People Innovation Excellence

JAWARA BANTEN DAN KEKERASANNYA, BENARKAH ITU ?  

Oleh AGUS RIYANTO (Desember 2018)

Secara etimologi, “jawara” berarti sebagai juara atau jagoan yang berarti pemenang, yang ingin dipandang hebat dan kuat. Jago sendiri adalah istilah umum bagi golongan “tukang pukul”atau orang yang suka berkelahi. Jawara juga memiliki makna jagoan, dalam pengertian “jago” menyambung ayam dan bela diri pencak silat termasuk juga termasuk ke dalam kategori ini, selain mempertunjukkan kemampuan ilmu kekebalannya. Kemampuan seperti di atas dipergunakan jawara untuk membela dan menciptakan rasa aman dan juga ketenangan di lingkungan sekitarnya. Jawara Banten, di dalam pandangan Tihami dan Sartono Kartodirjo identik dengan kekerasannya. Tihami mendefinisikan jawara sebagai seseorang yang menjadi muridnya kyai dan memiliki ilmu-ilmu kesaktian melalui penguasaan ilmu silat. Sementara itu, Sartono Kartodirjo mendeskripsikan bahwa jawara adalah sebagai golongan sosial yang terdiri dari orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, tetapi seringkali melakukan kegiatan kriminalitas, mengambil hak miliknya orang lain dengan cara menggunakan kekerasan. Dari kedua pendapat inilah, maka jawara digambarkan seolah-olah sosok pribadi menakutkan, mengedepankan kekerasan dan tidak menunjukkan kekerabatan terhadap masyarakat. Namun, yang menjadi pertanyaaan apakah benar stigma negatif jawara itu sama dengan pertama kali hadirnya jawara dengan realitas sekarang?

Citra negatif jawara Banten, sesungguhnya, bermula bentukanopini kolonial Belanda. Hal ini terjadi setelah ditaklukannya kesultanan Banten dan menjadikan wilayahnya sebagai jajahan Belanda, maka para kiai dan jawara mengobarkan perlawanan terhadap kolonial dan pamong prajanya. Di dalam situasi konflik, maka kondisi sosial dan politik menjadi tidak teratur dan tatanan sosial terancam tidak aman.  Dengan perlawanan langsung dan terbuka bagi siapa saja dan situasi yang demikian rentan, tak dapat dihindari terdapat berbagai pihak yang sengaja “memancing di air keruh” dan muncul berbagai tindakan di luar hukum, seperti pencurian, perampokan, pemerasan dan lain-lain. Ketidakteraturan di masyarakat  mendorong orang-orang yang tergolong berpunya atau kelompok bangsawan yang telah kehilangan atas tanah dan miliknya, kemudian memanfaatkan situasi dengan menempuh jalur di luar hukumuntuk dapat mengambil kembali hak propertinya. Oleh karena itu, seringkali kolompok bangsawan dengan “terpaksa” bekerja sama dengan bandit-bandit atau perampok-perampok yang sesungguhnya. Kondisi ini yang kemudian dimanfaatkan oleh para pejabat kolonial Belanda untuk mendiskreditkan para pejuang, kiai dan jawara, dengan memberi labelitas “bandit sosial” kepada kaum santri jawara. Belanda memprovokasi masyarakat dan menganggap jawara sebagai pembuat onar, pengacau, dan perampok. Dengan pemberian label negatif, kolonial Belanda mendapatkan justifikasi untuk menganggap berbagai perlawanan dari gerakan sosial yang bermaksud untuk melawan penjajahan asing sebagai kelommpok keonaran, pemberontakan, kekacauan dan ketidak-amanan.

Di samping pandangan tidak baik terhadap jawara yang dibentuk oleh kolonial Belanda ternyata simbol yang terlihat dalam keseharian menunjukkan juga mengindikasikan keberbedaan dan khas yang cenderung mengarah kepada kekerasan. Hal itu dapat ditelusuri dari pertama, gaya bahasa atau tutur kata yang khas dan terkenal sangatlah kasar. Kedua, penampilan diri pribadi para jawara yang berbeda dari sebagian besar masyarakat pada umumnya dengan berpakaian serba hitam. Ketiga,para jawara sering memakai golok sebagai bagian kehidupan sehari-hari di lingkungannya. Keempat, ada kekuatan magis dalam bentuk jimat yang dimiliki para jawara sebagai kekuatan yang digantungkan pada tubuhnya  jawara yang dianggap memiliki kesaktian untuk melindunginya, menangkal penyakit dan menolak bala. Keseluruhannya merupakan kekuatan para jawara yang dapat dilihat dengan kasat mata, sehingga menjadi pemahaman di masyarakat adalah apa yang terlihat bersifat phisik. Hal ini menjadi penting untuk dimiliki dan dikuasai para jawara karena merupakan usaha pembelaan dirinya terhadap orang lain yang dipandang akan dapat melakukan pelecehan atas harga diri yang menyebabkan para jawara merasa  dipermalukan.

