People Innovation Excellence

KUALIFIKASI PENDIDIKAN TINGGI HUKUM DAN KONSTELASI DISIPLIN HUKUM

Oleh SHIDARTA (Mei 2017)

Sering muncul pertanyaan terkait pembedaan orientasi pembelajaran bagi pendidikan tinggi hukum pada program sarjana, magister, dan doktor [ilmu] hukum. Pertanyaan ini terlebih-lebih ramai disuarakan tatkala orang mulai mempersoalkan kualitas penelitian dan penulisan skripsi, tesis, dan disertasi, yang konon dalam sejumlah kasus tidak cukup siginifikan perbedaannya satu dengan lainnya, terkecuali sekadar selisih ketebalan halaman.

Dalam pedoman penyusunan kurikulum pendidikan tinggi (antara lain tercantum dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/U/2000), sempat dinyatakan bahwa perbedaan tersebut dapat dilihat dari kualifikasi kompetensi hasil lulusan, yang kurang lebih perbedaannya. Berikut disajikan arahan yang disampaikan dalam keputusan tahun 2000 itu.

Program sarjana diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki kualifikasi sebagai berikut: (a) menguasai dasar-dasar ilmiah dan ketrampilan dalam bidang keahlian tertentu sehingga mampu menemukan, memahami, menjelaskan, dan merumuskan cara penyelesaian masalah yang ada di dalam kawasan keahliannya; (b) mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya sesuai dengan bidang keahliannya dalam kegiatan produktif dan pelayanan kepada masyarakat dengan sikap dan perilaku yang sesuai dengan tata kehidupan bersama; (c) mampu bersikap dan berperilaku dalam membawakan diri berkarya di bidang keahliannya maupun dalam berkehidupan bersama di masyarakat; (d) mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian yang merupakan keahliannya.

Program magister diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) mempunyai kemampuan mengembangkan dan memutakhirkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian dengan cara menguasai dan memahami, pendekatan, metode, kaidah ilmiah disertai ketrampilan penerapannya; (b) mempunyai kemampuan rnemecahkan permasalahan di bidang keahliannya melalui kegiatan penelitian dan pengembangan berdasarkan kaidah ilmiah: (c) mempunyai kemampuan mengembangkan kinerja profesionalnya yang ditunjukkan dengan ketajaman analisis permasalahan, keserbacakupan tinjauan, kepaduan pemecahan masalah atau profesi yang serupa,

Program doktor diarahkan pada hasil lulusan yang memiliki kualifikasi sebagai berikut: (a) mempunyai kemampuan mengembangkan konsep ilmu, teknologi, dan/atau kesenian baru di dalam bidang keahliannya melalui penelitian; (b) mempunyai kemampuan mengelola, memimpin, dan mengembangkan program penelitian; (c) mempunyai kemampuan pendekatan interdisipliner dalam berkarya di bidang keahliannya.

Perlu diingat bahwa pendidikan sarjana, magister, dan doktor adalah pendidikan dalam jalur akademis. Pendidikan dalam jalur ini bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni (ipteks), serta pengembangannya. Hal ini dibedakan dengan jalur pendidikan profesi yang bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kesiapan dan keterampilan dalam penerapan keahlian tertentu.

Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) sebagaimana dinyatakan dalam Lampiran Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 menyebutkan adanya sembilan jenjang kualifikasi. Lulusan diploma 4 atau sarjana terapan dan sarjana paling rendah setara dengan jenjang 6. Lulusan magister terapan dan magister paling rendah setara dengan jenjang 8. Lulusan doktor terapan dan doktor setara dengan jenjang 9.

Menurut KKNI itu, pendidikan sarjana diharapkan: (a) mampu mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni pada bidangnya dalam penyelesaian masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi; (b) menguasai konsep teoretis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep teoritis bagian khusus dalam bidang pengetahuan tersebut secara mendalam, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural; (c) mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis informasi dan data, dan mampu memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi secara mandiri dan kelompok; (d) bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja organisasi.

