People Innovation Excellence

KEWENANGAN BPSK VERSUS LAPS-OJK

Oleh SHIDARTA (Agustus 2018)

Kiranya tidaklah terlalu keliru jika kita menilai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah contoh suatu institusi di negeri ini yang dibangun dengan setengah hati. Kendati eksistensi BPSK ini dinyatakan di dalam undang-undang, ternyata tidak ada jaminan bahwa keberadaannya benar-benar mendapat perhatian serius dari pemerintah, khususnya pemerintah daerah. Apabila gagasan awal UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) ingin tetap dipakai sebagai acuan, maka posisi dan fungsi BPSK saat ini sudah bergeser lumayan jauh. Keinginan agar BPSK ada di setiap kabupaten/kota, jelas sudah lama ditanggalkan. Dukungan finansial, fasilitas fisik, dan kapasitas sumber daya, adalah satu persoalan tersendiri, sehingga memunculkan tarik-menarik kebijakan penganggaran bagi BPSK, yakni apakah tetap berada di bawah kabupaten/kota atau perlu ditarik ke level provinsi. Sementara itu, kegairahan konsumen untuk memanfaatkan BPSK sebagai forum penyelesaian sengketa konsumen, juga masih sangat rendah.

Terlepas dari keluh kesah yang bisa dialamatkan pada BPSK ini, tampaknya kita perlu juga menilai institusi ini secara lebih jernih. BPSK adalah lembaga yang dibentuk dengan mengambil format suatu small-claim institution dalam rangka memberi solusi cepat dan murah atas berbagai sengketa konsumen.

Sengketa konsumen pada hakikatnya merupakan sengketa “business actor to consumers” (B2C)  bukan antara sesama pelaku usaha (B2B). Dengan perkataan lain, sebagaimana dapat ditarik dari bunyi Pasal 1 butir 11 UUPK, BPSK adalah badan yang dibentuk untuk menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen (B2C). Tidak jelas apa perbedaan antara kata “menangani” dan “menyelesaikan” di sini karena UUPK sama sekali tidak memberikan penjelasan. Patut diduga bahwa kedua kata ini berkaitan dengan proses kerja BPSK dan luaran (output) dari proses tersebut. Jika Pasal 52 UUPK dijadikan acuan, maka tampak ada 13 tugas dan wewenang BPSK, yang tidak semuanya ternyata berkaitan dengan sengketa. Artinya, batasan tugas dan wewenang BPSK sebenarnya telah diperluas melalui Pasal 52 UUPK.

Dalam penyelesaian sengketa B2C ini, BPSK diberi tugas dan wewenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UUPK. Jadi, sanksi ini hanya satu arah saja, yakni hanya ditujukan kepada pelaku usaha. BPSK tak diberi wewenang menjatuhkan sanksi apapun kepada konsumen, sekalipun misalnya, konsumen itu dinyatakan keliru dalam pengaduan atau permohonan atau gugatannya.[1]  Dilihat dari optik ini, ada kecenderungan BPSK lebih berpihak pada konsumen di dalam putusan-putusannya. Agar kecenderungan ini tidak overdosis, maka BPSK tidak diberi otoritas untuk menjatuhkan sanksi non-admnistratif, apalagi sanksi pidana. UUPK hanya memberi wewenang penjatuhan sanksi pidana ini pada pengadilan negeri tatkala suatu kasus sudah masuk ke dalam domain hukum pidana.

Menurut Pasal 37 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, penjatuhan sanksi administratif hanya dapat dilakukan untuk proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase (selanjutnya disebut Kepmenperindang 350/2001).[2] Jika prosesnya bukan arbitrase, yaitu mediasi atau konsiliasi, “putusan”[3] dari majelis tersebut hanya berupa perjanjian tertulis dan tidak memuat sanksi administratif. Jika dijatuhkan sanksi administratif, maka sanksi inipun dibatasi dalam bentuk penetapan ganti rugi paling banyak Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Kata “ganti rugi” yang dipadankan dengan kata “sanksi administratif” ini tercantum dalam Pasal 40 ayat (3) huruf b.

