People Innovation Excellence

RASA KEBANGSAAN: PENGALAMAN TAIWAN

Oleh SHIDARTA (Januari 2019)

Taiwan adalah satu sosok unik tatkala kita bicara tentang “rasa kebangsaan”. Keunikan ini muncul karena status mengambang terkait entitas Taiwan, apakah ia merupakan negara bangsa (nation-state) atau sebuah provinsi yang memisahkan diri dari negara induknya? .

Bagaimana orang Taiwan memposisikan diri mereka, apakah mereka menganggap diri mereka sebagai bangsa Taiwan atau bangsa China? Pertanyaan ini sangat sensitif dalam hubungan internasional, termasuk bagi Indonesia ketika harus berurusan dengan Taiwan. Patut dicatat, bahwa sebagai efek dari kebijakan “satu China”, maka di Indonesia tidak ada Kedutaan Besar Taiwan. Yang ada adalah Kantor Dagang dan Ekonomi (Taipei Economic and Trade Office/TETO). Sekalipun statusnya adalah kantor dagang, namun dalam kesehariannya kantor ini menangani banyak hal, termasuk pemberian visa ke Taiwan. Indonesia juga tidak mempunyai kedutaan besar di Taipei, melainkan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI). Dalam beberapa kali kunjungan Kepala TETO ke Kampus BINUS University, beliau terkesan sangat bahagia bila dipanggil dengan sebutan “Mr. Ambassador”.

Dalam relasi antar-bangsa, Taiwan rupanya cukup tahu diri dengan kekikukan yang dialami oleh negara-negara lain yang memandang China Daratan (mainland China) atau Tiongkok sebagai satu-satunya perwakilan resmi bangsa China di dunia internasional. Sepanjang Tiongkok tidak keberatan, negara-negara tersebut juga tidak keberatan untuk menempatkan Taiwan sebagai entitas yang terpisah. Misalnya, dalam perlombaan olahraga, Taiwan diperbolehkan mengirim kontingen dan mengibarkan bendera mereka sendiri. Mungkin di mata Beijing, posisi Taiwan sama saja dengan Hongkong atau Macao, yang juga boleh membawa panjinya masing-masing.

Jika dihitung mundur sejak tahun 1949, tatkala imigran anti-komunis dari China Daratan berbondong-bondong pindah menetap di pulau Formosa atau sekarang dikenal dengan Taiwan ini, maka saat ini penduduk Taiwan keturunan para imigran itu sudah masuk ke generasi ketiga atau keempat. Jadi secara demografis, generasi yang bakal memegang kendali politik, ekonomi, dan kehidupan kemasyarakatan di Taiwan saat ini adalah kelompok penduduk yang tidak pernah mengalami langsung peristiwa perang saudara antara Taiwan dan China Daratan. Perubahan generasi ini membawa pergeseran cara pandang tentang siapa mereka sebagai orang Taiwan. Kecenderungan baru tersebut terlihat dari peralihan arah angin politik.

Di Taiwan saat ini terdapat dua partai politik besar (dari 300-an partai politik yang terdaftar) yang secara bergantian menguasai parlemen dan pemerintahan, yaitu Partai Kuo MIn Tang (KMT) dan Partai Progresif Demokrat (Democrat Progressive Party/DPP). Baik KMT maupun DPP tidak mewakili pikiran untuk bersatu dengan China Daratan. KMT mewakili kaum konservatif dari kelompok kiri-tengah yang mengedepankan nasionalisme China, sedangkan DPP adalah pemimpin kelompok kanan-tengah yang mempromosikan nasionalisme Taiwan. Dalam konteks ini berarti DPP menginginkan kemerdekaan Taiwan sebagai negara terpisah dari China Daratan, sedangkan KMT tidak jelas posisinya dalam urusan kemerdekaan ini karena sikap awal KMT untuk membalikkan keadaan dengan menjadikan Taiwan sebagai satu-satunya representasi China dapat dikatakan “tinggal kenangan.” Beberapa partai politik di Taiwan yang membawa gagasan untuk bersatu kembali (reunifikasi) dengan China Daratan seperti Partai Buruh dan Partai Baru, ternyata tidak mendapat suara yang signifikan dalam berbagai ajang pemilihan umum.

Kepemimpinan DPP di bawah Presiden Tsai Ing Wen sekarang ini menunjukkan bahwa gagasan untuk membawa Taiwan menjadi negara terpisah, secara politis ternyata lebih bisa diterima. Namun, apakah hal ini cukup masuk akal?

