People Innovation Excellence

RATIO DECIDENDI DAN KAIDAH YURISPRUDENSI

Oleh SHIDARTA (Maret 2019)

Apa itu “ratio decidendi”? Istilah ini sangat dikenal dalam konteks sistem hukum common law. Secara harfiah istilah tersebut berarti “alasan untuk menjatuhkan putusan” (the reason for the decision). Ratio decidendi, menurut Michael Zander dalam bukunya ‘The Law Making Process’ (2004), dapat diartikan sebagai “A proposition of law which decides the case, in the light or in the context of the material facts” (Suatu proposisi hukum yang memutuskan suatu kasus dilihat dari sudut atau dari konteks fakta-fakta material).

Jadi, format dari ratio decidendi di dalam putusan hakim itu dinyatakan dalam suatu proposisi hukum. Proposisi dalam konteks ini adalah premis yang memuat pertimbangan hakim. Proposisi ini dapat diungkapkan secara eksplisit atau implisit. Hal ini mengingatkan kita pada definisi lain tentang ratio decidendi dari Sir Rupert Cross dalam buku ‘Precedent in English Law’ (editor J.W. Harris, 1991) yang menyatakan, “Any rule expressly or impliedly treated by the judge as a necessary step in reaching his conclusion” (Setiap aturan yang tersurat atau tersirat yang diterapkan oleh hakim sebagai langkah yang perlu dalam mencapai kesimpulan). Kata “rule” (aturan) di sini mohon dibaca dalam perspektif sistem common law di Inggris, sehingga bukan semata aturan perundang-undangan, tetapi lebih sebagai proposisi hukum buah dari pertimbangan rasional sang hakim.

Dalam sistem common law, putusan hakim terdahulu merupakan sumber hukum utama yang mutlak untuk dicermati tatkala kita menghadapi suatu perkara serupa. Kata ‘serupa’ di sini menunjukkan adanya kesamaan dari karakteristik fakta-fakta yang terjadi di antara perkara-perkara tersebut. Fakta-fakta di sini harus merupakan fakta-fakta material (the material facts), yang memang dipakai sebagai basis oleh hakim saat ia membangun pertimbangan-pertimbangannya menuju pada kesimpulan.

Jadi, ada bagian deskriptif dari ratio decidendi itu yang harus dilihat dan kemudian diperbandingkan antara perkara terdahulu dan perkara yang tengah dihadapi sekarang. Sebagai contoh, pada putusan terdahulu, ratio decidendi yang dibangun oleh hakim berbunyi: “Setiap penumpang kereta api adalah konsumen yang wajib mendapat pergantian kerugian secara penuh atas kerusakan barang miliknya akibat peristiwa anjoknya kereta dari relnya terlepas dari ada atau tidaknya kehati-hatian penumpang di dalam mengemas barang tersebut.” Di sini terliihat fakta-faktanya adalah: (1) pihak yang berhadapan di dalam kasus ini adalah penumpang kereta api dan perusahaan kereta api; (2) objek gugatan penumpang adalah bagasi tangannya yang rusak; (3) penyebab kerusakan menurut perspektif penumpang adalah karena anjoknya kereta dari relnya; (4) ada sanggahan dari perusahaan kereta api bahwa barang itu rusak karena penumpang memang tidak mengemasnya dengan hati-hati.

Hakim di kemudian hari ternyata menghadapi kasus lain, yang walaupun secara faktual berbeda, tetap masih berkaitan dengan sengketa hak konsumen. Di sini, katakanlah konsumennya bukan penumpang kereta api, melainkan penumpang pesawat terbang. Penumpang tersebut menggugat sebuah maskapai penerbangan karena bagasi tangannya rusak akibat pesawat mengalami turbulensi di tengah perjalanan. Apakah ada kesamaan fakta-fakta material dari dua perkara di atas? Persamaan fakta dari kedua kasus itu kiranya lebih mengemuka daripada perbedaannya. Walaupun berbeda jenis kendaraannya, keduanya adalah sama-sama moda transportasi yang melayani masyarakat umum. Anjoknya kereta dari rel dan turbulensi pesawat terbang juga dua peristiwa dengan karakteristik yang sama.

