People Innovation Excellence

PENGABDI BEASISWA

Oleh REZA ZAKI (November 2017)

Perkembangan minat studi di Indonesia kian hari kian tinggi. Walaupun kelas menengah ekonomi Indonesia terus meningkat, hal ini tidak mengurangi tingginya warga Indonesia untuk dapat mengakses sejumlah beasiswa yang diberikan baik oleh pemerintah, swasta, maupun negara lain. Kompetisi pun semakin ketat dan hebat. Perkembangan sumber daya manusia (SDM) dengan dominasi generasi Y (Millenial) dan Z (post millennial) menjadikan ruang beasiswa kian kompetitif. Beasiswa yang ditawarkan pun beragam dari mulai jenjang sarjana, magister, doktor, hingga post-doktoral.  Motivasi studi pun bermacam-macam dari mulai ketidakmampuan ekonomi, orientasi jenjang karir di lingkungan kerja, meningkatkan pengetahuan karena berlatar belakang sebagai akademisi di kampus, hingga sekadar sebagai sebuah properti deretan gelar yang mungkin berguna bagi sebagian politisi.

Perjalanan sejarah beasiswa di negeri ini begitu panjang dan berliku. Dari masa Indonesia yang digolongkan sebagai negara berkembang (developing country) hingga menjadi negara maju (transitional country) seperti saat ini. Perjalanan ini dimulai sejak zaman Pra Kemerdekaan (1900-1945) seperti beasiswa Van Deventer Foundation tahun 1913 dimana Moh. Hatta dan Prof. Tjondronegoro pernah meraih beasiswa ini, Max Havelaar Foundation tahun 1912 tatkala kakak dari R.A Kartini pernah menikmati beasiswa ini. Kemudian zaman Orde Lama (1945-1965) seperti beasiswa Mahid dimana mahasiswa dikirim ke Rusia, Ceko, dan negara lainnya. Selanjutnya pada zaman Orde Baru (1965-1996) terdapat beasiswa seperti Ford Foundation dari USA dengan penerimanya antara lain Emil Salim, Ali Wardhana, Dorodjatun K., dan J.B. Soemarlin. Beasiswa tersebut muncul karena ditandai munculnya era penanaman modal asing di Indonesia dimana USA termasuk ke dalam negara yang memiliki pengaruh penguasaan terhadap sumber daya alam (SDA) di Indonesia era itu. Pada zaman Reformasi (1998-2013) bermunculan beasiswa Dikti, DAAD dari Jerman, Erasmus Mundus dari Uni Eropa, Stuned dari Belanda, Fullbright dari USA, Monbusho dari Jepang, Chevening dari Inggris, AAS dari Australia, dan lain sebagainya.

Beasiswa Sebagai Proxy War

Beasiswa menurut Murniasih (2009) diartikan sebagai bentuk penghargaan yang diberikan kepada individu agar dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Penghargaan itu dapat berupa akses tertentu pada suatu institusi atau penghargaan berupa bantuan keuangan. Sejumlah beasiswa yang digelontorkan oleh negara asing tentu saja memiliki motif yang berbeda-beda. Sebagian kalangan menyebutnya sebagai bentuk Neo Kolonialisme sebagaimana buku yang ditulis oleh Paul Sartre (2001) yang berjudul Colonialism and neo-colonialism. Neo kolonialisme adalah upaya untuk mengontrol sebuah negara baik itu dalam bidang politik, hukum, ekonomi, tekhnologi, dan militer dengan bentuk memberikan sebuah beasiswa yang memiliki animo besar di kalangan intelektual masyarakat suatu negara.

