People Innovation Excellence

ISU PANGAN INDONESIA DI BAWAH REZIM WTO

Oleh REZA ZAKI (Agustus 2017)

Salah satu wujud dari dukungan WTO terhadap negara-negara berkembang ialah dengan mengakomodasi persetujuan/perjanjian pada bidang pertanian yang bertujuan untuk melakukan reformasi kebijakan perdagangan di bidang pertanian dalam rangka menciptakan suatu sistem perdagangan pertanian yang adil dan berorientasi pasar. Program reformasi tersebut berisi komitmen-komitmen spesifik untuk mengurangi subsidi domestik, subsidi ekspor, dan meningkatkan akses pasar melalui penciptaan peraturan dan disiplin GATT yang kuat dan efektif. Persetujuan/perjanjian tersebut juga meliputi isu-isu di luar perdagangan seperti ketahanan pangan, perlindungan lingkungan, perlakuan khusus dan berbeda (special & differential treatment) bagi negara-negara berkembang, termasuk juga perbaikan kesempatan dan persyaratan akses untuk produk-produk pertanian bagi negara-negara tersebut.[1]

Di dalam Article 6, 7, 8, 9, 10, dan 12 Agreement on Agriculture (AoA) mengatur mengenai ketentuan subsidi domestik dan subsidi ekspor. Bahkan WTO mengatur secara tegas antisipasi penyalahgunaan bantuan pangan internasional dari Food Agriculture Organization (FAO) untuk kepentingan subsidi domestik maupun ekspor suatu negara yang menerima bantuan tersebut.[2]

Dalam isu pertanian, anggota WTO menghadapi polarisasi antara kelompok negara maju dan negara berkembang. Perdebatan yang senantiasa muncul adalah mengenai kebijakan subsidi pertanian domestik masing-masing negara terutama dalam mendukung aktifitas ekspor pertanian mereka ke negara lain. Bahkan dalam hal pemenuhan pangan dalam negeri, sejak tahun 2002, WTO sudah mulai membahas mengenai public stockholding (stok pangan) sebagai instrumen negara membeli pangan secara langsung kepada petani. Namun sudah hampir 15 tahun lamanya, isu public stockholding ini belum menemukan kata sepakat dalam bentuk formulasi di antara kelompok negara maju dan negara berkembang di WTO.

Menurut Gunawan, Ketua Eksekutif Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Indonesia, Pangan merupakan salah satu instrumen kekuatan nasional, maka kebijakan pangan nasional haruslah independen, tidak boleh di bawah tekanan negara-negara maju. Standardisasi subsidi pangan, apalagi angkanya sangat rendah, akan semakin menguntungkan kepentingan asing yang jelas memiliki modal dana dan teknologi lebih maju. Apalagi kemudian itu diikuti kebijakan kran impor pertanian dan pangan selebar-lebarnya, yang didorong negara-negara maju, yang akan menghancurkan petani miskin seperti di Indonesia. Ujungnya ini akan memunculkan monopoli pangan dan benih oleh perusahaan transnasional yang bergerak di bidang pertanian dan pangan. laporan dari Dewan HAM PBB tahun 2012 telah menunjukkan bahwa krisis pangan dewasa ini justru menimbulkan diskriminasi terhadap petani dan masyarakat yang bekerja di pedesaan.[3]

Menurut Bachrul Chairi, Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional Kementrian Perdagangan RI, Subsidi ekspor kepada petani di negara maju merupakan salah satu penyebab keterpurukan petani di negara berkembang. Akibat serbuan komoditas pertanian dari negara maju yang disubsidi, para petani di negara berkembang mati perlahan. Hasil pertanian negara berkembang kalah bersaing karena tak disubsidi. Ujung-ujungnya, negara berkembang jadi ketergantungan pada impor komoditas pertanian dari negara maju. Indonesia adalah salah satu korban dari kebijakan subsidi ekspor pertanian negara maju ini. Bachrul menyontohkan, sekarang Indonesia amat bergantung pada pasokan kedelai dari Amerika Serikat (AS). Para petani di Indonesia tak mau menanam kedelai karena pasti rugi, kedelai lokal kalah murah dibanding kedelai impor. Akibatnya, produksi kedelai di Indonesia sangat sedikit, hanya 30% dari total kebutuhan.[4] (***)


REFERENSI:

[1] Kemenlu, Persetujuan Bidang Pertanian (Agreement on Agriculture/AoA), Direktorat Jenderal Multilateral, Kemenlu, 2008, hlm 1

[2] Lihat Article 6, 7, 8, 9, 10, dan 12 Agreement on Agriculture (AoA)

[3] Berita Satu, Ini Alasan Kenapa Indonesia Tak Boleh Tunduk pada Standarisasi WTO atas Subsidi Pangan, http://www.beritasatu.com/nasional-internasional/153873-ini-alasan-kenapa-indonesia-tak-boleh-tunduk-pada-standardisasi-wto-atas-subsidi-pangan.html (Online), diakses pada 2 Juni 2017

[4] Detik, WTO Larang Subsidi Ekspor Produk Pertanian, Ini Dampak bagi RI, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3103160/wto-larang-subsidi-ekspor-produk-pertanian-ini-dampak-bagi-ri (Online), diakses pada 2 Juni 2017



Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close