People Innovation Excellence

SYSTEMATIC STANDING PENGELOLAAN MODEL KONFLIK

Oleh: IRON SARIRA (Maret 2019)

Pengelolaan manajemen secara baik terhadap konflik akan dapat menghasilkan solusi yang memuaskan kedua belah pihak yang terlibat konflik. Solusi yang memuaskan ke dua belah pihak akan menghilangkan perbedaan mengenai objek konflik. Hilangnya perbedaan membawa ke duanya kembali dalam interaksi sosial yang harmonis. Pengelolaan ini sudah tentu memiliki model atau cara pengelolaan yang beragam berdasarkan aspek-aspek hubungan secara deskriptif maupun normatif.[1]Model yang sekiranya ingin disampaikan terhadap upaya pengelolaan konflik melalui manajamen kontrol dalam hal ini dapat dicontohkan dalam konsep hubungan industrial, yang mengenal tiga model, yakni Unitary, Pluralist, dan Radical.[2]

Pengelolaan konflik yang tidak memiliki systematicstanding yang jelas, akan memberikan dampak kerugian sebagai pengaruh negatif dari konflik, sebagaimana yang diilustrasikan oleh Wirawan (2013) pada ragaan di bawah ini:[3]

Gambar 1

Kurva Pengaruh Negatif Konflik (Hubungan antara Intensitas Konflik dengan Biaya Konflik)

Konflik memunculkan in-eficiency terhadap pencapaian tujuan organisasi maupun perorangan. Waktu, tenaga, biaya, dan peralatan yang tergunakan hanya untuk melaksanakan upaya-upaya penyelesaiannya, sehingga perlu pemikiran untuk memulai melakukan pengelolaan konflik (Management of Conflict) secara benar, terarah, dan memiliki keinginan untuk mengupayakan perdamaian diantara para pihak. Pengelolaan konflik yang dilakukan dengan berorientasi kepada proses penyelesaian yang kompetitif sebagaimana tersebut di atas akan menjadikan konflik membentuk pola destruktif.

Skema peningkatan intensitas konflik terhadap biaya konflik di atas, manakala dilihat berdasarkan sudut pandang hukum dalam ekonomi (Economic Analysis of Law) secara prinsipnya juga menunjukan suatu pergerakan biaya yang semakin tinggi dengan menarik garis dari dalam dimensi equalibrium(E). Richard A. Posner menyampaikan pandangannya bahwa sifat kompetitif dalam pengelolaan konflik akan membuat biaya tidak dapat dipertahankan (competition would make the price untenable).[4]Pandangan tersebut jika diparametriskan ke dalam ragaan kurva di atas, maka sekiranya akan terlihat sebagaimana gambar di bawah ini:

Gambar 2

Pengaruh Konflik Kompetitif terhadap Biaya

Garis E, A2, dan C sebagai penjelasan awal adalah bidang kurva yang terbentuk dengan testimetris terkecil dari biaya yang diperlukan jika intensitas konflik melebihi titik A2. Demikian halnya akan tetap berkembang lebih jauh jika konflik semakin tinggi terhadap biaya yang akan dikeluarkan, manakala bidang testimetris kurva tersebut digambarkan secara A1, A2, dan D.[5]

Orientasi kompetitif dimiliki oleh setiap manusia, masing-masing berusaha untuk menarik dan mempertahankan kepentingan individualnya.[6]Manusia dengan kebuntuan dan rasa ingin tetap mempertahankan kepentingannya akan menggunakan berbagai cara untuk melakukan penundukkan diri terhadap manusia yang lain dengan sifat-sifat yang destruktif, sehingga bentuk-bentuk tindakan secara kekerasan, menjadi cara yang dilakukan. Konflik ini menjadi suatu konflik destruktif (win or lose).[7]Pihak-pihak yang terlibat konflik tidak fleksibel, karena para pihak sama-sama memiliki tujuan dalam konflik yang terjadi yakni ingin mengalahkan satu dengan yang lainnya. Interaksi konflik menjadi berlarut-larut, siklus konflik menjadi tidak terkontrol karena menghindari substansi permasalahan yang sesungguhnya dengan membawa kepentingan lainnya yang sulit ditarik solusi permasalahannya. Orientasi kompetitif dari para pihak yang sedang mengalami konflik ini akan membuat konflik yang terjadi akan cenderung berkepanjangan, menghabiskan sumber daya yang dimiliki, dan pada akhirnya memungkin terjadinya tindakan-tindakan yang anarkis dengan kecenderungan ingin mengalahkan salah satu pihak. Sehingga dapat dikatakan bahwa konflik yang terjadi dengan para pihak memiliki orientasi kompetitif terhadap berupaya memenangkan kepentingan-kepentingannya, maka akan membentuk suatu situasi konflik yang destruktif.