Selanjutnya, pendidikan magister memiliki kualifikasi: (a) mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan/atau seni di dalam bidang keilmuannya atau praktik profesionalnya melalui riset, hingga menghasilkan karya inovatif dan teruji; (b) mampu memecahkan permasalahan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni di dalam bidang keilmuannya melalui pendekatan inter- atau multidisipliner; (c) mampu mengelola riset dan pengembangan yang bermanfaat bagi masyarakat dan keilmuan, serta mampu mendapat pengakuan nasional dan internasional.

Pendidikan doktor dalam KKNI memiliki kualifikasi: (a) mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan/atau seni baru di dalam bidang keilmuannya atau praktik profesionalnya melalui riset, hingga menghasilkan karya kreatif, original, dan teruji; (b) mampu memecahkan permasalahan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/ atau seni di dalam bidang keilmuannya melalui pendekatan inter-, multi-, dan transdisipliner; (c) mampu mengelola, memimpin, dan mengembangkan riset dan pengembangan yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia, serta mampu mendapat pengakuan nasional dan internasional.

Jika kita bandingkan antara Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/U/2000 dan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012, tampak bahwa secara umum tidak ada perbedaan yang signifikan. Pada hakikatnya, pendidikan tinggi sarjana diarahkan lebih ke ranah aplikatif, sedangkan pendidikan magister lebih ke arah produksi karya-karya penelitian yang inovatif dan teruji. Selanjutnya pendidkan doktor pada produksi karya-karya kreatif, orisinal, dan teruji.

Bagi pendidikan tinggi hukum, pembedaan ini sebenarnya dapat dikembalikan ke dalam konstelasi disiplin [ilmu] hukum itu sendiri. Dengan memahami kekhasan karakteristik disiplin hukum itu, akan lebih mudah untuk mempertanggungjawabkan penetapan orientasi pembelajaran pendidikan tinggi hukum sekaligus menetapkan visi ilmiah (scientific vision) yang tepat bagi pendidikan tinggi hukum dalam kurun waktu sekarang dan beberapa tahun mendatang.

Dalam konstelasi ilmu-ilmu pada umumnya, ilmu hukum dapat dikategorikan dalam kelompok ilmu praktis. Sebagaimana layaknya ilmu praktis, ia melayani permasalahan konkret yang diajukan masyarakat. Namun, ilmu praktis dalam konteks ilmu hukum kerap dimaknai sebagai ilmu praktis yang normologis (berhubungan dengan dalil normatif), bukan ilmu praktis yang nomologis (berhubungan dengan dalil faktual-alamiah). Pada tingkat paling hulu terdapat ilmu-ilmu formal seperti logika dan statistika. Ilmu-ilmu formal ini tidak memanfaatkan produknya sendiri, melainkan untuk digunakan oleh ilmu-ilmu empiris dan ilmu-ilmu praktis. Pada tingkat di bawahnya yang lebih hilir terdapat ilmu-ilmu empiris, seperti sosiologi, sejarah, dan bahasa. Pada tingkat paling hilir terdapat ilmu-ilmu praktis, seperti ilmu kedokteran dan ilmu hukum dogmatis.

Sebelum menyentuh pembahasan lebih jauh tentang disiplin hukum, perlu diingatkan bahwa George J. Mouly memiliki pendekatan berbeda dalam pembedaan ilmu-ilmu. Menurutnya, ada kelompok ilmu-ilmu teoretis dan ilmu-ilmu empiris, tetapi keduanya tidak ditempatkannya dalam kelas-kelas yang sejajar. Ia memberi tempat lebih tinggi, bahkan paling tinggi, kepada ilmu-ilmu teoretis. Menurutnya, inilah tingkat paling akhir dari ilmu. Mouly melihat, baik ilmu alam maupun ilmu sosial (dalam konteks ini dapat diartikan sama dengan ilmu-ilmu kemanusiaan) mempunyai kesempatan untuk meningkatkan diri menjadi ilmu-ilmu teoretis, tetapi menurutnya, tahap yang maju ini akan lebih mampu dicapai oleh ilmu-ilmu alam.

