People Innovation Excellence

NILAI DAN NORMA DI PENJARA

Oleh AHMAD SOFIAN (Mei 2019)

Secara empiris hidup di dalam penjara (bahasa halusnya Lembaga Pemasyarakatan), tidak mengenakkan, sebagian surga dunia direnggut oleh penguasa. Dari manusia yang sifatnya bebas kemudian dikekang dalam kerangkeng besi dan tembok tinggi dan diawasi dengan sipir-sipir yang tidak kalem dan tidak ramah, makanan disajikan tanpa daftar menu, dan pembatasan-pembatasan kebebasan lainnya. Tulisan ini tidak mengulas hal-hal di atas yang sebagian kita mungkin sudah paham dan sudah mengalaminya. Saya mau bercerita soal norma dan nilai dalam interaksi antara pengunjung (keluarga/teman) dengan narapidana.

Jika kita memasuki sebuah penjara, maka tentunya harus antri, mendaftar  dan menyerahkan KTP. Lalu anda pun mendapatkan kartu identitas sebagai pengunjung. Selain itu juga harus di stempel pada kedua lengan. Hal ini mirip seperti mengunjungi dunia fantasi di Ancol. Saya tidak tahu ini ide siapa, mungkin dikira akan berselancar dalam dunia antah berantah atau dunia hayalan yang nyata. Lalu  akan mengalami pemeriksaan tubuh seperti metaldetector, dan jika  membawa makanan, makanan itu juga diperiksa. Jika semuanya bersih (clean), maka barulah mulai masuk ke dalam kehidupan baru dan aneh.

Keanehan pertama adalah hnya ada satu aula besar untuk bertemu dengan “napi” idaman anda. ada kursi dan meja berderet seperti warung bakso atau cafe ala anak alay. Jika tidak ada tempat duduk silahkan lesehan, akan ada sejumlah tikar yg ditawarkan, tentu tidak “gratis”. Keanehan kedua, anda akan menemukan interaksi yang riuh pikuh, suara anak anak bermain, ketawa, senyum dan saling pelukan. Nah pada bagian saling berpelukan ini, yang menurut saya mengganggu mata batin saya dan mungkin juga anda. Pelukan yang saya maksudkan bukanlah pelukan kehangatan antara anak dan orang tua, atau suami dan isteri, atau sobat karib yang lama tak bertemu.

“Pelukan” yang saya maksud adalah pelukan penuh “nafsu” yang sangat mengganggu mata dan batin saya serta sebagian besar pengunjung termasuk anak-anak yang berseliweran. Bahkan tdk jarang pelukan itu disertai cumbu cumbuan. Bagi saya tdk ada yang salah dari perbuatan itu, karena mungkin mereka pasangan suami isteri dan dua kekasih yang merindukan dan saling mencintai. Inilah norma dan nilai yang hidup di dalam penjara, ketika negara gagal menyediakan ruang gratis bagi mereka mereka yang merindukan kehangatan karena kehidupan mereka sebagian direnggut oleh negara. Bisa jadi mereka akan hidup selama 10 atau 20 tahun di penjara atau malah seumur hidup.

Bila orang yang dicintai datang dari jauh, mereka tak sanggup melepas rindu dan melepaskannya tanpa melihat ada norma di luar penjara yang sebenarnya melarang “pelepasan” tersebut karena kurang etis dan menabrak nilai yang hidup dalam masyarkat.
Norma yang dipamerkan para napi tersebut membuat gangguan dan benturan nilai dari orang yang berada di luar penjara.

Penjaga Norma

Dengan situasi yang digambarkan di atas, maka muncul satu pertanyaan, siapakah penjaga norma di penjara kita? apakah sipir? kepala Lembaga Pemasyarakatan? Kakanwil Hukum dan HAM? Direktorat Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM? atau Menteri Hukuman HAM? Norma yang dimaksudkan adalah pedoman berperilaku narapidana dan pengunjung. Pedoman ini memberikan arah dan panduan, bagaimana seharusnya orang berperilaku dalam sebuah interaksi sosial dalam sebuah komunitas yang terbatas seperti di penjara. Jika terjadi pelanggaran norma, maka tentu saja ada konsekuensi yang harus diterima bagi mereka yang melanggar norma tersebut.

Ketiadaan norma yang mengatur perilaku napi dan pengunjungi ini merupakan salah satu dari sekian banyak masalah yang dihadapi oleh penjara kita. Segala macam pelanggaran hukum dimasukkan dalam penjara sepanjang telah berkekuatan hukum. Segala macam manusia penabrak hukum baik sengaja maupun tidak sengaja ada di dalam penjara kita, sehingga interaksi yang dibangun sesama napi sangat kompleks. Sulit menetapkan standard perilaku yang boleh dan tidak boleh karena kompleksnya masalah yang dihadapi penjara kita. Oleh sebab itu, segala macam penyimpangan perilaku seolah-olah “dibiarkan” saja berlangsung tanpa dianggap sebagai sebuah pelanggaran perilaku atau tanpa dipandang sebagai pelanggaran norma yang hidup di luar penjara kita.

Dalam konteks ini, negara gagal melindungi hak privasi publik. Negara juga gagal memberikan dan memfasilitasi pertemuan dan hak saling mengasihi mereka yg dipisahkan oleh negara karena harus menjalani hukuman. Ini menjadi renungan kita bersama dan mencari jalan keluar yang adil.

Oleh sebab itu, jalan keluar yang ditawarkan dalam artikel singkat ini adalah menginvetarisasi sejumlah perilaku menyimpang yang terjadi di dalam interaksi sosial pengunjung dan napi. Kemudian menemukan penyebab perilaku menyimpang ini. Setelah itu, mengkomunikasikannya dengan para napi, sipir dan wakil-wakil pengunjung untuk menemukan jalan keluar dalam mencegah dan mengatasi masalah perilaku menyimpang ini. Tentu saja proses ini tidak sebentar, dan tidak hanya berlangsung di satu atau dua lembaga pemasyrakatan. Bisa diambil beberapa lembaga pemasyarakatan sehingga proses partisipasi dalam menyusun standard norma bisa lebih demokratis dan dapat dipedomani dan dipatuhi.

Sebagai penutup dari tulisan ini, saya perlu mengemukakan pandangan salah satu ilmuwan hukum terkemuka di Indonesia yaitu Prof. Soerjono Soekanto, Guru Besar Ilmu Hukum, Fakultas  Hukum Universitas Indonesia. Beliau menyatakan bahwa agar orang patuh dengan hukum maka sedikitnya diperlukan empat komponen yang terintegrasi yaitu (1)  konten hukum yang dibuat; (2) kemampuan dan kemauan penegak hukum dalam mematuhi dan menegakkan hukum sehingga ada kepastian hukum; (3) tingkat kepatuhan atau kesadaran hukum masyarakat; dan (4) fasilitas hukum yang tersedia agar masyarakat patuh kepada hukum. Jika pandangan Prof. Soerjono Soekanto kita kaitkan dengan perilaku napi dan pengunjung  di penjara saat ini, maka dapat dipastikan bahwa norma hukum yang mengatur perilaku tidak tersedia atau tersedia namun tidak dipatuhi dan tidak ditegakkan, dan faktor lain adalah soal fasilitas, apakah fasilitas untuk mendukung terciptanya warga binaan yang patuh hukum  di penjara sudah cukup tersedia ? Karena jika faktor 1, 2 dan 3 telah ada, namun faktor 4 tidak ada maka kepatuhan hukum hanya sebatas utopia belaka.


Published at :

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close