People Innovation Excellence

VISI-MISI NEGARA DAN POKOK PIKIRAN PEMBUKAAN UUD

Oleh SHIDARTA (Agustus 2018)

Ada oleh-oleh menarik ketika saya mengikuti paparan Yudi Latif, penulis buku “Negara Paripurna” saat ia berkunjung di Kampus Universitas Bina Nusantara, Jakarta, tanggal 11 Juli 2018. Di hadapan para dosen yang memenuhi aula ruang M2CD Kampus Syahdan, ia menyinggung banyak hal seputar pembuktian “kedahsyatan” Pancasila sebagai produk pemikiran founding parents bangsa dan negara ini.

Pada sesi tanya jawab, saya menyinggung kaitan antara visi dan misi negara dengan pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD 1945. Pada sesi presentasi sebelumnya, Yudi Latif memang belum sempat mengelaborasi keterkaitan ini, bahkan sama sekali belum sempat menyebut pokok-pokok pikiran ini. Saya berpendapat bahwa pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 dapat dijadikan sebagai pintu masuk memahami alasan keberadaan (raison d’être) dari bangsa dan negara kita. Untuk itu saya menggunakan kategorisasi sederhana tiga dimensi filosofis, yakni ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

Tatkala para pendiri negara ini ditantang untuk merumuskan dasar negara Indonesia merdeka, mereka harus menjawab satu pertanyaan besar, yakni apa ontologi dari negara yang akan merdeka itu. Pertanyaan ini dijawab dalam pokok pikiran pertama, yakni negara persatuan. Selanjutnya muncul pertanyaan kedua, yaitu: hendak dibawa ke mana negara persatuan yang baru didirikan tadi? Pertanyaan kedua ini menghadirkan jawaban aksiologis, yaitu negara yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jawaban ini merupakan pokok pikiran kedua. Kemudian, pertanyaan ketiga muncul dari ranah epistemologis, yaitu: bagaimana caranya agar negara persatuan tersebut dapat diarahkan menuju ke tujuan negara yang berkeadilan sosial? Jawabannya terletak pada pokok pikiran ketiga, yakni dengan cara demokrasi dan demokrasi kita adalah demokrasi berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Terakhir adalah pertanyaan keempat tentang nilai-nilai yang harus menjiwai seluruh perjalanan bangsa dan negara yang merdeka ini. Jawabannya bersifat aksiologis, yang mengarah kepada semua individu rakyat dan pemimpin mereka agar selalu melandaskan diri pada nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

Biasanya empat pokok pikiran ini dikaitkan dengan sila-sila di dalam Pancasila. Pokok pikiran pertama sesungguhnya adalah sila ketiga Pancasila, sedangkan pokok pikiran kedua mengacu pada sila kelima. Pokok pikiran ketiga adalah sila keempat. Terakhir, pokok pikiran keempat merupakan sila pertama dan kedua dari Pancasila. Para perumus Pembukaan UUD 1945 kemudian mengurutkan kembali keempat pokok pikiran ini dalam suatu susunan yang baru, dimulai dari pokok pikiran keempat (ketuhanan dan kemanusiaan), lalu  pokok pikiran pertama (persatuan), pokok pikiran ketiga (kerakyatan…), dan berakhir pada pokok pikiran kedua (keadilan sosial). Formulasi yang baru ini dimuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan dikenal sekarang sebagai rumusan resmi dari Pancasila.

Yudi Latif tidak secara eksplisit membenarkan atau menolak cara pembacaan seperti di atas. Ia lebih memilih untuk mengaitkan empat pokok pikiran Pembukaan UUD 1945 itu dengan visi dan misi kita dalam berbangsa dan bernegara.



Menurutnya, visi dari bangsa dan negara Indonesia adalah “Menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.” Kata “merdeka”, menurutnya, mencerminkan sila ke-1 dan ke-2 dari Pancasila. Hal ini karena kemerdekaan harus menempatkan semua orang sama kedudukannya, baik di hadapan Tuhan maupun sudut pandang kemanusiaan.  Pada kata “bersatu” tercermin sila ke-3, yaitu persatuan dari bangsa yang hidup dalam realitas yang demikian heterogen dari segala sisi kehidupannya. Lalu muncul kata “berdaulat” yang mencerminkan sila ke-4. Selanjutnya, kata “adil dan makmur” merespresentasikan sila ke-5 Pancasila. Visi ini diupayakan untuk diwujudkan melalui empat misi, yaitu: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Misi pertama menunjukkan bahwa negara wajib melindungi setiap insan yang hidup di negara ini dan warganegaranya di manapun ia berada, serta melindungi wilayah negara ini dari segala macam gangguan. Melindungi manusia adalah melindungi hak-haknya, seperti hak hidup, hak milik, dignitas (martabatnya). Melindungi wilayah adalah melindungi kedaulatan negaranya berhadapan dengan bangsa dan negara manapun.

