Sehingga secara yuridis, pengaturan pembatasan modal asing pada usaha perkebunan sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya dan tercipta kepastian hukum. Lain halnya dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura, selanjutnya disebut UU Hortikultura, yang memuat ketentuan pembatasan besarnya penanaman modal asing pada usaha hortikultura paling banyak 30%. Namun, ketentuan ini tidak berlaku efektif. Hortindo bersama 3 petani yang membina ratusan petani di Jawa Barat telah mengajukan permohonan judicial review terhadap ketentuan tersebut kepada Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17 Februari 2014. Pasal yang dimintakan untuk diuji adalah Pasal 100 ayat (3) dan Pasal 131 ayat (2) UU Hortikultura. Pasal 100 ayat (3) membatasi besarnya penanaman modal asing pada usaha hortikultura paling banyak 30%. Sedangkan Pasal 131 ayat (2) isinya adalah mewajibkan penanam modal asing yang sudah melakukan penanaman modal dan mendapatkan izin usaha wajib memenuhi ketentuan Pasal 100 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dalam jangka waktu 4 tahun sesudah UU Hortikultura mulai berlaku. Para pemohon menyadari dan mendukung bahwa Pasal 100 ayat (3) dan Pasal 131 ayat (2) UU Hortikultura memiliki semangat dan tujuan yang baik, yakni untuk memajukan pelaku usaha hortikultura lokal. Namun, mereka berpendapat terdapat permasalahan mendasar yang tidak disadari pembuat UU Hortikultura, yakni menyamaratakan seluruh industri hortikultura untuk tunduk dan terikat pada pembatasan modal tersebut. Sehingga hal ini berpotensi menimbulkan kerugian pada perekonomian nasional. Selanjutnya, harus memperhatikan dasar/landasan filosofis dan dasar/landasan sosiologis, bahwa pengaturan mengenai penanaman modal asing, khususnya terkait pembatasan penanaman modal asing pada satu usaha perkebunan harus memperhatikan amanat Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 UUD 1945 dalam rangka meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia secara berkeadilan melalui pembangunan ekonomi, khususnya sub sektor perkebunan. Pada akhirnya, pengaturan pembatasan penanaman modal asing pada satu usaha perkebunan yang disusun dengan memperhatikan dasar/landasan yuridis, filosofis dan sosiologis diharapkan dapat lebih menciptakan kepastian hukum, keadilan dan kebermanfaatan. (***)
CATATAN: Penulis adalah Sekretaris Jenderal Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB); Dosen Tetap FH Universitas Jember dan AFM di Program Studi “Business Law” BINUS.
Published at :