Dalam beberapa kali kunjungan saya ke Taiwan, saya mendapati bahwa dalam kehidupan keseharian mayoritas orang di Taiwan selalu berkeyakinan mereka pada dasarnya adalah orang China. Hal ini tentu tidak menutup kenyataan bahwa secara etnis penduduk Taiwan sesungguhnya cukup majemuk. Namun, orang Taiwan pasti berbicara dan menulis dalam bahasa Mandarin sama seperti rekan-rekan mereka di China Daratan. Mereka juga kerap bertemu dengan orang-orang dari China Daratan yang berkunjung ke Taiwan, atau sebaliknya bila mereka berkunjung ke China Daratan. Jadi, secara komunikasi people-to-people, seyogianya tak ada masalah. Bahkan, John F. Cooper (2013: 324-5) menulis:

Over the half century-plus, Taiwan has developed its own identity. This process was called Taiwanization or localization. The mainland Chinese who came to the island after World War II promoted the island’s Chinese heritage and its links with the Mainland, but with democratization, the Taiwanese majority began playing a new and much greater role in education, social policy, the economy, and politics. From the growing influence of the locally born Chinese, there grew a “revisionist” history of the island. Taiwanese historians emphasized the island’s uniqueness rather than its affinity to China. Taiwan’s culture became more Taiwanese. Local “things,” such as books, dance, songs, and much more, became more visible than Chinese “things.”

However, in the last three and a half decades, these trends have been offset or even negated to a large extent by an increasing interest in China. Many people in Taiwan are now looking for their roots. They are proud of China. Many share a desire to see China restored to tis once dominant role in the world. Many recognize that Taiwan is too small to make an impact on world history. Many believe if Taiwan were to become part of China, it would make a difference. Finally, if Taiwan is, as many in Taiwan and elsewhere suggest, a model that the People’s Republic of China is applying in its economic and political development (which seems to have happened and is happening) there will doubtless be convergence and eventually the foundation laid for a smooth, peaceful reconciliation.

Meanwhile doubt has grown in Taiwan about its wholesale imitation of the United States and Europe. Unlike two or three decades ago, many in Taiwan today see much in the United States that is undesirable: crime, mistreatment of the aged, child abuse, juvenile delinquency, pornography, drugs, a decline in the quality of education, excessive freedom, unsustainable spending, unpopular and unworkable governments, and more. Most people oppose allowing these problems to “infect” Taiwan’s society. Many are aware of racial discrimination against Asians, notably in America’s best academic institutions, but also in America’s immigration policies, which keep Asians out while ignoring millions of illegal immigrants from Latin America. Hollywood and the media, in the eyes of Asians, are biased against them.

Jadi, dengan mengambil perspektif Cooper di atas, berarti terdapat arus balik kecenderungan orang-orang di Taiwan untuk makin mendekatkan diri mereka ke China Daratan, sepanjang Negeri Tirai Bambu itu terus mampu menunjukkan konsistensinya menjadi kekuatan alternatif di luar Amerika Serikat. Kekuatan China Daratan sebagai superpower baru dunia dapat dipastikan bakal makin memperlemah posisi tawar Taiwan dari sisi pergaulan internasional, sementara di dalam negeri akan membangkitkan romantisme rasa kebangsaan orang Taiwan sebagai satu bangsa dengan orang-orang di China Daratan. Boleh jadi, hal inilah yang menambah keyakinan Presiden China Xi Jin Ping ketika ia mengatakan bahwa reunifikasi Taiwan dengan China Daratan sebagai sesuatu yang tak terelakkan (the Jakarta Post, January 3, 2019, p.1).

Apabila kita merujuk pada rasa kebangsaan Taiwan sebagai sebuah bangsa, maka kita sungguh tidak mampu melihatnya secara utuh sebagai intensi yang benr-benar tulus. Pada bulan Oktober 2018, memang ada sekelompok pendukung pro-kemerdekaan Taiwan turun ke jalan mendorong agar Taiwan memproklamasikan kemerdekaannya. Namun, kampanye seperti ini terbukti tidak cukup berdampak bagi masyarakat Taiwan yang menganggap isu seperti itu sekadar jualan politik DPP dan jika langkah itu benar-benar diambil maka gonjang-ganjing poltik bakal memukul balik stabilitas perekonomian di Taiwan. Jualan gaya lama DPP tersebut terbukti juga tidak mampu mendongkrak suara partai ini dalam pemilihan antar-waktu tahun lalu, dan sebaliknya memberi tambahan kekuatan bagi KMT. Kesimpulan kita, berarti secara politis dewasa ini hanya ada dua sikap bagi Taiwan, yaitu memerdekakan diri seperti kehendak DPP, atau menjaga status quo seperti yang ditunjukkan oleh KMT.

Bagi kita bangsa Indonesia, yang melihat fenomena tarik-menarik hubungan antara Taiwan dan China Daratan seperti itu, memang pada akhirnya tidak dapat berbuat lain kecuali harus juga menyikapinya secara pragmatis. Apabila suatu saat nanti, senyampang China Daratan dapat mengajak Taiwan masuk ke dalam kesatuan negeri itu, maka Taiwan akan menjadi satu “species” baru, yang tidak akan sama dengan apa yang kita temukan pada Hongkong atau Macao. Penduduk Taiwan adalah sebuah corak China yang unik, dengan rasa kebangsaan mereka sebagai orang China, tetapi dengan rasa kebanggaan yang berbeda. Bangga sebagai bangsa China yang terbiasa dengan nilai-nilai demokratis.

Mudah-mudahan bangsa kita tidak mengalami “tragedi” sejarah yang panjang seperti ini. (***)


REFERENSI:

John F. Cooper, Taiwan: Nation-State or Province. Boulder: Westview Press, 2013.


 

 

 

 

 

 

 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close