People Innovation Excellence

RESTITUSI DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

Oleh AHMAD SOFIAN (MEI 2018)

Restitusi sendiri merupakan terminologi yang populer di lapangan hukum perdata dibandingkan dalam hukum pidana. Restitusi atau ganti kerugian merupakan biaya yang dibayarkan oleh seseorang karena adanya kerugian yang diderita orang lain secara ekonomi. Dalam perkembangan hukum pidana khususnya ketika muncul restorative justice, maka restitusi dipandang sebagai sebuah hukuman/tindakan  untuk menyeimbangkan hilangnya hak-hak perdata dari korban yang dapat dinilai dengan uang. Restorative justice memberikan ruang yang besar bagi tercapainya kesepakatan antara korban pelaku, dan dalam konteks kesepakatan ini salah satu komponennya adalah pembayaran ganti rugi dari pelaku kepada korban atau keluarga korban atau ahli warisnya.

Dalam hukum positif Indonesia, telah muncul beberapa aturan terkait dengan restitusi ini yang dinormakan dalam beberapa Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Dalam observasi terhadap sejumlah peraturan perundang-undang ditemukan  7  undang-undang dan 4 peraturan pemerintah. Undang-Undang yang disaat ini mengatur tentang sanksi restitusi meliputi KUHAP, Undang-Undang No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Teroris, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Juncto Undang-Undang No. 31/2014 tentang revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2006, Undang-Undang No. 21/2007 Tentang Penghapusan  Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Revisi Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23/2002), Undang-Undang No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Selain itu, ada PP No. 3/2002 Restitusi dan Kompensasi bagi Korban Pelanggaran HAM. Lalu ada PP No. 44/2008 dan PP No. 7/2018 yang merupakan peraturan restitusi dan kompensasi sebagai perwujudan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Dan PP 43/2017 untuk restitusi bagi anak sebagai korban. Berikut ini ditampilkan secara ringkas perundang-undangan nasional yang mengatur tentang restitusi:

KUHAP UU No. 26/2000 UU No. 15/2003 UU No. 13/2006 Jo UU No. 31/2014 UU No. 21/2007 UU No. 35/2014 UU 11/2012
Pasal 98-

101

 

 

Diatur dalam Pasal 35

 

Diatur dalam Pasal 36-42

 

Diatur dalam Pasal 48-50 Diatur dalam Pasal 7A

 

Diatur dalam Pasal 71 D

 

Diatur dalam Pasal 10

 

•  Penggabungan perkara ganti kerugian

•  Bentuknya : hanya kerugian materiil

•  Ganti kerugian baru dikabulkan setelah pokok perkaranya telah berkekuatan hukum tetap

•  Korban harus aktif berhubungan dengan JPU untuk memastikan ganti kerugian dimasukkan dalam tuntutan JPU

•  Jika tidak dimasukkan dalam tuntutan, masih ada peluang sebelum putusan

•  Persoalan “kamauan” JPU  dan eksekusi putusan

 

•    Bentuknya : pengembalian harta milik, ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, penggantian biaya untuk tindakan tertentu

•    Dimasukkan dalam tuntutan jaksa

•    Pengadilan HAM memutuskan dalam amar putusannya

•    Dalam 30 hari pelaku melaksanakan putusan

•    Tidak  melaksanakan putusan, maka korban/keluarga/ahli warisnya melaporkan ke Jaksa Agung

•    Jaksa Agung memerintahkan dalam 7 hari agar pelaku membayar restitusi.

 

•    Dilakukan melalui putusan pengadilan (tafsir : dimasukkan dalam tuntutan JPU)

•    Paling lambat 60 hari melaksanakan putusan untuk memberikan restitusi

•    Jika melampaui batas, dapat melaporkan kepada pengadilan

•    Paling lambat 30 hari pengadilan akan membuat penetapan untuk memerintahkan pembayaran restitusi tersebut

 

•    Bentuknya : kehilangan kekayaan/penghasilan, penderitaan, biaya perawatan medis, psikologis, kerugian lain yang diderita oleh korban

•    Diajukan sebelum putusan karena akan dijatuhkan sekaligus dalam amar putusan

•    Restitusi diberikan dalam 14 hari setelah putusan berkekuatan tetap dan dititipkan di pengadilan negeri

•    Jika tidak memenuhi kewajiban restitusi, dapat melapor kepada pengadilan dan pengadilan membuat surat peringatan tertulis, jika tidak dindahkan memerintahkan JPU untuk menyita dan melelang barang

