People Innovation Excellence

PERGESERAN KEWENANGAN TERKAIT PERKARA KONEKSITAS DI DALAM KUHAP

Oleh SHIDARTA (November 2017)

Menurut Pasal 89 ayat (1) KUHAP, apabila terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh para subjek hukum yang masuk ke dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan militer, maka lingkungan peradilan yang mengadilinya adalah lingkungan peradilan umum. Anak kalimat pertama dalam ayat ini mengamanatkan suatu pesan kuat untuk mendahulukan peradilan umum daripada peradilan militer. Ini merupakan filosofi yang menjiwai KUHAP sebagai kodifikasi pertama karya bangsa Indonesia pasca kemerdekaan. Dan, patut dicatat bahwa ketentuan tentang hal serupa tidak diatur sebelumnya di dalam HIR.

Lingkungan peradilan militer memang tetap dibuka kemungkinannya untuk mengadili perkara demikian, tetapi harus didahului dengan keputusan Menhankam dengan persetujuan Menteri Kehakiman yang menyatakan PERKARA ITU harus diperiksa dan dadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Pemahaman ini sesuai dengan doktrin noscitur a sociis, bahwa dalam memaknai suatu kata wajib dihubungkan dengan kata-kata di dalam rangkaian kalimat tempat kata itu tertera. Kata “PERKARA ITU” pada kalimat dalam Pasal 89 ayat (1) KUHAP menunjukkan bahwa keputusan Menhankam dengan persetujuan Menteri Kehakiman tersebut haruslah keputusan yang individual-kasuistik (pendekatan kasus per kasus). Keputusan demikian harus dipandang sebagai administrative decision, yang dengan sendirinya bersifat sekali-selesai (einmalig). Pemahaman seperti ini sesuai pula dengan doktrin ejusdem generis, bahwa suatu kata harus ditafsirkan di dalam kelompoknya.

Apabila sudah ada keputusan Menhankam dengan persetujuan Menteri Kehakiman atas perkara tertentu itu, maka barulah suatu tim tetap sebagimana disebutkan dalam Pasal 89 ayat (2) KUHAP, dapat bekerja melakukan penyidikan atas perkara tersebut. Lalu, bagaimana jika keputusan administratif itu tidak atau belum dikeluarkan? Bila demikian halnya, maka ini berarti Menhankam dan Menteri Kehakiman tidak menganggap perkara ini perlu untuk dipertimbangkan sebagai perkara koneksitas. Pemahaman ini mengikuti doktrin expressio unius est exclusio alterius, yang berarti jika sesuatu dinyatakan secara eksplisit berlaku hanya pada satu keadaan, maka ia akan menutup penerapannya pada keadaan yang lain.

Apa logika yang muncul bagi Menhankam untuk mengeluarkan keputusan (dengan persetujuan Menteri Kehakiman) agar suatu perkara berpeluang dialihkan dari peradilan umum ke peradilan militer? Jawaban atas pertanyaan ini sebenarnya sudah ada pengaturannya jauh sebelum KUHAP berlaku, yakni di dalam Keputusan Bersama Menteri Kehakiman, Menteri Hankam/Pangab, dan Jaksa Agung No. Kep B/61/XII/1971. Menurut keputusan bersama ini, yang dijadikan tolok ukur untuk mengalihkan suatu lingkungan peradilan adalah pada titik berat kerugian. Apabila kerugian ini lebih berat pada kepentingan militer, maka peradilan militer yang mengadili perkara itu, sedangkan jika kerugiannya lebih berat pada kepentingan umum/sipil (non-militer) maka peradilan umum yang lebih berpeluang mengadili. Patokan ini kemudian diadopsi dalam Pasal 91 KUHAP. Jadi, jika Menhankam sudah berinisiatif mengeluarkan keputusan, berarti ia sudah mempertimbangkan perkara ini merupakan perkara koneksitas, dan patut diduga ia berharap peradilan militer yang akan menanganinya.

Untuk kasus-kasus tertentu, khususnya korupsi, yang melibatkan para pelaku sipil dan militer, yang di dalamnya terdapat kerugian negara, maka titik berat kerugian menjadi tidak relevan lagi untuk dipertentangkan, apakah di sana lebih pada kerugian militer atau kerugian sipil. Dengan demikian, Menhankam (atau nomenklatur lain dari menteri yang bertanggung jawab di bidang pertahanan kemananan saat ini) tidak memiliki dasar yang kuat untuk mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud Pasal 89 ayat (1) KUHAP.

Memang harus juga dipertimbangkan bahwa posisi Departeman Pertahanan Kemananan dan Departemen Kehakiman sebagaimana dikenal pada masa Orde Baru, jelas telah mengalami pergeseran secara signifikan dibandingkan dengan kondisi Kementerian Pertahanan dan Kementerian Hukum dan HAM saat ini. Menteri Pertahanan saat ini tidak lagi dijabat rangkap oleh panglima TNI (dulu ABRI). Filosofi dari pemisahan jabatan ini tidak terlepas dari semangat menempatkan otoritas sipil di atas militer dalam hal penetapan kebijakan pertahanan negara. Dalam praktik setelah Orde Baru, menteri pertahanan memang dijabat oleh orang-orang sipil atau pensiunan perwira tinggi TNI. Eksistensi Departemen/Kementerian Kehakiman juga sudah lama menghilang dalam portofolio kabinet, seiring dengan berpindahnya posisi berdiri para hakim menjadi sepenuhnya tunduk pada naungan institusi tunggal Mahkamah Agung.