Pada era sekarang ini, terminologi Proxy War menjadi lebih tepat dalam menyikapi beasiswa yang diberikan oleh Negara asing. Perebutan panggung beasiswa antarnegara sangat tampak sekali terutama di lingkungan pemerintahan. Di sana proses kaderisasi begitu dipersiapkan karena Negara-negara tersebut memandang bahwa penerima beasiswa dari kalangan pemerintahan suatu saat akan memegang posisi dan kendali strategis. Kalkulasi para pemberi beasiswa ini tentu saja adalah dengan bagaimana dapat menguasai pasar di negara yang dituju. Proxy War sebenarnya merupakan aktor non-negara (non-state actor). Mereka biasanya memiliki kantor perwakilan beasiswa di Negara-negara yang dituju agar lebih memudahkan pemantauan dan komunikasi pascastudi. Proxy war juga dikenal dalam bentuk peperangan lain dengan istilah asymmetric warfare. Peperangan asimetris atau (asymmetric warfare) merupakan pertempuran dua pihak atau lebih untuk menguasai aset dan sumber daya, yang juga dilakukan dengan penguasaan nonmiliter atau cara lazim perang dilakukan.

Namun tentu saja tidak semua beasiswa dari negara asing memiliki motif seperti ini. Ada juga yang memberikan beasiswa kepada mahasiswa Indonesia hanya merupakan motif balas budi seperti Belanda dan Jepang. Namun ada juga yang melihat Indonesia masih sebagai negara berkembang (developing country), maka mereka memberikan beasiswa sebagai bentuk bantuan (development aid). Sehingga ketika status ekonomi Indonesia berubah menjadi negara maju (transitional country), maka status beasiswa pun berubah menjadi instrumen kemitraan (partnership).

Sang Pengabdi

Di era Millenial dan post-millenial kita menemukan sejumlah beasiswa yang semakin kuat di dominasi oleh kekuatan lokal baik pemerintah maupun swasta. Kualifikasi untuk mendapatkan beasiswa ini pun juga tidak kalah rumitnya dengan beasiswa yang ditawarkan oleh negara asing. Wajar hal ini muncul ke permukaan karena status ekonomi Negara kita sudah semakin baik saat ini. Paling tidak terdapat dua beasiswa yang ikut mewarnai era millennial dan post-millennial seperti saat ini yaitu Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan Tanoto Foundation. Kedua beasiswa tersebut sudah begitu melekat di telinga para mahasiswa S1, S2, dan S3 baik di dalam maupun luar negeri.

Sejak tahun 2013, Indonesia seolah mengalami revolusi di dunia pendidikan khususnya beasiswa. Pasalnya pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama berkoordinasi dalam menyediakan beasiswa untuk putra-putri terbaik bangsa. Beasiswa ini ditangani oleh LPDP. Adapun sumber dana dari beasiswa ini adalah sebagian dana dari alokasi dana fungsi pendidikan dalam APBN-P tersebut dijadikan sebagai Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (DPPN) yang dikelola dengan mekanisme pengelolaan dana abadi (endowment fund). Pada tahun 2017, pemerintah menggelontorkan uang sebesar Rp 22,5 triliun untuk mendanai megaproyek pendidikan ini.

Beasiswa ini meliputi program studi S2, S3, spesialisasi, dan tesis/disertasi. Penerima beasiswa diutamakan adalah calon mahasiswa yang akan kuliah di top world universities. Target tiap tahun penerima beasiswa ini adalah 4.000 orang, pada tahun 2015 ada 3.182 orang yang menerima beasiswa ini. Tahun 2016 target naik menjadi 4.500 orang. Dan sampai sejauh ini sudah ada 10.406 mahasiswa penerima beasiswa LPDP yang sedang menempuh studi baik di dalam maupun luar negeri. Sementara itu Tanoto Foundation yang didirikan oleh Sukanto Tanoto lebih fokus memberikan beasiswa S1 dan S2 dalam negeri terutama untuk kampus-kampus seperti UI, ITB, UGM, IPB, Universitas Jambi, Universitas Riau, dan USU.

Kedua beasiswa tersebut memiliki benang merah yang sama yakni untuk dapat mengembangkan ilmu pengetahuan yang kelak akan dipergunakan untuk mengisi pos-pos strategis pembangunan bangsa baik di pemerintahan, swasta, kampus, dan sektor ketiga. Para alumni dari kedua beasiswa tersebut pun terus di monitor dalam basis kekaryaan mereka sebagai bentuk pengabdian terhadap misi suci pendidikan. (***)


 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close