Misi kedua menekankan pada ekspektasi bangsa ini untuk hidup berbahagia. .Tiada kebahagiaan jika kita hidup tidak sejahtera. Untuk hidup sejahtera minimal ada kebutuhan dasar (basic needs) yang harus dipenuhi dan menjadi tanggung jawab negara untuk menjamin hal ini. Tentu saja ada tantangan berat untuk menjalankan ini. Tantangan yang harus dijawab itu dapat berubah dari waktu ke waktu. Misalnya saat ini tantangannya adanya perubahan paradigma untuk beralih dari basis ekonomi ekstraktif mengarah pada knowledge economy (dari sekadar mengeksploitasi bumi dan alam, mengarah kepada ekonomi yang memberi nilai tambah). Kebahagiaan itu juga tidak sekadar material, tetapi terlebih-lebih adalah kebahagiaan spiriitual.

Misi ketiga memberi pesan penting agar kebahagiaan harus disertai dengan kecerdasan. Tiada kebahagiaan tanpa kecerdasan. Kecerdasan itu dibangun tidak hanya sekadar untuk orang perseorangan, melainkan kecerdasan kolektif sebagai bangsa. Yudi Latif mensinyalir kecerdasan kolektif kita saat ini sedang sakit, sebagaimana dapat dilihat dari rendahnya kualitas sumber daya manusia yang ada di organisasi-organisasi sosial, seperti partai politik, birokrasi, bahkan di ormas-ormas keagamaan. Padahal, kecerdasan manusia Indonesia sebagai pribadi tidak kalah dengan bangsa manapun, seperti diperlihatkan dalam lomba-lomba yang berskala individual. Untuk itulah saat ini perlu dikembangkan civic intelligence quotient.

Misi keempat adalah misi untuk menjalankan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam konteks menjalankan ketertiban dunia ini, pendekatan melalui hubungan-hubungan kemanusiaan menjadi penting. Interaksi sosial tidak boleh semata-mata dibangun dan direkatkan melalui hubungan legal. Bangsa Indonesia telah menunjukkan model interaksi sosial yang saling menjaga perasaan dan harga diri dari tiap-tiap komponen bangsa yang berbeda-beda itu, melalui suasana toleransi dengan tidak ingin menang atau menonjolkan kepentingan kelompoknya sendiri.

Lalu, apa kaitan antara pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD dan empat misi ini. Tampak bahwa masing-masing pokok pikiran itu bersinggungan dengan masing-masing misi itu. Di antara kaitan-kaitan itu, yang paling menarik adalah pokok pikiran ketiga Pembukaan UUD, yaitu tentang kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, Pada misi yang mana pokok pikiran ini harus disangkutkan? Yudi Latif memilih misi ketiga, yaitu misi mencerdaskan kehidupan bangsa.

Saya kira ia sangat benar tatkala menyatakan bahwa demokrasi kita telah gagal menjalankan misi ketiga dari negara ini. Demokrasi kita gagal karena demokrasi kita sama sekali tidak mencerdaskan. Demokrasi yang tidak mencerdaskan tidak melahirkan meritokrasi, tetapi sekadar mediokrasi, yaitu demokrasi yang memproduksi orang-orang dengan derajat kecerdasan rata-rata. Mereka yang duduk sebagai wakil-wakil rakyat kita di legislatif pada hakikatnya bukan orang-orang yang diseleksi secara ketat dan terpilih karena kualitas kecerdasannya. Sistem perpolitikan kita tidak didesain untuk melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang menjalankan misi ketiga ini.

Sebagai pegiat dalam pendidikan tinggi, saya mencoba berefleksi bahwa dengan kondisi seperti ini, maka beban untuk menjalankan misi mencerdaskan kehidupan bangsa ini harus lebih disandangkan lagi pada institusi pendidikan. Tentu bukan satu-satunya institusi yang bertanggung jawab untuk itu, namun pendidikan tinggi adalah salah satu dari “mata air” yang mengalirkan insan-insan yang menjalankan sistem demokrasi kita.

Ortega y Gasset (1833-1955), seorang filsuf pemengang hadiah Nobel dari Spanyol pernah menekankan tiga fungsi pendidikan tinggi itu, yaitu sebagai: (1) transmission of culture, (2) teaching of the learned profession, dan (3) scientific research and training of new scientist. Di antara ketiga fungsi ini, fungsi pertama adalah fungsi yang sangat berkaitan dengan misi mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan, jangan-jangan banyak di antara kita, sama seperti partai-partai politik dan ormas-ormas yang ada, ikut gagal menjalankan fungsi esensial ini? (***)


 

 

 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close