People Innovation Excellence

EUTHYPHRO DILEMMA

Oleh SHIDARTA (Juli 2017)

Ketika bicara tentang moralitas, ada sekelompok orang berpendapat bahwa tatkala manusia lahir, secara fitrah ia sudah membawa ide-ide bawaan (innate ideas) tentang apa yang baik dan buruk. Dari kata “innate” ini kemudian muncul istilah “innatism”. Penganut innatisme umumnya percaya bahwa ide-ide itu berasal dari kekuatan supranatural yang telah mengisi roh setiap manusia dengan kecenderungan positif tersebut. Katakanlah kekuatan supranatural ini adalah Tuhan atau para dewa yang tinggal di alam metafisis.

Seorang ahli tasawuf bernama Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (1077-1166M) dalam bukunya Sirrul Asrar (edisi bahasa Indonesia dari buku ini diterbitkan oleh Turos Pustaka, 2015), membedakan alam menjadi empat jenis. Setiap roh manusia, menurutnya, diturunkan melalui keempat roh ini, dari tempatnya yang tertinggi ke tempatnya yang paling rendah. Roh tertinggi disebutnya roh qudsi yang berada di alam lahut. Ini adalah roh dalam bentuk terbaik yang identik dengan roh ketuhanan. Roh ini lalu diturunkan ke dimensi yang lebih rendah, yang disebut roh sulthani di alam jabarut. Di alam jabarut ini Tuhan menanamkan cahaya keesaan-Nya (tauhid). Roh sulthani ini menghuni fuad manusia. Fuad sering diterjemahkan menjadi “hati kecil”. Roh yang lebih rendah lagi adalah roh sirani rawani yang menghuni alam malakut. Roh sirani rawani ini menghuni kalbu manusia. Terakhir, ada roh jusmani yang ada di alam mulk. Roh ini menghuni raga manusia.

Pandangan di atas merupakan contoh pemikiran kaum innatisme, yang meyakini bahwa manusia pada hakikatnya adalah mahluk yang cenderung pada kebaikan. Cenderung pada moralitas. Kaum agamawan mencermati bahwa kecenderungan ini memang dihembuskan oleh Dzat Sang Pencipta, yakni Tuhan ke dalam hati manusia. Lalu, muncul teori tentang tingkatan-tingkatan hati. Tingkatan hati yang tertinggi konon disebut albab, lalu menurun terus ke tingkatan fuad, kalbu (qalb), dan shadr.

Tulisan ini tidak akan mengulas pandangan tasawuf tersebut lebih jauh. Namun, dari pandangan ini kemudian muncul satu pertanyaan yang dalam etika dikenal sebagai euthyphro dilemma. Pertanyaan sebagai berikut: jika kebaikan (moralitas) itu memang berasal dari Tuhan [atau pemilik kekuatan supranatural dengan predikat lainnya], lalu: (1) apakah sesuatu menjadi baik karena diperintahkan oleh Tuhan; atau (2) apakah sesuatu memang sudah baik (“dari sononya”) sehingga Tuhan memerintahkan untuk dikerjakan?

Apabila jawaban atas pertanyaan pertama diiyakan, maka berarti moralitas tidaklah objektif. Paling tidak ia hadir karena subjektivitas Tuhan. Oleh karena Tuhan dipandang Zat Yang Maha Adil, maka sumber moral yang menginspirasi hukum harus diterima secara intuitif sebagai asas keadilan di dalam hukum. Apabila jawaban atas pertanyaan kedua yang diiyakan, maka diyakini ada moralitas yang “objektif” itu. Objektivitas ini tidak bisa ditekuk-tekuk, bahkan oleh Tuhan sekalipun. Dengan demikian rasio manusia yang beradab akan mampu menjangkau kebenaran moralitas objektif itu tadi. Atas dasar ini pula sesungguhnya dipercaya akan ada moralitas universal seperti sediakala dikehendaki para penganut aliran hukum kodrat.