Peningkatan yang disampaikan Mouly ini sebenarnya lebih mengarah kepada aktivitas internal suatu disiplin [ilmu]. Tingkatan tersebut mengacu kepada derajat abstraksi suatu ilmu, sehingga akhirnya dikenal ada tingkat ilmu positif tertentu dan teori ilmu tertentu. Tingkatan Mouly ini sebenarnya dapat dilanjutkan ke posisi cabang disiplin yang paling tinggi (paling abstrak) yaitu filsafat ilmu yang bersangkutan. Hal ini juga terjadi dalam disiplin hukum, sehingga dalam disiplin hukum pun sebenarnya ada tiga tingkatan (dimulai dari jenjang paling empiris ke jenjang paling abstrak), yaitu:

  1. Ilmu-ilmu hukum. Cabang disiplin hukum yang berobjekkan tatanan hukum nasional dan internasional, terbagi dalam dua perspektif, normatif (internal) dan empirikal (eksternal). Normatif: (a) ilmu hukum dalam arti sempit, yang disebut juga dengan ilmu praktis normologis, ilmu hukum positif, ilmu hukum praktis, atau dogmatik hukum; dan (b) perbandingan hukum (berbeda artinya dengan metode perbandingan hukum). Empiris: (a) sosiologi hukum; (b) sejarah hukum; (c) antropologi hukum; dan (d) psikologi hukum.
  2. Teori ilmu hukum. Cabang disiplin hukum yang berobjekkan tatanan hukum positif sebagai sistem, terbagi dalam: (a) ajaran hukum umum (teori hukum); (b) hubungan hukum dan logika; dan (c) metodologi.
  3. Filsafat hukum. Cabang disiplin hukum yang berobjekkan hukum dalam keumumannya atau sebagai demikian (law as such).

Pembedaan di atas juga dapat dikonfirmasi dari karya Meuwissen. Tingkat abstraksi yang paling rendah (paling konkret) adalah ilmu hukum. Istilah “ilmu hukum” yang dimaksud Meuwissen bermakna jamak, sehingga lebih baik ditulis menjadi “ilmu-ilmu hukum”. Ia tidak sekadar memasukkan ilmu hukum dogmatis (dogmatika hukum) di dalamnya, melainkan juga ilmu-ilmu empiris hukum.8 Tingkat abstraksi berikutnya adalah teori hukum (dalam arti sempit), sedangkan tingkat abstraksi tertinggi ditempati oleh filsafat hukum.

Ilmu-ilmu hukum ini ada yang berperspektif normatif dan empiris. Seperti dinyatakan di atas, ilmu hukum yang berperspektif normatif (internal) merupakan ilmu hukum dalam arti sempit. Ilmu hukum ini disebut juga dengan dogmatika hukum (ilmu hukum dogmatis atau ilmu hukum praktikal). Tataran ilmu hukum dogmatis ini bersifat konkret, yang secara spesifik menjawab permasalahan: “Kalau terjadi pelanggaran hukum, apa akibat hukumnya?” Untuk menjawab permasalahan ini, ilmu hukum dogmatis lalu menyodorkan norma-norma yang secara otoritatif berlaku dalam sistem hukum positif (ius constitutum). Di luar itu ada ilmu hukum dalam arti luas, yang cakupannya tidak sekadar pada ilmu hukum dogmatis ditambah ilmu empiris tentang hukum, melainkan juga mencakupi cabang-cabang disiplin hukum lain (teori dan filsafat hukum).

Perbedaan antara ilmu hukum normatif dan empiris itu dapat ditinjau dari titik berdiri (standpoint) dalam mengkaji hukum. Dari titik-titik berdiri ini, ada pengkaji hukum yang memandang hukum dengan berangkat dari posisi sebagai pemain atau partisipan (medespeler), sementara ada kelompok lain yang menyoroti hukum bertolak dari kaca mata sebagai pengamat (toeschouwer).