Setelah deskripsi dari dua perkara ini ditelaah, kita dapat melihat sikap hakim terdahulu yang ternyata lebih berpihak kepada konsumen. Pertanyaannya adalah: apakah sikap ini juga bisa digunakan dalam perkara yang baru ini? Di sini ratio decidendi menyentuh dimensi preskriptifnya. Pada perkara terdahulu, hakim mengabaikan ada atau tidaknya fakta bahwa penumpang tidak berhati-hati saat mengemas barang bawaannya. Jika barangnya berupa pecah belah, misalnya, maka tidak ada keharusan bahwa konsumen harus menaruh busa di antara barang-barang itu karena barang-barang itu seharusnya tetap aman (tidak rusak) seandainya saja kereta api berjalan secara normal. Jadi, penyebab kerusakan bukan karena faktor pengemasan, melainkan faktor anjoknya kereta dari rel.

Jika hakim memutuskan bahwa ruang lingkup dari proposisi pada perkara terdahulu dapat dipertahankan, maka berarti ia sudah menyimpulkan bahwa perkara yang tengah ditanganinya sekarang tetap menggunakan ratio decidendi mengikuti perkara terdahulu. Ia tidak beranjak dari ratio decidendi yang sudah ada (stare decisis).

Oleh karena dua perkara di atas berangkat dari peristiwa konkret yang berbeda, maka tentu tidak dapat dihindari pasti ada bagian-bagian dari fakta, atau bahkan berimbas pula pada pertimbangan hakim terdahulu yang tidak ikut dijadikan pertimbangan oleh hakim yang mengadili perkara serupa di kemudian hari. Hakim perlu menyeleksi fakta berikut dengan pertimbangan hukumnya, dan memilih yang benar-benar material dan relevan saja untuk diikuti. Bagian-bagian yang tidak diikuti ini disebut dengan obiter dicta (bentuk jamak dari: obiter dictum), terkadang cukup ditulis singkat dengan kata “dictum”. Harap dicatat, bahwa dictum di sini tidak sama maknanya dengan diktum dalam arti amar sebagaimana lazim dikenal di dalam literatur hukum di Indonesia.

Menurut J. Myron Jacobstein dan Roy M, Mersky dalam ‘Legal Reserach Illustrated’ (1990),”The ratio decidendi and dictum are sometimes easly identified, but more often the distinction is subject to interpretation. The determination of what is the ratio decidendi, and what is dictum, is focus of legal analysis and is often the critical point of legal argument.” Mereka juga mengatakan bahwa obiter dicta di dalam sistem common law memang tidak mengikat bagi hakim yang menjatuhkan putusan serupa di masa depan, tetapi mungkin saja ia bersifat persuasif. Hal ini terjadi karena apa yang dianggap  obiter dicta saat sekarang, kemungkinan berkembang menjadi doktrin baru yang diikuti di masa mendatang.

Doktrin the due care (kehati-hatian yang saksama) dapat saja sekarang menjadi faktor yang menyelamatkan perusahaan pengangkutan dari kewajiban mengganti kerugian pada penumpang yang barangnya rusak selama perjalanan. Oleh sebab itu, misalnya, klarifikasi dan konfirmasi penumpang bahwa ia akan bertanggung jawab secara pribadi atas keamanan bagasi tangannya atas kondisi apapun, saat ini sudah cukup menjadi disklaimer yang membebaskan perusahaan dari tanggung jawab mengganti kerugian. Apabila, misalnya, ada konsumen yang menggugat dengan dalih bahwa secara faktual hukum pengangkutan penumpang di berbagai negara sudah memberlakukan asas tanggung jawab mutlak (strict liability), maka dalih ini akan disingkirkan sebagai obiter dicta. Namun, bukan tidak mungkin di kemudian hari hakim akan mengatakan bahwa teknologi sensor yang dikembangkan saat itu telah mampu menyortir (dengan standar resmi) semua barang yang dibawa oleh penumpang, sehingga akan tahu mana bagasi yang aman dan tidak aman dibawa selama perjalanan. Jika tidak aman, penumpang akan diwajibkan untuk mengasuransikan barang bawaannya. Dalam kondisi seperti itu, apabila suatu barang sudah masuk ke dalam moda angkutan bersama penumpang, maka perusahaan pengangkutan wajib untuk bertanggung jawab secara mutlak. Dengan demikian, perihal yang semula dipandang sebagai obiter dicta, kini justru diterima sebagai doktrin baru dan dialihkan oleh hakim menjadi ratio decidendi dan berimplikasi akan mengikat untuk diikuti oleh hakim-hakim berikutnya.

