People Innovation Excellence

BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN: SEBERAPA GREGET?

Oleh SHIDARTA (November 2018)

Kehadiran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam khazanah kelembagaan hukum di Tanah Air merupakan fenomena yang cukup unik. Ada yang berpendapat bahwa BPSK adalah semacam small claim court, walaupun ada yang menolak pengkategorian ini karena kata “court” tersebut lazim diterjemahkan sebagai “pengadilan”. BPSK memang bukan pengadilan, melainkan lembaga alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Pasal 49 ayat [1] Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).  Namun, terlepas apakah kita ingin memahami kata “court” ini secara luas atau secara sempit, tidaklah dapat dipungkiri bahwa keberadaan small claim court di sejumlah negara telah menginsipirasi gagasan awal pembentukan BPSK, sehingga akhirnya dimuat di dalam Undang-Undang  Perlindungan Konsumen (UUPK).

UUPK adalah undang-undang hasil inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat, yang pada saat bersamaan juga menginisiasi lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan demikian, alam pikiran dari penggagas kedua undang-undang ini memiliki kesamaan. Artinya, tidak salah pula jika kita mencoba mengkomparasi BPSK dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

BPSK dan KPPU sama-sama didesain untuk memutuskan suatu permasalahan hukum. Namun, jika dilihat dari para pihak yang terlibat di dalam permasalahan itu, terlihat ada perbedaannya. BPSK berada di antara konsumen dan pelaku usaha. Netralitas ini ingin dikedepankan sejak awal, sebagaimana terlihat dari komposisi keanggotaan BPSK, yang terdiri dari unsur pemerintah, konusmen, dan pelaku usaha.  Hal ini berbeda dengan KPPU yang menyelesaikan sengketa berhadapan langsung dengan pelaku usaha. KPPU dengan gagah tampil sebagai representasi dari negara dengan susunan komisioner yang dilantik dan diambil sumpah oleh Presiden. Jika ada pelaku usaha yang melaporkan pelaku usaha lain ke KPPU, pihak pelapor ini tidak alam dijadikan sebagai pihak di dalam proses pemeriksaan di KPPU. Lembaga KPPU mengambail alih kasus itu dan tampil, ibaratnya merangkap sebagai “jaksa” dan “hakim” sekaligus. BPSK tidak didesain bekerja secara high profile seperti itu.

Tentu masih ada sejumlah perbedaan lain yang akan menyita tempat bila disinggung panjang lebar dalam tulisan ini. Kendati demikian, kata “pengawas” yang melekat pada KPPU ternyata juga secara implisit disandang oleh BPSK. Pasal 52 huruf c UUPK memberi tugas bagi BPSK untuk melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku. Tugas ini penting, tetapi praktis tidak mungkin dapat dijalankan oleh BPSK, atau kalaupun dijalankan tidak dapat maksimal dan efektif karena memang bakal berhadapan dengan kendala-kendala konseptual dan teknis. Topik menarik ini kiranya akan dibahas nanti dalam tulisan tersendiri.

Kewenangan BPSK sesungguhnya sangat terbatas, kendati sering hal ini tidak disadari oleh banyak pihak, bahkan mungkin oleh anggota-anggota BPSK sendiri. Hal ini berawal dari telaahan kita atas Pasal 60 UUPK. Dalam suatu penelitian yang penulis adakan dua tahun lalu, sebagian anggota BPSK di berbagai daerah tidak menyadari konsekuensi dari Pasal 60 UUPK. Pasal ini harus dibaca sebagai koridor pembatas kewenangan BPSK. Menurut Pasal 60 UUPK, BPSK berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26 UUPK. Mari kita telusuri keempat pasal ini secara lebih dekat!

Pasal 19 ayat (2) dan (3) UUPK mengatur tentang ganti rugi. Seharusnya ayat (1) diikutkan tatkala kita membaca ayat (2) dan (3) ini. Menurut Pasal 19 ayat (1) pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Pada ayat (2) diatur tentang bentuk-bentuk ganti rugi ini, yaitu berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (3) kemudian mengatur tenggang waktu pemberian ganti rugi ini, yaitu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Jadi, apabila ada konsumen yang menderita kerugian, misalnya karena mengkonsumsi barang yang sudah rusak, maka ia harus berinisiatif dulu meminta ganti rugi kepada pelaku usaha. Apabila pelaku usaha menolak memberikan ganti rugi dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal transaksi, maka konsumen ini sudah dapat membawa kasus tersebut ke BPSK.

Pasal 20 mengatur tentang iklan. Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Artinya, apabila ada iklan yang memuat informasi yang menyesatkan konsumen, maka konsumen dapat membawa kasus ini ke BPSK. Anehnya, di dalam UUPK, aturan yang memuat larangan bagi pelaku usaha periklanan dicantumkan di dalam Pasal 17, padahal Pasal 17 tidak termasuk dalam pasal yang disebut-sebut oleh Pasal 60 UUPK. Pelanggaran terhadap Pasal 17, dengan demikian tidak dapat dijatuhi sanksi administratif oleh BPSK. Sanksinya adalah sanksi pidana menurut ketentuan Pasal 62 UUPK. Dan, lembaga yang berwenang dalam penjatuhan sanksi pidana adalah pengadilan.