Pergeseran (perbedaan) kewenangan ini mengakibatkan landasan filosofis dan yuridis dari Pasal 89 ayat (2) dan (3) KUHAP sangat perlu dimaknai ulang. Dengan UU Mahkamah Agung (UU No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009), kewenangan dua kementerian terkait pengadilan koneksitas tersebut sebenarnya sudah tidak lagi cocok dengan keadaan sekarang, mengingat keberadaannya sudah dialihkan ke Mahkamah Agung. Pasal 33 dalam Undang-Undang Mahkamah Agung menyatakan, bahwa Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang kewenangan mengadili, antara lain sengketa antara pengadilan di lingkungan peradilan yang satu dengan pengadilan di lingkungan peradilan yang lain. Ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Mahkamah Agung ini nanti akan disandingkan dengan Pasal 90 KUHAP sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut di bawah.

Apabila sudah diputuskan bahwa perkara ini adalah perkara koneksitas, maka elemen personalia dari majelis hakim akan dipadukan. Apabila perkara itu diadili di peradilan umum, ketua majelis hakim dipegang oleh hakim dari peradilan umum, sedangkan dua hakim anggotanya masing-masing satu dari peradilan umum dan satu dari peradilan militer. Porsi ini berbeda apabila peradilan militer yang dipilih untuk menangani perkara ini. Menarik bahwa, Pasal 94 ayat (5) KUHAP kembali memberi kewenangan kepada Menteri Kehakiman dan Menhankam untuk mengusulkan pengangkatan hakim anggota. Ketentuan Pasal 94 ayat (5) ini sekali lagi, sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan karena hakim-hakim tersebut sama sekali tidak berada di bawah dua kementerian ini. Penunjukan majelis hakim oleh menteri sangat mencederai kemerdekaan hakim dalam menjalani tugas profesinya.

Jika Pasal 89 ayat (1) KUHAP berbicara tentang pemeriksaan di persidangan, maka Pasal 89 ayat (2) berbicara tentang penyidikan. Ayat kedua ini menyatakan, “Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh satu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud Pasal 6 KUHAP dan polisi militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur militer atau oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yag berlaku untuk penyidikan perkara pidana.” Pasal 89 ayat (3) menyatakan bahwa tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman.

Perbenturan filosofis terjadi lagi di sini. Jika Pasal 89 ayat (1) terkesan memberikan peluang lebih besar pada peradilan umum, Pasal 89 ayat (2) justru memulai semua itu dari penyidikan oleh tim tetap yang bernuansa militer. Hal ini berlanjut ke Pasal 90 KUHAP yang menyatakan bahwa penetapan lingkungan mana yang mengadili ada di tangan tim peneliti yang terdiri dari jaksa atau jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi. Hal ini sudah disinggung dalam uraian sebelumnya, bahwa selayaknya Mahkamah Agung-lah yang mengambil alih kewenangan ini, berangkat dari bunyi Pasal 33 Undang-Undang Mahkamah Agung.

Ketentuan Bab XI KUHAP yang menampung Pasal 89 s.d. 94 KUHAP memang menjadi kompleks tatkala titik sorot permasalahannya berada di tingkat penyidikan dan penuntutan. Hal ini misalnya terjadi pada dugaan kasus korupsi yang melibatkan aparat TNI dalam kasus pembelian pesawat heli yang tengah disidik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini. Dalam kasus ini sudah ada beberapa tersangka yang ditetapkan, meliputi orang sipil dan militer. Muncul pertanyaan: apakah penyidikan untuk kasus ini cukup dilakukan oleh KPK atau tetap mengikuti prosedur perkara koneksitas yang diatur menurut KUHAP?

Untuk menjawab pertanyaan ini, maka muara dari perkara koneksitas inilah yang harus dijadikan acuan. Muara dari perkara ini ada di tahap persidangan, sehingga peluang untuk memasukkan perkara ini ke peradilan umum selayaknya tetap didahulukan. Hal itu, sekali lagi, sesuai dengan filosofi Pasal 89 ayat (1) KUHAP.  Mengingat KPK sudah memiliki landasan pijakan peraturan perundang-undangan tersendiri, maka tim peneliti koneksitas menurut Pasal 90 KUHAP (terdiri dari jaksa atau jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi), menjadi tidak tepat lagi untuk dipertahankan. Asumsi pelibatan jaksa atau jaksa tinggi adalah karena perkara itu punya potensi untuk di bawah ke persidangan di peradilan umum, sementara oditur militer atau oditur militer tinggi ikut serta adalah karena suatu perkara berpotensi dibawa ke persidangan di peradilan militer.

Dengan hadirnya KPK memulai suatu penyidikan, muara dari suatu kasus sudah dapat diprediksi, yakni akan masuk ke peradilan umum. Perkara ini menjadi perkara biasa, bukan koneksitas. (***)


 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close