Dalam praktik di ruang pengadilan pun, khususnya tatkala suatu pengakuan terdakwa dan/atau keterangan saksi ingin digali lebih jauh, para penegak hukum yang memeriksa kasus itu cukup lazim mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sekilas tidak berkaitan langsung dengan isu sentral dari perkara itu. Namun, pertanyaan-pertanyaan demikian dapat saja dipandang “berguna” karena dari rangkaian jawaban-jawaban itu bisa ditarik benang merah guna menambah keyakinan majelis hakim nanti saat mereka mengambil kesimpulan dan menjatuhkan putusan. Sebagai contoh, dalam sidang kasus pemerkosaan, hakim mungkin saja bertanya bagaimana posisi tubuh perempuan ‘korban pemerkosaan’ ketika pelaku dan korban berhubungan badan: apakah ada di atas atau di bawah tubuh pelaku. Pertanyaan seperti ini sebenarnya tidak material untuk membuktikan perbuatan itu pemerkosaan atau bukan, sehingga kalaupun jawaban terdakwa dan/atau saksi korban dimasukkan ke dalam putusan, maka jawaban demikian termasuk ke dalam obiter dicta.

Di Indonesia, istilah ratio decidendi memang tidak cukup populer digunakan. Biasanya kita memakai terminologi lain yang agak mirip dengan itu, yakni kaidah yurisprudensi. Apabila suatu putusan sudah diklaim atau diberi label sebagai yurisprudensi, maka harus ada kaidah yurisprudensi yang bisa ditarik dari putusan tersebut. Kaidah ini harus dapat diformulasikan sebagai proposisi dan di kemudian hari akan menjadi premis mayor saat hakim menerapkannya dalam pengambilan kesimpulan. Boleh jadi, proposisi yang dimaksud tidak benar-benar secara eksplisit tertuang di dalam putusan tadi, namun seperti apapun cara hakim mencantumkannya, proposisi ini tetap dapat diangkat dan diformulasikan kembali sebagai sebuah premis.

Sebagai contoh, dalam putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan dengan nomor perkara 144/Pid/1983/PT.Mdn, majelis hakim yang dipimpin oleh Bismar Siregar menjatuhkan putusan yang menghukum terdakwa Mertua Raja Sidabutar karena melakukan penipuan (Pasal 378 KUHP) terhadap saksi korban Katarina Br. Siahaan. Kaidah yurisprudensi yang penting dalam kasus ini ada pada unsur “barang” yang dinyatakan oleh hakim telah diserahkan oleh saksi korban kepada terdakwa. Faktanya, barang yang dimaksud adalah kegadisan dari si korban.

Perlu dicatat bahwa “kegadisan adalah barang” bukanlah kaidah yurisprudensi karena pernyataan itu adalah kesimpulan dari suatu silogisme. Kita membutuhkan ratio decidendi, yaitu proposisi yang mengantarkan hakim Bismar Siregar untuk sampai pada kesimpulan itu. Untuk itu, kita perlu mencari apa premis yang dibangun oleh hakim untuk mendefinisikan kata “barang” dalam Pasal 378 KUHP terkait dengan kasus yang sangat terkenal sekaligus kontroversial ini.