Namun, penyimpulan seperti di atas harus juga dilakukan secara hati-hati. Oleh karena Pasal 20 UUPK menjadi koridor kewenangan BPSK dalam penjatuhan sanksi administratif, maka berarti penyelesaian kasus periklanan bisa dibaca dalam dua dimensi sanksi sekaligus. Jika akan dijatuhi sanksi pidana, maka pelaku usaha periklanan harus dituntut di pengadilan (dalam hal ini berawal di pengadilan negeri dalam lingkungan peradilan umum), sedangkan jika akan dijatuhi sanksi administratif, maka tempat penyelesaiannya ada di BPSK. Kiranya, tafsir seperti ini menghasilkan penyimpulan yang lebih bisa diterima.

Pasal 25 mengatur tentang layanan purnajual. Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajb menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purnajual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan. Bunyi ayat (1) dari Pasal 25 di atas perlu diberi aksentuasi yang jelas tatkala kita membacanya, karena batas waktu 1 (satu) tahun itu dapat mengacu ke pemanfaatan berkelanjutan, atau dapat pula merujuk pada penyediaan suku cadangnya. Tampaknya, pemaknaan yang terakhir ini merupakan pilihan yang paling masuk akal. Jadi, jika pelaku usaha tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan, maka kasus ini bisa dibawa ke BPSK. Batas waktu penyediaan tersebut adalah sejak tanggal transaksi sampai paling tidak satu tahun kemudian setelah tanggal transaksi. Apabila ada jaminan atau garansi yang diperjanjikan secara khusus, maka batas waktu penyediaannya mengikuti ketentuan jaminan atau garansi ini. Bagaimana jika perjanjian jaminan atau garansinya kurang dari 1 (satu) tahun? Lagi-lagi tidak jelas apakah ketentuan 1 (satu) tahun itu lalu harus mengalah pada batas waktu menurut perjanjian jaminan atau garansi tersebut. Dalam penafsiran hukum, sangat lazim apabila dimaknai bahwa teks yang lebih kemudian mengalahkan teks sebelumnya. Jadi Pasal 25 ayat (2) huruf b lebih kuat posisinya daripada Pasal 25 ayat (2) huruf a. Asas “lex posterior derogat legi priori” dapat diterapkan di sini, kendati dalam satu undang-undang yang sama.

Jika Pasal 25 berbicara tentang jaminan atau garansi untuk barang, maka Pasal 26 mengatur tentang jaminan atau garansi untuk jasa. Perlu diketahui,bahwa UUPK pada awalnya memang dirancang sebagai perlindungan konsumen untuk barang, bukan untuk jasa. Baru pada perkembangan berikutnya, pembentuk undang-undang menyadari untuk memasukkan juga pasal-pasal tentang perlindungan konsumen untuk jasa. Oleh sebab itu, jangan heran apabila ada pasal yang kebablasan saat disisipi dengan kata “dan/atau jasa”; misalnya tentang cacat tersembunyi pada Pasal 11 huruf b (catatan: sejak kapan dikenal konsep cacat tersembunyi berlaku untuk jasa?).

Pasal 26 secara normatif mengatakan pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang dperjanjikan. Pasal 26 ini secara tersirat ingin mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada ketentuan undang-undang yang mengatur mengenai jaminan/garansi bagi jasa, kecuali jika hal itu sengaja diperjanjikan. Ketentuan layanan purna jual bertenggang waktu 1 (satu) tahun, dengan demikian, hanya berlaku untuk barang, tidak berlaku bagi jasa. Bagi konsumen jasa, patokannya adalah perjanjian jaminan/garansi saja (jika ada).

Oleh karena mekanisme kerja BPSK menggunakan konsiliasi, mediasi, atau arbitrase, maka sanksi administratif hanya mungkin diberikan apabila konsumen dan pelaku usaha memilih untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui arbitrase. BPSK akan mengeluarkan putusan dan di dalam putusan itu dapat diberikan sanksi administratif. Besarnya sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp200juta rupiah. Lagi-lagi jumlah maksimal ini tidak jelas, apakah harus dalam bentuk uang (karena pelanggaran terhadap Pasal 19 terdapat variasi sanksi administratifnya: pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan).

Terhadap putusan melalui arbitrase ini, konsumen dan/atau pelaku usaha dapat mengajukan keberatan ke pengadilan negeri. Istilah “keberatan” ini sengaja dipakai untuk menghindari kesan sama dengan “banding”. Boleh jadi juga karena itulah BPSK tidak dianggap sebagai “court”, sama seperti KPPU yang putusannya pun diberi kanalisasi yang sama ke pengadilan negeri melalui pengajuan keberatan oleh pelaku usaha. Namun, introduksi terminologi “keberatan” ini membingungkan, khusus pada tahap-tahap awal penerapan UUPK, karena Pasal 54 ayat (3) UUPK mengatakan putusan majelis BPSK bersifat final dan mengikat.

