People Innovation Excellence

DINAMIKA HUKUM PENGATURAN PENGHIMPUNAN DAN PENGELOLAAN DANA PERKEBUNAN KEPALA SAWIT

Oleh ERMANTO FAHAMSYAH (Oktober 2018)

Pemerintah telah mengundangkan Peraturan Pemerintah tentang Penghimpunan Dana Perkebunan pada tanggal 25 Mei 2015 lalu, selanjutnya disebut PP Penghimpunan Dana Perkebunan, dengan dasar pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, selanjutnya disebut UU Perkebunan. Materi muatan PP Penghimpunan Dana Perkebunan terdiri dari VI Bab dan 28 Pasal serta mengatur mengenai tujuan penyeleggaraan penghimpunan dana perkebunan; sasaran penghimpunan dana perkebunan; sumber dana yang dihimpun; penggunaan dana; Badan Pengelola Dana; Komite Pengarah; dan sanksi. Dari beberapa materi muatan tersebut, beberapa diantaranya menarik untuk dicermati dan dianalisa.

Pertama, ketentuan Pasal 1 angka 6 mengenai pengertian pungutan adalah sejumlah uang yang dibayarkan sebagai biaya atas ekspor hasil komoditas perkebunan strategis dan/atau turunan hasil komoditas perkebunan strategis. Pungutan yang dimaksud apakah masuk dalam ruang lingkup penerimaan negara yang masuk kedalam kas negara dan apakah merupakan penerimaan negara yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan? Apabila yang dimaksudkan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 9 dan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara maka penerimaan dari pungutan tersebut harus dimasukkan dalam APBN.

Kedua, Pasal 5 menentukan bahwa dana yang bersumber dari Pelaku Usaha Perkebunan meliputi pungutan atas eskpor komoditas perkebunan strategis dan iuran pelaku usaha perkebunan. Pungutan wajib dibayarkan oleh semua bentuk pelaku usaha perkebunan, baik yang berbentuk perusahaan perkebunan maupun pekebun. Sementara itu, untuk iuran hanya dikenakan pada pelaku usaha perkebunan yang berbentuk perusahaan perkebunan, artinya pekebun tidak diwajibkan untuk membayar iuran yang diterapkan. Klausul yang menarik untuk dicermati adalah penjelasan Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Pungutan atas komoditas Perkebunan strategis, merupakan pungutan “diluar” Bea Keluar sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. Klausul ini dapat ditafsirkan bahwa para pelaku usaha perkebunan disamping akan dikenakan pungutan sebagaimana yang diatur dalam PP Penghimpunan Dana Perkebunan, juga dikenakan pungutan berupa Bea Keluar yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

