People Innovation Excellence

MONOGAMI MUTLAK DALAM PASAL PERZINAHAN

Oleh SHIDARTA (Januari 2018)

Heboh tentang putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016 terkait ditolaknya permohonan untuk menguji isi Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sepertinya mulai bergeser ke isu-isu yang tidak substansial, seperti polemik apakah putusan Mahkamah Konstitusi itu merupakan legalisasi terhadap LGBT di Indonesia. Sekalipun di dalam putusan itu tidak ada satupun argumentasi para hakim konstitusi yang menyatakan setuju untuk memberi ruang legal bagi aktivitas LGBT di Indonesia, konklusi melompat (jumping to conclusion) seperti itu terbukti yang paling ramai dijadikan wacana publik. Acara populer di televisi, seperti Indonesia Lawyers Club (ILC), malahan memperkuat wacana ini dengan menampilkan sebagian pembicara dengan nada bicara yang memperkuat konklusi melompat tersebut.

Saya tidak bermaksud untuk mengaksentuasi konklusi ini. Tulisan ini menyoroti isu yang dimunculkan dari putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016 ini dari optik berbeda, yang sama sekali luput dari perhatian, yakni khusus tentang kondisi norma yang tertera dalam Pasal 284 KUH-Pidana (KUHP). Ada satu frasa dalam Pasal 284 KUHP yang menarik perhatian kita, yaitu kata-kata: “…, padahal diketahui bahwa Pasal 27 KUH-Perdata berlaku baginya”.  Potongan ayat dalam Pasal 284 KUHP di atas mengacu pada satu asas d dalam hukum keluarga, yaitu asas monogami mutlak. Asas ini dianut bagi golongan penduduk yang tunduk pada KUH-Perdata, yang berlaku bagi golongan Eropa atau yang dipersamakan dengan itu. Frasa ini menarik, karena Pasal 284 KUHP ini mengecualikan keberlakuan delik “perzinahan” apabila pelaku bukan termasuk golongan Eropa atau yang dipersamakan. Dalam asas monogami mutlak, tentu yang dimaksud dengan suami/isteri terdiri dari satu pasang pria dan wanita saja, tidak boleh lebih dari itu. Apabila pasangan suami-isteri itu berhubungan badan dengan pria atau wanita lain di luar pasangannya, maka terjadilah tindak pidana perzinahan.

Mari kita fokus pada apa yang dimaksud dengan Pasal 27 KUH-Perdata tersebut. Pasal ini aslinya berbunyi: “De man kan tegelijkertijd slechts met eene vrouw, de vrouw slechts met eenen man door het huwelijk verboden zijn” (pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja). Persoalannya adalah apakah Pasal 27 KUH-Perdata ini masih berlaku setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan? Apabila kita berpendapat bahwa Undang-Undang Perkawinan yang berlaku secara nasional itu sudah mengatasi perbedaan golongan-golongan penduduk yang muncul sejak era kolonial, dan kemudian politik hukum kita sudah mengarah (sedapat mungkin) ke arah unifikasi hukum, maka pertanyaan di atas menjadi sangat relevan untuk diajukan.

Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan secara “malu-malu kucing” mencoba mengadopsi ketentuan Pasal 27 KUH-Perdata dengan kata-kata: “Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri, seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.” Namun, asas ini segera ditabrak oleh ayat (2) berikutnya, dengan formulasi kalimat sebagai berikut: “Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”  Oleh karena ada ayat (2) tersebut, berarti asas monogami mutlak sudah tidak lagi dianut. Sejumlah penulis melabelkan Pasal 3 Undang-Undang Perkawinan ini dengan nama asas monogami terbuka, atau monogami tidak mutlak, atau monogami relatif.

Perlu dicatat bahwa Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan sudah menggarisbawahi bahwa untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan ini, semua ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), sepanjang terkait perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Artinya, Pasal 27 KUH-Perdata dengan sendirinya termasuk yang sudah dicabut karena asas monogami mutlak sudah tidak lagi dianut melalui ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Tegasnya asas monogami mutlak bertentangan dengan asas monogami tidak mutlak yang dipekenalkan dalam Undang-Undang Perkawinan.

Tentu ada pandangan yang mengatakan bahwa Undang-Undang Perkawinan tidak serta merta membatalkan ketentuan Pasal 27 KUH-Perdata karena Undang-Undang Perkawinan kita masih membuka diri bagi berlakunya hukum agama dalam perkawinan. Pandangan ini seperti ingin menyatakan bahwa ada agama tertentu (baca: Kristen) yang masih berpegang pada asas monogami mutlak. Jadi, atas dasar keberlakuan hukum agama (di samping hukum negara) dalam pengaturan hukum perkawinan di Indonesia, maka keberadaan asas monogami dalam Pasal 27 KUH-Perdata masih berlaku.

Pemikiran ini menarik untuk dikaji ulang. Andaikata pendapat demikian untuk sementara diterima, maka kita perlu mempersoalkan tentang dasar hukum dari keberadaan asas monogami mutlak itu tadi. Tentu dasarnya bukan lagi Pasal 27 KUH-Perdata, namun dasarnya adalah hukum agama. Asas monogami mutlak, dengan demikian, tidak hadir karena ditopang oleh Pasal 27 KUH-Perdata itu lagi, karena berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan, pasal ini sebenarnya tinggal menjadi sejarah.