Mereka yang masuk ke dalam kelompok pemain umumnya melihat hukum dalam wujud yang paling sederhana, yakni sekadar kumpulan norma-norma hukum positif. Para pegiat dalam ilmu hukum dogmatis (dogmatika hukum) antara lain berada dalam barisan pendukung cara pandang demikian. Di sisi lain terdapat kelompok pengamat yang membedah hukum dari perspektif sejarah, budaya, psikologi, sosiologi, dan sebagainya. Kelompok terakhir ini berasal dari ilmu-ilmu empiris hukum.

Posisi ilmu-ilmu empiris hukum ini ada di dua tempat. Jika kita melihat konstelasi ilmu hukum dalam arti luas, ia bisa saja dimasukkan ke dalam kelompok disiplin hukum. Namun, mereka sebenarya berinduk pada disiplin ilmu yang lain. Sosiologi hukum adalah cabang sosiologi, bukan cabang ilmu hukum. Oleh sebab itu, ada pandangan yang menghindari pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu hukum empiris ini dimasukkan dalam diskursus disiplin hukum. Hal ini dapat ditelusuri perkembangannya sejak Revolusi Prancis, yang meletakkan kecenderungan umum untuk mengartikan ilmu hukum sebagai ilmu hukum dogmatis belaka. Dengan cara pandang seperti itu, ilmu hukum memang terjebak dalam ruang dan waktu yang sangat sempit karena kehilangan karakter universalitasnya. Ilmu hukum dogmatis hanya mengolah bahan-bahan hukum yang bersifat otoritatif dan tersaji (given). Kondisi ini memang tidak cukup ideal untuk membuat ilmu hukum dogmatis mengemban tugasnya sebagai ilmu praktis. Sebagai ilmu praktis, ilmu hukum dituntut untuk segera mengambil keputusan atas suatu peristiwa konkret yang terjadi dalam masyarakat.

Dalam kaca mata ilmu hukum dogmatis, referensi untuk pengambilan keputusan ini memang tidak boleh terlalu beragam. Keragaman demikian justru dipandang membahayakan bagi tercapainya kepastian hukum. Untuk itulah, karakter ilmu praktis ini akhirnya didorong ke arah ilmu praktis yang normologis, dengan mengandalkan penalaran doktrinal-deduktif. Ilmu hukum dogmatis berfungsi mempelajari makna objektif dari norma positif. Makna yang disajikan sebagai hasil kerjanya sangat partikular karena terikat pada ruang dan waktu tertentu (keterdisinian dan kekinian). Ia berbicara tentang “what the law is” bukan “what the law ought to be”.

Apeldoorn suatu ketika pernah menulis, bahwa di mana ilmu hukum berakhir di situlah filsafat hukum mulai. Artinya, di luar ilmu hukum dogmatis (ilmu hukum dalam arti sempit) tersebut terdapat cabang disiplin hukum lainnya. Pertama-tama adalah filsafat hukum. Jika ilmu hukum dogmatis dikesankan terlalu konkret, maka filsafat hukum justru dikesankan terlalu abstrak karena bekerja secara reflektif tidak lagi kepada hukum positifnya, tetapi justru kepada nilai-nilai yang seyogianya (ius constituendum). Untuk menjembatani jurang antara ilmu hukum dogmatis dan filsafat hukum tersebut lalu muncul cabang ketiga dari disiplin hukum, yakni teori hukum.