Walaupun di atas dikatakan bahwa BPSK tidak berwenang menjatuhkan sanksi non-adminisratif. ternyata di luar sanksi adminisratif ini terdapat “sanksi ganti rugi” yang tidak termasuk dalam “sanksi administratif” yakni apabila pelaku usaha dinilai oleh majelis arbitrase telah menyebabkan kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa. Besaran sanksinya tidak ditetapkan, namun disebutkan rinciannya dalam Pasal 12 ayat (2) Kemenperindag Nomor 350/2001, yaitu: (1) pengembalian uang; (2) penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya; atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan. Selain pilihan secara alternatif, sanksi ganti rugi dan sanksi administratif ini dapat diterapkan secara kumulatif, sebagaimana terlihat dari kata “dan/atau” yang tercantum dalam Pasal 40 ayat (3) huruf a Kepmenperindag Nomor 350/2001.

Persoalan tentang sanksi administratif dalam kaitannya dengan tugas dan wewenang BPSK ini bertambah menarik untuk ditelaah, mengingat Pasal 60 UUPK memang sudah membatasi kewenangan BPSK itu. Pasal itu menyatakan bahwa BPSK berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26. Seharusnya Pasal 19 ayat (1) UUPK pun perlu ikut dicantumkan karena ketentuan ayat (2) dan (3) dari Pasal 19 itu bersumber dari ayat (1) tersebut. Sanksi administratif yang bisa dijatuhkan berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Dapat dikatakan di sini bahwa Kemenperindag Nomor 350/2001 adalah [salah satu] peraturan perundang-undangan yang dimaksud.

Pasal 60 UUPK ini jelas mencantumkan secara restriktif kewenangan BPSK dalam penjatuhan sanksi, yaitu hanya sebatas sanksi administratif. Itupun hanya berkenaan dengan empat pasal UUPK yang disebutkan di atas, yaitu apabila:

  1. pelaku usaha tidak memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan; atau
  2. pelaku usaha tidak mengembalikan uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  3. pelaku usaha tidak memberikan ganti rugi dalam tenggang waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi (terkait nomor 1 dan 2 di atas);
  4. pelaku usaha memproduksi iklan yang berakibat kerugian terhadap konsumen;
  5. pelaku usaha memproduksi barang yang pemanfaatannya tidak berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya satu tahun (tidak menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purnajual dan tidak memenuhi jaminan atau garansi sesuai yang diperjanjikan);
  6. pelaku usaha di bidang jasa tidak memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

Dari uraian di atas, tampak bahwa empat pasal ini, yaitu Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26 harus menjadi dasar pengaduan/permohonan/gugatan yang diajukan ke BPSK. Namun, dalam praktik BPSK ikut menangani semua kasus yang diajukan, terlepas areanya sudah di luar keempat pasal tersebut. Melalui uraian di atas, ingin digarisbawahi bahwa pengaturan tentang wewenang BPSK, harus diakui, masih belum tertata rapih karena di sana sini masih menimbulkan permasalahan, baik dari sisi teoretis maupun implementatif di lapangan.

Kini tantangan baru muncul dengan adanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. Menurut aturan ini, penyelesaian sengketa konsumen di sektor ini harus dilakukan di Lembaga Jasa Keuangan (LJK) itu lebih dahulu. Dalam Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan diatur bahwa setiap LJK wajib memiliki unit kerja dan atau fungsi serta mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan bagi konsumen. Jika penyelesaian sengketa di LJK tidak mencapai kesepakatan, konsumen dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS). Menarik bahwa Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoriatas Jasa Keuangan (OJK) sama sekali tidak menyinggung secara eksplisit tentang LAPS ini.

Di mata pegiat jasa keuangan, ada sinyalemen bahwa putusan-putusan BPSK yang notabene sudah hadir jauh lebih dulu sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014, dituding  telah melampaui batas kewenangannya, seperti membatalkan perjanjian kredit dan membatalkan lelang. Sebagai jalan keluarnya, OJK lalu berusaha mengoptimalkan lembaga alternatif penyelesaian sengketa (LAPS) di sektor jasa keuangan, yakni dengan mendorong lebih aktif: (1) Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia, (2) Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia, (3) Badan Mediasi Dana Pensiun, (4) Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia, (5) Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indonesia, serta (6) Badan Mediasi Pembiayaan dan Pegadaian Indonesia. Enam LAPS yang ada sekarang diawasi oleh OJK (selanjutnya disingkat LAPS-OJK) dan diarahkan untuk memenuhi prinsip independensi, berkeadilan, aksesibilitas, efisien, dan efektif.[4]

Pertanyaannya adalah benarkah keberadaan LAPS dalam peraturan OJK ini dapat serta merta menggantikan keberadaan BPSK? Pertama-tama, perlu ditelaah dengan baik bahwa pengertian konsumen dalam UUPK dan UUOJK sebenarnya tidak sama. Dalam UUOJK, konsumen adalah “Pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.” Jadi, pemodal pun adalah konsumen dalam perspektif OJK. Layak dipertayakan, bagaimana mungkin investor dapat diposisikan sebagai konsumen? Jelas bahwa denotasi ini berbeda dengan cakupan pengertian konsumen dalam UUPK yang mengasumsikan konsumen adalah pemakai akhir barang/jasa.