Ketiga, ketentuan Pasal 9 menentukan bahwa dana yang dihimpun digunakan untuk kepentingan pengembangan sumber daya manusia Perkebunan; penelitian dan pengembangan Perkebunan; promosi Perkebunan; peremajaan Perkebunan; dan/atau sarana dan prasarana Perkebunan. Hal ini sudah sesuai dengan amanat Pasal 93 UU Perkebunan sebagai payung hukum terbitnya PP Penghimpunan Dana Perkebunan. Selain itu, untuk kepentingan pengembangan Perkebunan; dan pemenuhan hasil Perkebunan untuk kebutuhan pangan, bahan bakar nabati (biofuel), dan hilirisasi industri Perkebunan. Dimana penggunaan untuk 2 (dua) kepentingan yang terakhir ini tidak diamanatkan secara tersurat, tegas, dan lugas maupun tersirat oleh UU Perkebunan, khususnya Pasal 93. Oleh karenanya, pengaturan tentang 2 (dua) kepentingan terakhir tersebut sepatutnya masih layak untuk dipertanyakan oleh sebagian pihak apakah dapat ditafsirkan secara ekstensif dari frasa “sarana dan prasarana Perkebunan”? Sementara maksud  sarana dan prasarana Perkebunan sudah disebutkan secara tegas dalam ketentuan Pasal 14 ayat (2) PP Penghimpunan Dana Perkebunan, dimana terdiri atas benih; pupuk; pestisida; alat pascapanen dan pengolahan hasil; jalan kebun dan jalan akses ke jalan umum dan/atau ke pelabuhan; alat transportasi; mesin pertanian; pembentukan infrastruktur pasar; verifikasi atau penelusuran teknis. Bahkan pengaturan dalam PP Penghimpunan Dana Perkebunan tersebut telah dilakukan permohonan uji material (judicial review/JR) ke Mahkamah Agung RI (MA RI) pada tahun 2017 oleh Hermansyah dan kawan-kawan. Para Pemohon mengajukan uji materi terhadap ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 9 ayat (2) huruf b, dan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) PP Penghimpunan Dana Perkebunan. Batu uji yang digunakan yaitu, Pasal 93 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan; Pasal 5 huruf c, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Sosial and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya). Pokok permohonan pemohon, Para Pemohon mendalilkan bahwa mereka merupakan petani/pekebun yang masing-masing memiliki kebun kelapa sawit. Selanjutnya Pemohon mendalilkan bahwa sebagai petani kelapa sawit dalam waktu yang cukup lama sempat mengalami penurunan pendapatan dari hasil penjualan kelapa sawit di provinsi masing-masing sejak diberlakukan PP a quo. Menurut Pemohon, salah satu faktor penurunan harga Tandan Buah Segar (TBS) adalah karena dipengaruhi oleh pemberlakuan pungutan ekspor Crude Palm Oil (CPO) yang diatur dalam PP a quo yang justru hanya menguntungkan segelintir perusahaan perkebunan besar di Indonesia. Pemberlakuan PP a quo dianggap belum secara signifikan bermanfaat bagi petani kelapa sawit di Indonesia pada umumnya dan khususnya Para Pemohon, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) UU Perkebunan, yaitu untuk: pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi perkebunan, peremajaan tanaman perkebunan (replanting), dan/atau sarana dan prasarana perkebunan. Selanjutnya, Para Pemohon berpendapat ketentuan mengenai pembebanan pungutan yang bersifat memaksa seharusnya dimuat dalam undang-undang dan tidak dapat didelegasikan ke peraturan perundang-undangan yang lebih rendah daripada undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945, dan karena nya Para Pemohon mendalilkan bahwa PP a quo bertentangan Pasal 5 huruf c UU 12/2011. Para Pemohon juga mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 9 ayat (2) huruf b dan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), khususnya mengenai penggunaan dana perkebunan untuk pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel), telah bertentangan dengan Pasal 93 ayat (4) dan memperluas materi dalam Pasal 93 ayat (5) UU Perkebunan, sehingga bertentangan juga dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf c, Pasal 12 dan Pasal 7 ayat (2) UU 12/2011. Selanjutnya Para Pemohon berpendapat bahwa pengaturan mengenai pengelolaan, pemanfaatan, dan pertanggungjawaban dana yang terhimpun dari masyarakat adalah salah satu wujud tidak transparan dan tidak akuntabelnya pengaturan oleh PP a quo, sehingga Para Pemohon mendalilkan bahwa PP a quo bertentangan dengan asas transparan dan asas akuntabel dalam UU 28/1999. Terakhir, menurut Para Pemohon bahwa permberlakuan PP aquo khususnya ketentuan mengenai penghimpunan dana perkebunan dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 PP a quo akan mempengaruhi peningkatan ongkos produksi yang pada akhirnya berdampak pada berkurangnya pendapatan petani/pekebun kelapa sawit dalam menjual kelapa sawit kepada perusahaan karena menurunnya daya beli perusahaan kelapa sawit akibat adanya pembebanan pungutan ekspor komoditi perkebunan strategis (kelapa sawit), sehingga Para Pemohon mendalilkan bahwa pasal-pasal tersebut sebagaimana diatur dalam PP aquo bertentangan dengan Pasal 38 ayat (1) UU HAM.

Berdasarkan pokok  permohonan pemohon, Pemerintah RI selaku Termohon memberikan penjelasan terhadap kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon. Berkenaan dengan legal standing (persona standi in judicio) dan kepentingan hukum Para Pemohon dalam perkara a quo, Termohon menyampaikan penjelasan sebagai berikut: 1. Bahwa ketentuan Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang berbunyi: “Permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yaitu: a. Perorangan warga Negara Indonesia; b. Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau Badan hukum publik atau badan hukum privat”. 2. Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, berbunyi: “Permohonan keberatan adalah permohonan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu Peraturan Perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan suatu Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih tinggi yang diajukan ke Mahkamah Agung untuk mendapat putusan”. 3. Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah  Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, berbunyi: “Pemohon keberatan adalah kelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah dari undang-undang”. Berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas, Para Pemohon mendalilkan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A ayat (2) UU No. 3 Tahun 2009, berikut Peraturan MA yang terkait, karena Para Pemohon yang masing-masing merupakan perorangan Warga Negara Indonesia telah dirugikan dengan pelaksanaan PP a quo.