Pertama, gaya bahasa atau tutur kata yang khas dan terkenal kasar. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa sunda dengan dialek khas Banten yang sompral (tutur kata yang keras dan terkesanlah sombong), terbuka (blak-blakan), sehingga untuk orang yang pertama kali mendengar seolah-olah tidak sopan. Dengan dialektika seperti ini, maka yang terlihat di luar adalah sebuah komunikasi dengan nada tinggi dan lawan bicaranya seperti terintimidasi secara halus. Terlebih lagi dengan terjadi perbedaan pendapat dalam berkomunikasi, maka sifat kasar seolah-olah mewakili seluruh para jawara. Bahasa sunda yang khas ini menjadi simbolistik kekerasan secara verbal, yang belum tentu sepenuhnya benar, tetapi yang  terlihat dengan kasat mata adalah terdengar keras.

Kedua, penampilan jawara dengan berpakaian seragam menambahkan kesan tersendiri. Sulit dipahami melalui nalar manusia, namun karena para jawara mengguakan kostum seragam dengan warna hitam, maka kesan di masyarakat jawara terlihat berbeda. Hal ini yang memang terjadi di masyarakat dan terlihat kecenderungan penggunaan kekerasan dalam setiap persoalan di masyarakat oleh para jawara, sehingga gambarannya adalah kelompok masyarakat Banten selalu menggunakan kekerasan. Dengan bahasa dan seragam hitam itu memperlihatkan bahwa jawara memiliki keberbedaan dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya sehingga dengan mudah untuk diidentifikasikan

Ketiga, jawara menggunakan senjata berbentuk golok. Golokadalah salah satu peninggalan budaya yang memiliki nilai sejarah dan cerita mistis sebagaimana keris bagi masyarakat jawa. Jawara menggunakan golok dengan diletakan di samping pinggang pemiliknya. Dalam prakteknya golok memiliki kekuatan fisik dan supranatural dengan kemampuan magis luar biasa untuk dapat melumpuhkan para musuh para jawara di Banten. Dengan bersenjatakan golok berarti bahwa jawara dapat dipandang sosok yang memiliki keberanian besar dan dapat melumpukan musuh-musuhnya. Hal ini, karena keampuan dari golok memiliki daya magis dan kekuatan racun yang sulit disembuhkan apabila seseorang terluka dikarenakan sayatan atau tebasan golok yang bisa membuat kematian seseoranga atau bagian tubuh yang terkena sayatan menjadi busuk.

Keempat, ada kekuatan magis dalam bentuk jimat yang dimiliki para jawara adalah dalam rangka kebutuhan praktis untuk kekebalan tubuh terhadap serangan benda-benda tajam. Jimat adalah benda yang dikeramatkan atau dianggap memiliki suatu kekuatan ghaib, sehingga seringkali orang memperlakukan jimat itu dengan perlakuan khusus juga. Dengan kekuatan jimat ini bermuara kepada kekutan fisik sebagai penajaman kemampuan jawara untuk mempertahankan dalam pertarungan dengan pihak lain. Berdasar ke-empat penyebab kekerasan tersebut dengan jelas bahwa jawara menjadi perhatian publik itu karena kekuatan dan kemampuan yang dimilikinya dengan kekuatan fisik lahiriah yang terlihat dengan kasat mata, sehingga hal itu yang terekam di dalam pemahaman masyarakat terhadap jawara.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka jawara adalah warisan budaya yang telah dikonstruksi (dipersepsikan) dengan kekerasannya penjajahan Belanda sebagai bagian dari identitas masyarakat Banten. Hal itu dapat dipelajari dengan teori interaksi simbolik dimana ide-ide dasar itu dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (mind), mengenai dirinya (self) dan hubungannya di tengah interaksi sosial dan tujuan akhir memediasi, serta mengintrepretasi makna di tengah masyarakatnya (society) dimana individu itu telah menetap. Namun, saat ini kondisi telah berubah untuk berpikiran atau berperilaku seperti yang telah dituduhkannya bahwa para jawara lebih dikenal sebagai subkuktur kekerasan menjadikan posisi dan peranan dalam proses interaksi sosialnya para jawara pada umumnya kebanyakan berinteraksi dengan simbol-simbol kekerasannya. Saat ini, jawara telah dipengaruhi oleh peradaban manusia melalui Hak Asasi Manusia (HAM) dan kemajuan ilmu pengetahuan teknologi telah berubah dan telah berevolusi. Jawara dan kekerasannya telah bergeser tidaklah lagi identikdengan simbolis yang terlihat identitas dirinya dengan kekerasannya (gaya bahasa kasar, seragam hitam, golok dan jimat) sebagai kelompok sosial di wilayah Banten. Artinya, tidak lagi tepat kekerasan sebagai bagian identifikasinya. Berubah sesuai pergerakan dan perkembangan zaman dan peradabannya.