Hal lain adalah tentang dimensi pidana yang akan muncul dari pemikiran yang masih mempertahankan Pasal 27 KUH-Perdata. Di dalam KUHP terdapat pasal-pasal yang melarang seseorang untuk menikah lagi padahal ia masih terikat perkawinan dengan pihak lain. Salah satu di antaranya adalah Pasal 279 KUHP. Lengkapnya ayat (1) dari pasal ini menyatakan, “Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun: (i) barangsiapa mengadakan perkawinan [lagi], padahal [ia] mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada, menjadi penghalang yang sah untuk itu; (ii) barangsiapa mengadakan perkawinan padahal [ia] mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.” Redaksi dari Pasal 279 ayat (1) KUHP ini harus dibaca satu nafas dengan Pasal 27 KUH-Perdata karena bagi golongan penduduk yang tunduk pada asas monogami mutlak, jelas perkawinan yang telah ada merupakan penghalang bagi seseorang untuk melakukan perkawinan berikutnya.

Namun, bagaimana saat ini ada seseorang di Indonesia, terlepas apapun agamanya, tiba-tiba diketahui menikah lagi padahal ia masih terikat perkawinan dengan pihak lain? Apakah Pasal 279 KUHP dapat menjadi dasar untuk menyeretnya menjadi pesakitan hukum pidana? Sepanjang “penghalang perkawinan” yang dimaksud di sini sekadar dimaksudkan sebagai keterikatan yagn bersangkutan dengan asas monogami mutlak, maka Pasal 279 KUHP tidak dapat digunakan. Kita dapat menyatakan bahwa Pasal 279 KUHP secara sosiologis sebenarnya sudah tidak lagi memenuhi sifat kriminal sepanjang kata “penghalang” di sini dikaitkan dengan asas monogami mutlak. Artinya, penggunaan asas monogami mutlak sudah tidak relevan untuk dipakai sebagai dasar hukum menghalangi seseorang untuk menikah, walaupun orang itu dapat dimasukkan ke dalam kategori golongan yang “tunduk pada KUH-Perdata”.

Apabila kemudian eksistensi Pasal 27 KUH-Perdata diragukan sebagai hukum positif, maka tentu eksistensi pasal-pasal dalam KUHP yang menyebut-nyebut pasal ini juga menjadi layak untuk dipertanyakan juga. Apakah kondisi norma  dalam frasa yang menyatakan “…, padahal diketahui bahwa Pasal 27 KUH-Perdata berlaku baginya” itu memang masih bisa bertengger dan tetap melekat dalam Pasal 284 KUHP? Secara akademis, saya ingin menyatakan bahwa berangkat dari tafsir sistematis atas kondisi norma di dalam pasal ini, seharusnya frasa itu sudah tertanggalkan, walaupun saya tahu pendapat ini belum tentu dapat diterima secara luas, terutama di kalangan akademisi dan praktisi hukum pidana yang masih ingin memaknai bunyi Pasal 284 seperti aslinya.

Oleh sebab itu, jika kita kembali kepada semangat yang dititipkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016, maka tugas merapikan kembali kesemrawutan ini adalah dengan secepatnya memberlakukan KUHP yang baru. Tugas pembenahan ini membutuhkan kajian komprehensif oleh otoritas legislatif. Merekalah yang punya kewajiban ini, dengan mencocokkan asas-asas yang ada dalam hukum keluarga di Indonesia dengan asas-asas dalam tindak pidana kesusilaan.  Pasal-pasal KUHP yang bersinggungan dengan delik kesusilaan (termasuk tentu perzinahan di dalamnya) memiliki ciri unik karena objek normanya sengaja dibiarkan terbuka mengikuti tafsir yang perkembangan di suatu masyarakat. Terkadang ruang tafsirnya tak harus nasional, melainkan lokal. Apa yang dianggap melanggar kesusilaan di satu daerah di Nusa Tenggara, misalnya, belum tentu sama dengan anggapan di Jakarta atau Surabaya.

Antisipasi atas problematika seperti yang dikemukakan di atas harus dengan tenang dan “kepala dingin” dikemas dengan baik dalam sebuah undang-undang yang komprehensif. Bukan didesain secara parsial dengan hanya terfokus pada satu isu tertentu, apalagi dilandasi semangat untuk selalu mengedepankan penggunaan instrumen hukum pidana guna mengatasi berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat. Jangan bebani kewajiban legislasi seperti ini di pundak Mahkamah Konsitusi karena dikhawatirkan lembaga ini bakal terdistraksi perhatiannya pada satu, dua, atau tiga pasal yang dimohonkan, yang dicoba dikait-kaitkan dengan pasal-pasal “karet” dalam konstitusi. Kekhawatiran inilah yang sebenarnya menjadi filosofi mengapa lembaga yudikatif ini disarankan tidak sekali-kali berperan sebagai positive legislator. Tugas ini ada di tangan institusi legislatif. Maka, kita menunggu hasil kerja konkret lembaga legislatif kita untuk menjawab tantangan perenial seperti ini! (***)


 

 

 

 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close