Dapat diduga bahwa barisan pendukung pandangan pertama banyak datang dari kalangan rohaniawan. Mereka menyukai pertanyaan pertama karena titah Tuhan, termasuk yang terbaca di dalam kitab-kitab suci, memang tidak seluruhnya dapat dipahami oleh rasio manusia, tetapi tokh tetap wajib diimani. “Fides quaerens intellectum” (iman mencari pengertian), ujar filsuf Kristen St. Anselm dari Canterbury (1033-1109). Dalam Islam juga dikenal ungkapan “sami’na wa atho’na” (kami dengar dan kami taat) (QS An-Nuur: 51). Barisan pendukung pandangan seperti ini, dalam diskursus etika, dikenal sebagai kubu absolutisme religius. Seorang uskup bernama Robert C. Mortimer (1975) pernah menulis pegangan sikap ini dengan kata-kata: “God made us and all the world. Because of that He has an absolute claim on our obedience. We do not exist in our own right, but only as His creatures, who ought to do and be what He desires.”

Demikianlah, lalu lahir aliran hukum kodrat pada Abad Pertengahan memang meyakini kemutlakan moralitas Tuhan di atas manusia, mengingat manusia adalah imago Dei (citra Tuhan). Pandangan ini bergeser pada era modern, khususnya pada perioda Pencerahan, tatkala aliran hukum kodrat terimbas paham sekularisasi. Manusia lalu dipandang sebagai individu-individu yang mandiri dengan tidak lagi dibayangi-bayangi citra Tuhan. Senyampang individu-individu dapat mandiri menetapkan standar moralitas masing-masing, seharusnya pikiran demikian dapat dialamatkan kepada masyarakat manusia. Friedrich von Savigny (1779–1861) meyakini bahwa sesungguhnya tidak ada manusia-individu. Yang ada adalah manus ia-sosial. Hukum menampakkan diri sebagai “organisme” yang supra-individual, terkait dengan kehidupan sejarah suatu masyarakat. Pada masyarakat yang masih primitif, hukum dibentuk tanpa rekayasa, tetapi sekadar mengikuti jiwa rakyat (Volksgeist). Hukum tidak dibuat, melainkan ia tumbuh mengikuti masyarakatnya. Oleh karena hukum tidak perlu dibuat, maka dengan sendirinya ia tidak membutuhkan prosedural (formalitas) tertentu. Artinya, untuk menjadi hukum tidak diperlukan tahap positivitas. Moralitas seyogianya sudah mengikat tanpa membutuhkan positivitas. Jika penganut aliran hukum kodrat, khususnya dari agamawan berpegang pada absolutisme etis, maka kaum mazhab sejarah meyakni adanya relativisme etis. Artinya, secara kultural terdapat banyak sekali varian tentang apa yang baik dan buruk.

Apabila euthyphro dilemma kembali diangkat, maka terlihat di sini bahwa mazhab sejarah adalah contoh aliran berpikir yang “berhasil” keluar dari kebingungan ini. Penganut mazhab sejarah tidak menganut salah satu dari pilihan dilematis tadi. Bagi mereka, kebaikan (moralitas) tidak diturunkan dari ruang hampa dan steril, melainkan dari hasil interaksi antar-manusia di dalam perilaku mereka dari waktu ke waktu. Jadi, setiap ruang dan waktu menawarkan kebaikannya sendiri-sendiri, yang tidak harus mutlak sama. Moralitas lebih sebagai kesepakatan manusia dengan manusia, bukan antara manusia dan Tuhan Sang Pencipta. Kecenderungan manusia terhadap kebaikan, bukan karena rasa religiositasnya, melainkan lebih pada keinginan untuk taat pada pola perilaku yang sudah membudaya di dalam masyarakatnya. Penyimpangan terhadap pola perilaku ini bakal dianggap sebagai sikap anti-sosial, yang notabene berarti sama dengan immoral (bertentangan dengan moral). Terma “moral” konon memang diambil dari kata “mores” yang artinya adalah kebiasaan atau adat-istiadat.

Jadi, pilihan ekstrem dari sikap moral kita berakhir di persimpangan jalan, yakni: apakah akan meyakini adanya absolutisme etis; ataukah relativisme etis? Jika kita memilih di posisi pertama, maka boleh jadi kita harus berkutat pada euthyphro dilemma. Untuk keluar dari dilema ini, kita terpaksa harus berpindah ke posisi kedua. Namun, perpindahan di posisi ini juga bukan tanpa masalah karena di dalam praktik, relativisme ini boleh jadi akan menawarkan kebingungan. Karena banyaknya variasi kebaikan, dapat juga bermakna banyaknya pilihan keburukan. (***)


 

 

 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close