Perubahan itu terliihat para jawara telah memegang peranan penting di dalam struktur birokrasi pemeirantahan di daerah Banten. Termasuk juga di dalam hal para jawara telah menjadi pelaku ekonomi dan bisnis yang berperan besar dalam pembangunan infrastruktur di Banten. Dalam bidang sosial politik peran jawara juga sangatlah besar dengan membawa implikasi terhadap kehidupan birokrasi dan dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Hal ini dilakukan dengan memobilisasi masa untuk mempengaruhi keputusan politiknya, termasuk juga dalam penentuan proyek-proyek pemerintah. Bahkan dalam realitas yang terjadi bahwa para jawara telah memasuki wilayah strategis pemerintahan daerah seperti bupati, walikota, gubenur, kepala dinas dan sebagainya. Menguasainya berbagai posisi strategis pemerintahan adalah keyataan bahwa para jawara telah berubah disebabkan kultur, kedekatannya dengan kekuasaan dan ekonomi menjadikan jawara dapat mengkooptasi politik dan ekonomi di wilayah Banten. Dengan hal ini, maka dengan kelompok sosialnya para jawara dapat terintegrasi untuk dapat menjalankan roda dari pemerintahan di daerah dibawah kendali para jawara. Fenomena ini mengindikasikan bahwa pada titik akhirnya jawara tidak lagi mengarah kekerasan sebagai ketakukan yang ada, tetapi telah menjadi kepada orientasi kepentingan pribadi dan kelompoknya dari pada kepentingan umum dengan mengutamakan aspek politik dan ekonomi yang menjadi tujuan utamanya.

     Dengan berpegang kepada pemaparan tersebut di atas, maka terdapat kejelasan bahwa stigma negatif terhadap jawara dengan yang selama ini dipahami masyarakat umum sesungguhnya berangkat dari konstruksi berpikir (persepsi) yang terjadi di masyarakat yang tanpa disadari telah diterima sebagai sebuah realitas. Kehadiran dengan konstruksi negatif tidak bermula dari masyarakat Banten itu sendiri, tetapi kreasi dari kolonial Belanda. Penjajahan Belanda harus menggunakan cara lain untuk menghadapi perlawanan para kiai dan jawara dan salah cara yang effektif dan menimbulkan konflik langsung adalah dengan menggunakan opini publik melalui persepsi negatif terhadap jawara dengan stigma negatif yang dikemukakan dan diopinikkan, sehingga sesuai dengan berjalannya waktu, maka itu menjadikan sebuah realitas kebenaran yang tidak dapat ditolak oleh masyarakat. Kondisi menjadi bertambah tidak kondusif dengan tampilan para jawara yang mengesankan tampilan kekerasan yang dapat dengan mudah dapat dilihat oleh masyarakat. Dengan kondisi demikian ini, maka tidak berangkat dari kehendak masyarakat Banten itu sendiri, melainkan dari faktor luar masyarakat Banten itu yang menjadi penyebabnya. Yang saat ini telah berubah dan tidak selamanya seperti itu. Dibutuhkan sebuah rekonstruksi baru terhadap pandangan yang tidak tepat terhadap stigma negatif terhadap jawara Banten. Di masa depannya, jawara Banten yang dapat lebih membumi dan bersatu dengan masyarakat dengan mengayomi dan melindungi masyarakatnya demi dan untuk kesejahteraan rakyat Banten keseluruhannya.

 LITERATUR

  • Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Pustaka Jaya, Jakarta, 1988.
  • Tihami, Kiai dan Jawara di Banten, Tesis Master, Universitas Indonesia, Jakarta, 1992.
  • Nina H. Lubis, Banten dalam Pergumulan, LP3ES, Jakarta, 2004.
  • Muhammad Hudaeri, Tasbih dan Golok : Studi tentang Kharisma Kyai & Jawara di Banten, Istiqro, Vol 2 No 01 (2003).
  • Atma Drackonia, Tinjauan Sosiohistoris Atas Stigma Sosial Kaum Jawara, Majalah Kebudayaan, Edisi Perdana, 2016.
  • Indrianti Azhar Firdausi, Jawara Dalam Budaya Banten (Studi Etnografi Komunikasi Mengenai Jawara di Banten), Lontar Journal Communication Sciene, Vol. 4 No 3 Tahun 2016.
  • Humaemi, Ritual, Kepercayaan Lokal dan Identitas Budaya Masyarakat Ciomas Banten, El Harakah, Vol 17 No. 2 Tahun 2015.

Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close