•    Jika tidak mampu membayar diganti dengan kurungan maksimum 1 tahun

 

•    Restitusi yang diminta dalam bentuk : kehilangan penghasilan/kekayaan, penderitaan, perawatan medis/psikologis

•    Permohonan restitusi diajukan ke LPSK sebelum atau setelah putusan pengadilan

•    Sebelum putusan : dimasukakkan dalam tuntutan

•    Setelah putusan : mengajukan ke pengadilan untuk meminta penetapan

 

•  Bentuknya : kehilangan kekayaan, penderitaan, perawatan medis dan psikologis

•  Diajukan sebelum putusan  : penyidikan atau penuntutan atau melalui LPSK

 

•  Bentuknya : pengembalian kerugian, rehabilitasi medis dan psikologis

•  Dilakukan melalui  diversi dan ditetapkan oleh pengadilan

•  Jika tidak melaksanakan penetapan pengadilan maka proses SPPA akan dilaksanakan

 

Dari ketujuh kontens yang mengatur restitusi, maka ditemukan ketidaksamaan baik dari sisi hukum materiilnya maun dalam sisi hukum formilnya. Dalam kontek hukum materiil restitusi, tidak dijelaskan apakah restitusi merupakan pidana pokok atau pidana tambahan, hal ini disebabkan karena restitusi tidak diatur di dalam KUHP sebagai salah satu jenis pidana. Hal inilah yang menyebabkan restitusi belum dipandang sebagai salah satu jenis “pidana” oleh penegak hukum. Untuk pertama kali, restitusi diatur dalam KUHAP yaitu Pasal 98-101 yang merupakan hukum formil tentang restitusi. Dalam KUHAP diatur tentang tata cara membayar ganti rugi pada korban tindak pidana. Dalam hal ini, korban harus aktif mengghubungi JPU agar dimasukkan dalam surat tuntutannya. Namun dalam praktek, kemauan JPU untuk memasukkan restitusi dapat dikatakan “langka”, karena dianggap tidak mudah dan menambah beban pekerjaan.

Dalam perkembangan selanjutnya restitusi diatur dalam UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam undang-undang ini, restitusi dapat diberikan kepada korban pelanggaran HAM berat. Restitusi diajukan dalam surat tuntutan JPU dalam Pengadilan HAM. Hal ini menunjukkan bahwa restitusi hanya dibatasi kepada korban-korban pelanggaran HAM berat, sementara untuk pelanggaran HAM yang tidak masuk kategori HAM berat maka korban tidak berhak mendapatkan restitusi. Ini menunjukkan ada diskriminasi delik. Undang-Undang memberikan batasan hanya pada delik HAM berat, dan tidak jelas argumentasi juridis, kenapa pelanggaran HAM biasa tidak berhak mendapatkan restitusi, padahal subjek deliknya sama yaitu negara.

Undang-Undang No. 13/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Teroris memberikan jaminan restitusi kepada korban. Pengajuannya juga dimasukkan dalam tuntutan dan sebelum putusan. Undang-Undang ini juga mengatur jangka waktu pemberian restitusi pasca lahirnya putusan yang berkekuatan hukum tetap.Selanjutnya   lahir  Undang-Undang Perlindungan Saksi Korban yaitu UU No. 13/2006 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 31/2014. Dalam UU ini menyatakan bahwa restitusi diajukan melalui LPSK dan LPSK selanjutnya berkoordinasi dengan JPU untuk dimasukkannya  restitusi  dalam tuntutan. Bahkan LPSK dapat mengajukan restitusi setelah putusan pengadilan sekalipun.Sementara itu dalam UU 21/2007, restitusi dapat langsung dimasukkan dalam tuntutan JPU tanpa melalui LPSK.  UU Perlindungan Anak yang kemudian  diatur dalam PP 43/2017, maka restitusi dapat dimasukkan sejak penyidikan, atau melalui LPSK atau melalui JPU.

Secara lebih ringkas, tata cara pengajuan restitusi dapat dilihat dalam matrik di bawah ini :

 

Dari penjelasan menunjukkan bahwa tidak ada standar juridis yang baku dalam mengajukan restitusi, dan tidak ada ketegasan apakah resitusi sebagai pidana atau bukan. Oleh karena itu, perlu ditegaskan dalam perundang-undangan di masa depan tentang positioning pidana restitusi dalam hukum positif Indonesia. Hal ini penting agar penegak hukum punya sikap dalam meletakan restitusi dalam memenuhi hak-hak juridis korban.


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close