Terhadap dalil Para Pemohon mengenai Kedudukan Hukum (Legal Standing) tersebut diatas, Termohon berbeda pendapat dan bersama ini menyatakan bahwa  Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan a quo, berdasarkan  alasan-alasan sebagai berikut:  1. Bahwa ketentuan Pasal 31A ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 2009 mensyaratkan permohonan keberatan uji materiil harus didasarkan pada adanya kerugian yang diderita oleh Para Pemohon dan secara langsung diakibatkan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan uji materiil tersebut. Artinya keberatan Para Pemohon uji materiil harus didasarkan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang diderita oleh Para Pemohon dengan berlakunya ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud. Atau dengan kata lain permohonan harus dilakukan oleh pihak yang kepentingannya benar-benar dirugikan (asas point d’interet point d’action). Dalam kenyataannya, Para Pemohon tidak dapat membuktikan atau setidaknya tidak bisa menyajikan data dan informasi yang memperkuat dalil nya bahwa Para Pemohon menderita kerugian. Selain itu, Para Pemohon tidak pula dapat membuktikan kerugian yang diderita nya (apabila memang terbukti ada), sebagai akibat langsung dari pelaksanaan PP a quo. 2. Bahwa subjek hukum yang dikenai kewajiban untuk membayar pungutan yang diatur dalam PP a quo adalah Pelaku Usaha Perkebunan yang melakukan ekspor komoditi perkebunan strategis dan bukan petani/pekebun yang melakukan perdagangan domestik, sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2) PP a quo yaitu: “Pungutan atas ekspor komoditas Perkebunan strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib dibayar oleh: a. Pelaku Usaha Perkebunan yang melakukan ekspor komoditas Perkebunan dan/atau turunannya; b. pelaku usaha industri berbahan baku hasil Perkebunan; dan/atau c. eksportir atas komoditas Perkebunan dan/atau turunannya.

Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Termohon bahwa Para Pemohon dalam permohonannya tidak menguraikan dengan jelas apakah Para Pemohon merupakan petani/pekebun kelapa sawit yang melakukan perdagangan secara ekspor atau secara domestik, sehingga tidak jelas apakah Para Pemohon benar merupakan subjek hukum dari penghimpunan dana dalam PP a quo yang memang merupakan subjek hukum menurut PP a quo. Berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut Termohon, Para Pemohon tidak memiliki kerugian sebagai akibat berlakunya PP a quo, maka sudah sepatutnya jika  Mahkamah Agung RI menyatakan Para Pemohon bukan Pelaku Usaha Perkebunan yang diwajibkan untuk membayar pungutan ekspor, sehingga  Para Pemohon tidak menderita kerugian apapun, dan karena nya tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), dan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan Putusan MA Nomor 1P/HUM/2017 yang memutuskan bahwa Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing). Selanjutnya, menolak permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya, atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard). Terakhir, menyatakan Pasal 5 ayat (1), Pasal 9 ayat (2) huruf b, dan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Sosial and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) juga telah mengajukan JR ke Mahkamah Agung RI pada tahun 2018. Pemohon mengajukan uji materi terhadap ketentuan: Pasal 9 ayat (2) PP Penghimpunan Dana Perkebunan. Pasal 9 ayat (1) menentukan bahwa “Dana yang dihimpun digunakan untuk kepentingan: a. pengembangan sumber daya manusia Perkebunan; b. penelitian dan pengembangan Perkebunan; c. promosi Perkebunan; d. peremajaan Perkebunan; dan/atau e. sarana dan prasarana Perkebunan. Pasal 9 ayat (2) mengatur bahwa “Penggunaan Dana untuk kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk dalam rangka: pengembangan Perkebunan; dan pemenuhan hasil Perkebunan untuk kebutuhan pangan, bahan bakar nabati (biofuel), dan hilirisasi industri Perkebunan. Pasal 9 ayat (3) menyebutkan bahwa “Penggunaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), memperhatikan program Pemerintah”. Batu uji yang digunakan adalah Pasal 93 UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Putusan MA menolak permohonan judicial review dari Pihak Pemohon. Pada JR kali ini, MA RI juga menolak permohonan judicial review dari Pihak Pemohon.