Teori hukum adalah cabang disiplin hukum paling muda. Ia bercorak meta-ilmu hukum. Tugasnya adalah untuk memberikan penjelasan atas berbagai konsep hukum tanpa harus terikat pada bangunan sistem hukum tertentu. Konsep-konsep inilah yang nanti akan sangat berguna untuk menunjang kegiatan penemuan hukum (rechtsvinding). Teori hukum bersifat interdisipliner, sehingga di sinilah terletak “pintu masuk” untuk menjalin kerja sama dengan ilmu-ilmu lain di luar disiplin hukum (khususnya ilmu-ilmu empiris hukum), bukan pada tataran ilmu hukum dogmatis. Pintu masuk ini pula yang dipakai oleh para pengamat yang berpijak pada pendekatan-pendekatan non-disiplin hukum. Sejarawan hukum, sosiolog hukum, antropolog hukum, dan psikolog hukum adalah sebagian dari mereka yang berada pada posisi pengamat (medespeler) terhadap hukum dan memberi warna berbeda daripada kajian ilmu hukum dogmatis. Dalam perkembangan yang lebih kemudian, teori hukum pun juga ingin melayani kebutuhan filsafat hukum. Untuk itu, Bruggink membedakan teori hukum ini menjadi dua pendekatan: ada teori hukum yang empiris dan teori hukum yang kontemplatif.

Apabila uraian di atas dicarikan relevansinya dengan orientasi pendidikan tinggi hukum, maka secara sederhana dapat diletakkan arahan sebagai berikut:

  1. Pendidikan sarjana hukum bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang mampu menerapkan dasar-dasar ilmu hukum untuk dapat menjawab kebutuhan konkret kemasyarakatan dengan paling tidak menggunakan bahan-bahan hukum yang tersaji secara otoritatif.
  2. Pendidikan magister hukum bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang mampu memetakan permasalahan hukum menurut suatu kerangka teori tertentu dan dalam hal tertentu juga mengkritisi teori-teori tersebut.
  3. Pendidikan doktor hukum bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang mampu merefleksikan secara filosofis tentang keberadaan dan keberlakuan hukum, serta mampu menawarkan secara argumentatif alternatif pendekatan atau teori yang lebih baik.

Penulis menyadari bahwa tim penyusun KKNI bidang hukum tentu sudah pula mempelajari karakteristik di atas, sehingga formulasi kualifikasi kompetensi untuk bidang hukum relatif masih sinkron dengan kriteria di atas (dalam tulisan ini formulasi hasil susunan tim ini tidak ditampilkan). Hal ini dapat dianggap sebagai perbaikan dari sikap Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sebelumnya tatkala tim bentukan Ditjen Dikti menyusun buku panduan pembuatan dokumen perguruan tinggi tentang kompetensi bidang ilmu. Dalam buku yang diberi judul “Kurikulum Berbasis Kompetensi Bidang-Bidang Ilmu” (2005), ilmu hukum dimasukkannya ke dalam kelompok bidang ilmu sosial. Menurut buku tersebut, pendidikan ilmu sosial (berarti juga pendidikan ilmu hukum) yang dikembangkan perlu memiliki beberapa tujuannya, di antaranya adalah: (1) mengembangkan pengetahuan mahasiswa mengenai konsep, proses generalisasi dan teori yang mampu mereka gunakan dalam pencerahan di masyarakat sebagai anggota masyarakat yang bertanggung jawab, (2) mengembangkan keterampilan berpikir kritis, keterampilan mencari dan menyusun sistem informasi sosial yang diperlukan dan dapat diakses oleh masyarakat, (3) mengembangkan sikap dan nilai hidup mahasiswa dalam hal human dignity, equality, equity, dan diversity serta kemampuan mereka untuk mengembangkan aktivitas yang konsisten dengan sikap dan nilai hidup tersebut, dan (4) mengembangkan pemahaman kritis pada mahasiswa untuk memahami kejadian-kejadian yang terjadi di masa lalu dan saat ini yang akan mempengaruhi mahasiswa dalam mengidentifikasi cara mereka membentuk masa depan di lingkungan sosialnya.