Jika kita kembalikan diskusi ini pada persoalan area kewenangan BPSK, maka pertanyaan yang menarik adalah apakah untuk pelanggaran pelaku usaha terhadap pasal-pasal di luar Pasal 19, 20, 25, dan 26 UUPK, juga ada kewenangan BPSK untuk memeriksanya dan menjatuhkan putusan? Dalam praktik, jawabannya adaah “ya”. Mahkamah Agung yang memeriksa putusan BPSK di tingkat kasasi ternyata juga tidak mempersoalkannya. Seandainya Pasal 60 UUPK ingin ditafsirkan secara lebih longgar, maka kita dapat menerima apabila BPSK memperluas kewenangannya dengan menyelesaikan kasus-kasus di luar empat pasal itu. Tentu dengan syarat, sepanjang putusannya tidak menjatuhkan sanksi administratif. Hanya saja, jika bukan sanksi administratif, lalu diktum apa yang diharapkan dapat dikeluarkan dalam putusan majelis arbitrase BPSK?

Persoalan yang lebih unik menghadang pula setelah suatu putusan BPSK dijatuhkan. Hal ini terkesan dari formulasi Pasal 56 UUPK. Pasal ini menyatakan bahwa pelaku usaha wajib melaksanakan putusan BPSK paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ia menerima putusan. Namun anehnya, para pihak masih boleh mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah mereka menerima pemberitahuan putusan tersebut. Jika dicermati redaksi Pasal 56 ayat (1) dan (2), di situ digunakan nomenklatur yang berbeda, yaitu: “menerima putusan” dan “menerima pemberitahuan putusan”. Kata “menerima” juga bisa dipahami secara berbeda-beda, karena bisa diartikan sebagai menerima isi putusan itu sepenuhnya dengan tidak lagi mengajukan keberatan (lihat Pasal 56 ayat [3] UUPK); atau makna yang lain lagi, yakni menerima wujud fisik putusan tersebut atau pemberitahuan tentang putusan itu. Penjelasan Pasal 56 tidak memberi pencerahan apapun terkait hal ini, kecuali sekadar menyatakan “cukup jelas”. Jika kita menafsirkan di sini bahwa kata “menerima” tersebut adalah menerima wujud fisik putusan atau pemberitahuan putusan, maka terdapat potensi permasalahan yang kompleks. Katakan, baik konsumen maupun pelaku usaha menerimanya pada tanggal yang sama, lalu si pelaku usaha dalam waktu kurang dari 7 (tujuh) hari kerja mengeksekusi putusan itu, apakah sengketa ini sudah selesai dituntaskan? Ternyata tidak! Sebab, dapat terjadi kemudian konsumen yang masih punya waktu sampai 14 (empat belas) hari kerja itu tiba-tiba mengajukan keberatan. Sia-sialah eksekusi ini dilakukan oleh pelaku usaha yang telah beriktikad baik tersebut.

Jika ada pelaku usaha tidak beriktikad untuk melaksanakan isi putusan dalam kurun waktu yang diberikan, juga tidak pula mengajukan keberatan, maka sengketa konsumen ini bisa berubah drastis menjadi kasus pidana. Dinyatakan bahwa BPSK [akan] menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan. Apakah ada alternatif lain yang bisa dilakukan oleh BPSK? Redaksi Pasal 56 ayat (4) tidak mencantumkan kata “dapat menyerahkan” sehingga penafsiran gramatikal bakal mengatakan BPSK (dan bukan konsumen!) tidak punya pilihan lain kecuali harus membawa kasus ini ke ranah pidana.  Maksud pembentuk undang-undang mungkin sangat baik, yakni hendak “menakuti-nakuti” pelaku usaha dan memberi greget lebih agar putusan BPSK yang sudah “berkekuatan hukum tetap” itu, menjadi bergigi. Sayangnya, dalam kenyataannya, ekspektasi tersebut tidak berjalan sesuai skenario.

Untuk mengeksekusi putusan BPSK pun ternyata tidak cukup hanya bermodalkan iktikad baik pelaku usaha. Menurut Pasal 57, putusan majelis BPSK tetap harus dimintakan [fiat] eskekusinya dulu kepada pengadilan negeri di tempat tinggal  konsumen. Sekalipun tidak ada “upaya hukum” keberatan, tetap saja putusan majelis arbitrase BPSK ini  harus bersinggungan dengan lembaga pengadilan (court). Entah mengapa di satu sisi ada keinginan mempercepat eksekusi (tujuh hari kerja setelah pelaku usaha menerima putusan), tetapi di sisi lain ada keinginan untuk tetap melibatkan pengadilan negeri, yang notabene bakal membuat penyelesaian suatu kasus menjadi lebih lama.

Jadi, seberapa greget-kah sebenarnya BPSK sebagai badan alternatif penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan? Apabila perubahan UUPK tidak mereposisi  keberadaan badan ini, maka kita rasanya tak bisa berharap lebih daripada kiprah minimalisnya saat ini. (***)


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close