Lain halnya dengan manusia yang berorientasi kooperatif manakala terjadi konflik, tentu akan memberikan kondisi yang berbeda dari konflik yang bersifat destruktif karena orientasi kompetitif, yakni konflik konstruktif.[8]Konflik konstruktif ini apabila dianalogikan ke dalam suatu peristiwa semisal terjadi perebutan sebuah selang air oleh dua orang anak, maka atas keinginan yang terbesar dari anak-anak tersebut untuk menggunakan selang air pertama dan menyiram bunga-bunga di taman yang diinginkannya, maka mereka akan mencoba secara damai untuk melakukan suatu upaya agar situasi dan kondisi yang ada tidak akan memunculkan konflik atas masing-masing kepentingan yang berbeda. Anak-anak tersebut akan melakukan upaya secara damai (menang-menang terselesaikan), yang sekiranya akan ada pembicaraan melalui salah satu pihak “mari kita lakukan pelemparan koin untuk menentukan siapa yang akan menggunakan selang pertama serta pada yang menyiram kedua (kalah dalam pelemparan koin) diberikan hak terlebih dahulu untuk menentukan bagian taman dan tanaman mana yang akan disiram”, pihak anak yang lain setuju karena merasa terkondisi sebagai suatu prosedur yang adil untuk menyelesaikan permasalahan konflik yang ada. Analogi tersebut melalui orientasi kooperatif dalam menyelesaikan konflik, akan menjadikan permasalahan yang ada akan terselesaikan secara cepat dan sama-sama diterima sebagai suatu solusi terbaik oleh para pihak yang berkonflik, sehingga sifat konstruktif dari konflik ini menjadikan permasalahan berkahir secara damai.[9]

BAHAN BACAAN           

[1]    Andrew Goldsmith, The Management-Control Collective Bergaining Relationship: Three Models, Osgoode Hall Law Journal, York University, Vol. 24 # 4, 1986, hlm. 776.

[2]    Osgoode Hall Law Journal, York University, Vol. 24 # 4, 1986, hlm. 777. Disebutkan dalam jurnal tersebut bahwa:

The Unitary and Pluralist modelsillustrate the influence of each model upon the values, assumptions and decisions of arbitrators, judges, labour boards and also legislators. The characteristics of law and legal institutions also reflect the development of the managerial ideologies associated with the Unitary and Pluralist models. While some might wish to assert that the Unitary model is now merely a matter of historical interest, it still influences thinking about management and collective bargaining issues. Pluralism is important as it would appear to be the most influential contemporary perspective on these matters, and leaves its unmistakable stamp upon the structure and jurisprudence of collective bargaining. In contrast, while few if indeed any arbitrators, judges, managers or even employees appear to subscribe openly to the Radical view, nonetheless it provides a useful interpretation with which to analyse the other models, and particularly Pluralism. In particular, it explicitly invokes the dimensions of power, ideology and employee consent which are important and insightful concepts for making sense of the management-control collective bargaining relationship. These three models may also be examined in terms of their significance for both the public and private sectors. It would be possible to equate the two sectors with respect to many aspects of the three models, and it is now also widely conceded that public sector bargaining is more prevalent than private sector bargaining. Moreover, because public agency managers have traditionally exhibited an even greater degree of resistance to unionism and bargaining than their private sector counterparts the public sector presents an interesting field for the investigation of the impact of collective bargaining on management control. Examination of the Pluralist view of public sector management and collective bar- gaining will necessitate, however, a separate consideration of legal aspects because of the distinct development of collective labour law in the public sector. Separate treatment of the public sector is also accorded under the Unitary and Radical modelsto reflect the distinct approaches given to it under these models.

[3]    Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik, Op.Cit., hlm. 108-109.

Disebutkan terkait bahwa konflik sebagai konsekuensi negatifnya, salah satunya adalah adanya biaya konflik. Biaya ini diperlukan untuk melakukan transaksi konflik dalam bentuk sumber-sumber, seperti: energi fisik, psikologis, uang, waktu, dan peralatan. Makin tinggi intensitas konflik, makin tinggi sumber yang akan tergunakan. Sumber-sumber yang tergunakan sudah pasti berasal dari pihak-pihak yang terlibat konflik, baik secara organisasi maupun perorangan. Konflik yang mengarah kepada penggunaan sumber-sumber tersebut, sudah pasti merupakan konflik secara destruktif (kompetitif), intensitas konflik yang berkepanjangan tersebut akan membuat substansi utama sebagai akar permasalahan konflik akan semakin kabur atau tidak jelas, sehingga para pihak akan semakin jauh dari upaya atau resolusi ke arah perdamaian.

Apabila mengambil analogi dari Rob Jagtenberg tentang fruitful comparisson, maka Biaya Konflik akan semakin tinggi akibat tingginya Intensitas Konflik.

[4]    Richard. A. Posner, Economic Analysis of Law, Little Brown & Company, Canada, 1977, Cet. 6, hlm. 198.

[5]    Gambar 3.11di  atas merupakan dimensi pengembangan terhadap kajian “The Monopolys Price and Output”, Richard A. Posner, hlm. 195-198.

[6]    Morton Deustch, et.al.,Op.Cit., hlm. 25

[7]    Wiryawan, Op.Cit., hlm. 62.

[8]    Morton Deustch, et.al.,Op.Cit., hlm. 25.

[9]    Wiryawan, Op.Cit., hlm. 61.


Published at :

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close