Kendati tidak secara eksplisit disebutkan, kita dapat menangkap bahwa Bismar Siregar telah menetapkan suatu proposisi yang sangat menarik, yaitu bahwa semua organ tubuh yang menyatu pada diri seseorang adalah barang sebagaimana dimaksud pada Pasal 378 KUHP. Pernyataan ini adalah sebuah proposisi yang berfungsi sebagai premis mayor. Sebab, premis minor yang muncul kemudian menyatakan bahwa kegadisan adalah organ tubuh yang menyatu pada diri seseorang (dalam hal ini pada diri Katarina Br. Siahaan).  Konklusi dari silogisme ini tidak bisa lain kecuali bahwa kegadisan adalah barang sebagaimana dimaksud pada Pasal 378 KUHP.

Putusan Bismar ini memang bukan sebuah yurisprudensi karena di kemudian putusan ini dianulir oleh Mahkamah Agung. Namun, seandainya ia menjadi sebuah yurisprudensi, maka kaidah yurisprudensinya terletak pada premis mayor itu, bukan pada premis minornya. Dengan demikian, siapapun hakim yang mengadili kasus serupa, dapat menggunakannya. Tidak lagi harus berkaitan dengan kegadisan, melainkan bisa berupa organ tubuh yang lain. Konsekuensinya tentu saja, organ tubuh seperti jantung dan ginjal pun adalah barang sebagaimana dimaksud pada Pasal 378 KUHP.

Apakah secara doktrin kita dapat dan patut memposisikan organ tubuh sebagai suatu barang? Apakah organ tubuh sama dengan benda sebagai objek dari suatu hubungan hukum seperti dikenal dalam Buku II KUH Perdata? Apakah kedekatan lafal kata ‘bonda’ (berarti ‘kelamin’ dalam bahasa Tapanuli) bisa menjadi dasar pembenaran untuk menganalogikannya dengan kata “benda” dalam konsep KUH Perdata?  Pertanyaan-pertanyaan ini tentu mengusik nalar hukum kita.

Dalam sistem hukum Indonesia yang tidak mengenal asas preseden yang mengikat, maka hakim-hakimnya sangat perlu untuk lebih cermat dalam memilih dan memilah putusan-putusan terdahulu, yang notabene telah diklaim sebagai yurisprudensi. Mereka perlu mencari ratio decidendi dari suatu putusan hakim yang berlabel yurisprudensi itu, dengan menelaah fakta material yang terjadi pada perkara terdahulu dan membandingkannya dengan fakta dari kasus yang tengah dihadapinya. mereka tidak disarankan untuk langsung mengutip kaidah yurisprudensi tanpa terlebih dulu memahami fakta-fakta material ini. Jika itu dilakukan, berarti mereka sudah masuk ke dimensi preskriptif tanpa melewati dimensi deskriptif dari putusan tersebut. Dan, patut juga diperhatikan bahwa kaidah yurisprudensi pada hakikatnya adalah kaidah penemuan hukum. Tidak layak suatu putusan disebut sebagai yurisprudensi apabila di dalamnya tidak dapat dilacak adanya penemuan hukum, baik yang memberi tafsir baru (melalui interpretasi di luar tafsir gramatikal) atau menetapkan norma baru (melalui konstruksi), yang berbeda dengan ketentuan dari berbagai sumber hukum yang sudah berlaku saat ini.

Persoalan teknis yang dihadapi saat ini adalah hakim-hakim kita terkadang mengalami kesulitan untuk mengakses putusan terdahulu itu secara lengkap. Mereka hanya mendapati nomor putusannya dan sedikit potongan dari kaidah yurisprudensi itu. Inilah yang kemudian mereka kutip dan ditampilkan dalam putusannya. Potongan dari kaidah yurisprudensi itupun boleh jadi juga dikutip dari buku atau putusan hakim lain yang juga mengutipnya secara tidak lengkap. Bahkan, tidak mengherankan apabila nomor putusan terdahulu itupun ternyata diketik secara keliru. Ironisnya, tidak banyak pihak yang berminat untuk melacak akurasi dari kutipan-kutipan kaidah yurisprudensi tersebut dalam tumpukan putusan-putusan hakim di Indonesia dewasa ini. (***)



Published at : Updated

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close