BPSK dan LAPS sebenarnya sama-sama tidak memiliki kompetensi absolut terkait urusan penyelesaian sengketa konsumen. Mereka bukan lembaga peradilan yang bermukim di dalam salah satu lingkungan peradilan. Posisi mereka adalah sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Artinya, sepanjang para pihak setuju untuk menyelesaikan sengketa mereka di BPSK, maka choice of forum ini sah-sah saja untuk digunakan. Persoalan biasanya akan muncul apabila mekanisme yang digunakan adalah arbitrase, yang berarti pihak yang bersengketa (biasanya pelaku usaha) dapat saja kemudian membawa putusan BPSK itu ke pengadilan negeri (pengajuan keberatan) dan Mahkamah Agung (pengajuan kasasi). Jika mekanismenya bukan arbitrase, tentu solusi yang dicapai oleh para pihak seharusnya bakal terhenti hanya sampai di tingkat BPSK.

Dengan dasar pemikiran itu, maka sesungguhnya tidak ada alasan bagi OJK untuk keberatan apabila para pihak masih memakai BPSK sebagai pilihan forum mereka. Bahkan,  jika pun mekanisme arbitrase yang dipilih dan putusan BPSK akhirnya diterima dengan baik oleh para pihak, persoalan juga dapat dianggap selesai. Hal ini sejalan dengan penelitian yang pernah saya lakukan sekitar tiga tahun lalu. Ketika itu saya menginisiasi penelitian tugas akhir mahasiswa berupa kajian terhadap putusan ‘arbitase’ beberapa BSPK di Jawa, Bali, dan Sumatera. Selain putusan para mahasiswa bimbingan saya juga melakukan wawancara dengan para anggota BPSK yang menjatuhkan putusan-putusan yang dikaji itu, terkait pengetahuan mereka tentang hukum perlindungan konsumen. Hasil penelitian ini antara lain menunjukkan bahwa sangat banyak putusan-putusan tentang leasing yang sebenarnya diajukan sendiri oleh pelaku usaha bersama dengan konsumen. Pola kasus-kasus yang diputuskan memiliki kemiripan satu sama lain, yaitu ada debitur yang membeli sepeda motor dengan sistem kredit. Pada saat pelunasan terakhir, ternyata dokumen Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) tidak dapat begitu saja diserahkan kepada pihak yang terakhir melunasi karena debitur pertama sudah tidak dapat ditemui lagi akibat kendaraan itu sudah berpindah tangan beberapa kali tanpa sepengetahuan kreditur. Untuk itu, lalu kasus ini dibawa ke BPSK agar dapat diperoleh putusan yang menjustifikasi keputusan pihak kreditur menerbitkan BPKB atas nama debitur terakhir.

Jadi, sebenarnya ada saja kepentingan pelaku usaha dan konsumen untuk memanfaatkan BPSK dalam rangka menyelesaikan kasus-kasus yang sederhana. Hal ini perlu dipertimbangkan sungguh-sungguh karena menurut data yang dapat dirujuk, jumlah BPSK sudah tersebar di 115 kabupaten/kota, berbanding dengan segelintir LAPS-OJK yang masih bercokol di Jakarta. Apabila ada kasus-kasus yang sangat kompleks, yang menuntut penguasaan doktrin dan teori keilmuan di sektor jasa keuangan, maka tentu wajar bila kasusnya perlu diselesaikan melalui LAPS-OJK. Kendati demikian, sekali lagi, pada prinsipnya biarlah para pihak yang menilai dan memutuskan ke mana mereka harus menyelesaikan kasus tersebut sebagai choice of forum dari sengketa mereka.