Pada sisi lain, sebagai tindak lanjut dari PP Penghimpunan Dana Perkebunan telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, selanjutnya disebut Perpres Nomor 61 Tahun 2015. Perpres Nomor 61 Tahun 2015 tersebut telah berubah dua kali, pertama melalui Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Selanjutnya mengalami perubahan kedua dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, selanjutnya disebut Perpres Nomor 66 Tahun 2018. Perubahan kedua terhadap Perpres Nomor 61 Tahun 2015 didasarkan pertimbangan untuk meningkatkan pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, peremajaan, sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit dan penggunaan dana dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodisel serta untuk mengefektifkan tugas komite pengarah badan pengelola dana perkebunan kelapa sawit.

Perpres Nomor 66 Tahun 2018 memuat ketentuan yang merubah beberapa ketentuan dalam Perpres Nomor 61 Tahun 2015 yang sebagaimana telah diubah dengan Perpres Nomor 24 Tahun 2016. Perubahan tersebut antara lain, ketentuan Pasal 11 ayat (3) diubah sehingga berbunyi bahwa “Badan Pengelola Dana menetapkan prioritas penggunaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), berdasarkan kebijakan yang ditetapkan Komite Pengarah dan memperhatikan program pemerintah”. Ketentuan Pasal 13 ayat  (1) diubah menjadi “penelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b dilakukan untuk peningkatan pengetahuan tentang pemuliaan, budidaya, pascapanen dan pengolahan hasil, industri, pasar, rantai nilai produk hasil perkebunan dari hulu ke hilir, dan potensi pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit. Pasal 13 ayat (2) menjadi berbunyi bahwa “dalam rangka penelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit dilakukan pembentukan dan/atau penguatan lembaga riset yang telah ada dengan fokus kepada teknologi, sektor industri, inovasi produk, skema pembiayaan, pengetahuan pasar, dan adopsi lingkungan”. Selain perubahan tersebut, di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 16 A; ketentuan Pasal 17 dihapus; ketentuan Pasal 18 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah dan diantara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 2 (dua) ayat yaitu ayat (1a) dan ayat (1b) serta diantara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (2a); ketentuan Pasal 19 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) diubah dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (2a); ketentuan Pasal 28 ayat (2) diubah; dan diantara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 29 A.

Dengan demikian, meskipun masih terdapat rumusan substansi pengaturan dalam PP Nomor 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan yang menurut hemat kami masih belum tegas dan/atau jelas, sehingga dapat menimbulkan multitafsir dan/atau multiinterpretasi yang akan mengakibatkan ketidakpastian hukum, terbitnya Perpres Nomor 66 Tahun 2018 diharapkan dapat lebih memberikan ketegasan dan/atau kejelasan dalam penghimpunan dan pengelolaan dana perkebunan kelapa sawit. Pada akhirnya, diharapkan lebih dapat mendukung kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan, mengurangi angka kemiskinan, dan mewujudkan kesejahteraan melalui dana perkebunan kelapa sawit. Adapun preskriptif untuk menyelesaikan persoalan dinamika hukum dan ketidaktegasan dan/atau ketidakjelasan pengaturan antara yang diatur dalam PP Penghimpunan Dana Perkebunan dengan Pasal 93 UU Perkebunan dapat dlakukan dengan melakukan penyesuaian antara keduanya. Penyesuaian dimaksud dapat dilakukan dengan melakukan revisi terhadap pengaturan yang ada dalam UU Perkebunan atau membuat suatu pengaturan setingkat undang-undang yang diantaranya mengatur secara khusus atau bersifat lex specialis tentang penghimpunan dan pengelolaan dana perkebunan kelapa sawit. Hal tersebut didasarkan pada pendapat bahwa secara normatif, ketentuan Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2014 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan yang mengatur tentang penggunaan dana untuk pengembangan Perkebunan dan pemenuhan hasil Perkebunan untuk kebutuhan pangan, bahan bakar nabati (biofuel), dan hilirisasi industri Perkebunan sebenarnya memang bertentangan atau setidaknya belum diatur secara tegas dan jelas dalam Ketentuan Pasal  93 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang menentukan bahwa “Penghimpunan dana dari Pelaku Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi Perkebunan, peremajaan. Tanaman Perkebunan, dan/atau sarana dan prasarana Perkebunan”. Oleh karenanya, berdasarkan asas lex superior derogat legi inferior, ketentuan Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2014 seharusnya batal demi hukum karena bertentangan peraturan yang ada di atasnya yaitu Ketentuan Pasal  93 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. (***)


 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close