Pendidikan tinggi hukum memiliki jalur tempuh yang berbeda dengan pendidikan ilmu-ilmu sosial. Pendidikan sarjana [ilmu] hukum kita dapat ditelusuri sejarahnya sejak mulai berdirinya sekolah hukum setaraf pendidikan menengah bernama Opleidingsschool voor de Inlandsche Rechtskundigen pada tahun 1909 di Batavia. Sekolah ini merintis ke arah pendirian Rechtsschool. Pada tahun 1924 berdiri pula Rechtshoogesschool. Niat awal dari pendirian sekolah-sekolah ini lebih kepada kebutuhan untuk mengisi jabatan administrasi pemerintahan Hindia Belanda. Pengalaman sejarah ini menunjukkan bahwa pendidikan setingkat sarjana yang diusung oleh Rechtshoogeschool yang menjadi cikal bakal pendidikan tinggi hukum di Indonesia itu memang sejak awal mengacu kepada pendekatan ilmu hukum sebagai ilmu praktis.

Hal ini agak berbeda dengan lahirnya pendidikan pascasarjana setingkat magister yang baru lahir belakangan (1980). Pendidikan magister sebenarnya didesain untuk menjembatani peserta didik sebelum mereka memasuki jenjang doktor pendidikan. Jembatan ini terlebih-lebih dibutuhkan setelah program sarjana mengenal sistem kredit semester. Kondisi sebagai jembatan ini membuat orientasi pendidikan akademis untuk jenjang magister memang terkesan kuat masih mencari-cari bentuk. Pencarian itu antara lain berujung pada pilihan dilematis, yakni apakah tetap setia pada jalur akademik atau boleh melirik juga ke jalur profesi. Lahirnya program studi magister kenotariatan sekitar tahun 2000 adalah salah satu bukti dari pencarian ini.

Sementara untuk program doktoral, yang sudah dirintis sejak 1950 di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia, sebenarnya relatif lebih mapan. Sebutan doctor of philosophy (Ph.D) yang secara universal diterima untuk menyebut penyandang gelar doktor semua disiplin ilmu, sudah memperlihatkan bahwa orientasi studi program ini memang bertumpu pada kajian-kajian filosofis. Tentu tidak dapat dihindari bahwa dalam pelaksanaannya, kerap terjadi kompromi terhadap kualitas “kedalaman” kajian filosofis ini. Akhir-akhir ini bahkan berkembang wacana untuk juga mengikuti jejak program magister, dengan memungkinkan ada pendidikan program doktor hukum yang condong kepada pendekatan kebutuhan profesi.

Pilihan-pilihan pragmatis tersebut menunjukkan dialektika antara visi ilmiah (scientific vision) disiplin hukum dan sinyal pasar (market signal) yang dinamis. Pengelola program pendidikan tinggi hukum dituntut memiliki kemampuan untuk menyikapi dan menyiasati kondisi dan dinamika tersebut. Penyikapan dan penyiasatan seperti dimaksud di atas sebenarnya tidak harus sampai mengorbankan orientasi pendidikan tinggi hukum. kita. Dalam pendidikan program doktor [ilmu] hukum, misalnya, kemampuan untuk mengkonstruksikan teori tetap perlu dikuasai oleh setiap lulusan. Dalam disertasi doktoral, harus tercermin kemampuan penulisnya dalam mengidentifikasi permasalahan, merumuskan permasalahan, menetapkan dan mendefinisikan konsep-konsep, membangun proposisi, dan mengkonstruksikan teori. Dalam konteks kemanfaatan, jika meminjam istilah Bruggink, teori yang berhasil dikonstruksikan itu dapat saja berupa teori hukum yang empiris, tetapi sangat mungkin juga berupa teori hukum yang kontemplatif. Para doktor yang condong kepada pendekatan kebutuhan profesi boleh jadi akan cenderung memilih pengkonstruksian teori hukum yang empisis, sedangkan para doktor yang memilih pendekatan akademis cenderung ke arah pengkonstruksian teori hukum yang kontemplatif.(***)


Catatan: Tulisan di atas adalah cuplikan dari makalah yang pernah disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional ”Resiprokalitas Pascasarjana Program Doktor Ilmu Hukum dengan Lembaga Negara di Bidang Hukum,” diselenggarakan oleh Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang, 14-16 Juli 2011.


 

 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close