Hal lain adalah tentang landasan hukum pembentukan. BMAI, misalnya. LAPS ini baru didirikan pada tanggal 12 Mei 2006 dan beroperasi pada tanggal 25 September 2006. Pendiriannya berangkat dari keputusan bersama empat menteri/pejabat sederajat, yaitu: (1) Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (No.KEP.45/M.EKON/07/2006); (2) Gubernur Bank Indonesia (No.8/50/KEP.GBI/ 2006); (3) Menteri Keuangan (No.357/KMK.012/2006); dan (4) Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (No.KEP-75/MBU/2006) tentang Paket Kebijakan Sektor Keuangan, yang ditetapkan tanggal 5 Juli 2006.[5]  Bandingkan landasan ini dengan dasar yang dimiliki oleh BPSK, yang keberadaannya dieksplisitkan dengan dasar hukum yang lebih kuat, yakni berupa undang-undang. Belum lagi jika kita menilik pembentukan BPSK yang dikukuhkan melalui keputusan presiden. Oleh sebab itu, apabila selama ini kewenangan BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen sektor jasa keuangan sudah diakui dan dipandang sejalan dengan norma dalam UUPK, maka penghilangan kewenangan itupun haruslah berangkat dari dasar kekuatan hukum yang minimal sederajat dengan UUPK. Posisi UU No. 21 Tahun 2011 tidak dapat disebandingkan dengan UUPK di dalam konteks penyelesaian sengketa konsumen, pertama-tama karena konsep “konsumen” yang dimaksud oleh kedua undang-undang ini sangat berbeda, dan secara konseptual tidak dapat dipertukarkan maknanya.

Jadi, saya berpandangan bahwa selama belum dilakukan perubahan peraturan perundang-undangan terkait kewenangan BPSK, maka sikap yang harus ditunjukkan adalah: (1) Tidak ada jaminan bahwa pilihan penyelesaian sengketa konsumen melalui LAPS-OJK akan lebih baik dan lebih mempromosikan hak-hak konsumen dibandingkan dengan penyelesaian melalui BPSK, sehingga tidak ada pula otoritas yang dapat memaksakan para pihak untuk hanya menyerahkan penyelesaian sengketanya di bawah kompetensi absolut salah satu dari enam LAPS-OJK; (2) Posisi BPSK adalah sama dengan bebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang lain, sehingga pengakuan terhadap lembaga-lembaga ini sangat bergantung pada integritas dan kinerjanya, bukan mengandalkan topangan legitimasi yuridis formal; (3) BPSK tetap dapat menyelesaikan sengketa-sengketa jasa keuangan apabila pilihan ini memang disepakati oleh para pihak, khususnya untuk kasus-kasus sederhana seperti yang dicontohkan di atas, terlebih-lebih lagi jika mekanisme yang dipilih adalah mediasi atau konsiliasi; (4) Apabila suatu sengketa konsumen dijalankan melalui mekanisme arbitrase di BPSK dan kemudian oleh salah satu pihak dibawa sampai ke tingkat kasasi, maka Mahkamah Agung selayaknya juga memeriksa dengan saksama materi pokok perkaranya, tidak serta merta (langsung) membatalkan putusan itu dengan menyatakan bahwa BPSK itu sudah melampaui kewenangannya; (5) UU tentang OJK tidak dapat menyisihkan kewenangan BPSK yang diatur dalam UUPK karena konsep terpenting yang menjadi roh dari UUPK, yaitu “konsumen” memiliki perbedaan makna; dan (6) LAPS-OJK dapat menjalankan tugasnya sebagai penyelesai sengketa sektor jasa keuangan dengan menyisihkan kewenangan BPSK apabila makna “konsumen” yang dimaksud dalam kasus itu sudah keluar dari pengertian konsumen akhir (end-user) yang dikenal dalam UUPK.(***)


Catatan:

[1] Ada banyak istilah digunakan secara membingungkan untuk menyebut keluhan konsumen ini, misalnya “pengaduan” (lihat Pasal 52 huruf e UUPK), “permohonan” (lihat Pasal 15 Keputusan Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), lalu kata “permohonan gugatan” (lihat Pasal 17 huruf b Keputusan Menperindag di atas), dan kata “gugatan” (lihat Pasal Pasal 34 dan 40 Keputusan Menperindag di atas). Pasal 25 ayat (2) UUPK menggunakan dua istilah yang juga tidak jelas, yaitu: “tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen”.

[2] Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) pernah mengeluarkan rekomendasi agar Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ini dilakukan revisi karena dianggap sudah tidak sesuai dengan kebutuhan.

[3] Pasal 37 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tersebut menyebut kata “keputusan majelis” bukan “putusan majelis”, sekalipun judul Bab VIII dari Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan ini berjudul “Putusan”.

[4] Lihat: https://www.ojk.go.id/id/kanal/edukasi-dan-perlindungan-konsumen/Pages/Lembaga-Alternatif-Penyelesaian-Sengketa.aspx

[5] Lihat: http://www.bmai.or.id/Content.aspx?id=10


 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close