People Innovation Excellence

TANGGAPAN ATAS USULAN PENGHAPUSAN PAJAK DIVIDEN

Oleh BATARA MULIA HASIBUAN (Maret 2017)

Pada hari Kami, tanggl 6 April 2017, di Republika.Co.Id.,  Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio, mengusulkan kepada Ditjen Pajak agar pajak dividen dihapus, untuk investor dengan saham maksimal Rp 10 juta. BEI mengusulkan pajak dividennya nol,  supaya orang jadi pengen nabung saham. Ia mencontohkan, di Jepang, warga yang nabung saham dalam jumlah kecil, pajak dividennya nol. Sebab, dengan dihapusnya pajak dividen, diharapkan bisa mendongkrak investor dari segmen rumah tangga. Saat ini, lanjut dia, ada 64 juta rumah tangga di Indonesia. Dengan penghapusan pajak dividen, ia menargetkan tambahan 1 juta investor. Kalau sejuta rumah tangga ikut, bisa Rp 10 triliun sebulan dalam satu tahun, saving bisa pindah ke investasi.[1]

Sesuai dengan berita di atas, penulis berkeinginan untuk membahas atau menanggapi usulan penghapusan pajak dividen untuk investor dengan saham Rp. 10 juta. Sementara itu, kita ketahui pajak-pajak mempunyai tujuan untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam kas negara, dengan maksud untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, ini disebut bahwa pajak mempunyai fungsi budgeter[2] Melihat usulan BEI tersebut, penulis akan mengkaji dari 2 (dua) sisi, yaitu dari sisi teori daya pikul dan sisi pajak yang mempunyai fungsi mengatur (regulerend).

Dari sisi teori gaya pikul usulan penghapusan tersebut, tentunya akan bertentang, karena sebagaimana diketahui dalam teori ini  setiap orang wajib membayar pajak sesuai dengan daya pikul masing-masing. Daya pikul menurut Prof. De Langen, adalah kekuatan seseorang untuk memikul suatu beban atas apa yang tersisa, setelah seluruh penghasilannya dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer diri sendiri beserta keluarga.[3]

Selanjutnya dari  sisi pajak yang mempunyai fungsi regulerend , pajak di sini lain bukan semata-mata untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara, melainkan juga dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu.[4]

Dengan adanya fungsi regulerend, pemerintah dapat mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Melalui fungsi regulerend, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan yang letaknya di luar bidang keuangan dan lebih ditujukan pada sektor swasta.[5] Contohnya meggiring sejuta rumah tangga untuk ikut berinvestasi dengan nabung saham. Seperti diketahui fungsi regulerend yang lebih ditujukan pada sektor swasta, negara-negara seperti halnya Indonesia, Malaysia, Singapura, dan negara-negara yang berada di kawasan Asia Tenggara lainnya, merupakan negara-negara yang berada dalam tahap perkembangan atau yang pada umumnya disebut dengan negara berkembang. Salah satu hal yang sering menjadi pembahasan dalam negara-negara tersebut adalah perkembangan dalam bidang perekonomian. Dalam hal pengembangan sektor ekonominya negara-negara ini dapat mengandalkan pada berbagai macam cara baik pengembangan ekonomi yang berpusat pada pemerintah maupun pengembangan ekonomi yang berpusat pada sektor swasta.[6]

Rochmat Soemitro mengutip tulisan dari Soemitro Djojohadikoesomo yang ditulis pada 1954 yang berjudul Fiscal Policy, Foreign Exchange Control and Economic Development : “Fiscal Policy sebagai suatu alat pembangunan harus didasarkan atas kombinasi tarip pajak-pajak yang tinggi, baik pajak-pajak langsung maupun pajak-pajak yang tidak langsung, dengan suatu fleksibilitas yang berada dalam sistim pengenaan pajak-pajak berupa pembebasan pajak-pajak dan insentif-insentif atau dorongan-dorongan untuk merangsang private investment sebagaimana diharapkan”[7]. Salah satu cara yang dapat ditempuh dalam rangka pengembangan ekonomi melalui sektor swasta adalah dengan berinvestasi pada pasar modal.

Melihat pada teori gaya pikul di atas, apa yang diusulkan oleh BEI untuk penghapusan pajak dividen untuk investor dengan saham maksimal Rp 10 juta, tidaklah tepat, karena setiap orang wajib membayar pajak sesuai dengan penghasilan yang diperolehnya, dalam hal ini dividen saham. Namun, untuk meningkatkan jumlah investor, target yang diharapkan 1 (satu) juta investor atau rumah tangga, bisa Rp 10 triliun sebulan dalam satu tahun, saving bisa pindah ke investasi, penghapusan pajak dividen ini dapat dibenarkan atau dapat dilaksanakan, sesuai pajak berfungsi mengatur (regulerend). Penghapusan pajak dividen ini dapat dilaksanakan dengan dilakukannya perubahan kebijakan atau peraturan oleh pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh Menteri Keuangan, dengan dasar pertimbangan usulan dari BEI, khusus untuk untuk investor dengan saham maksimal Rp 10 juta, guna meningkatkan investor dalam pasar modal. Fungsi regurelend ini telah dilaksanakan oleh Menteri Keuangan  dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan. Penghapusan pajak ini  dengan memperhatikan kondisi  tertentu dan pertimbangan dari Menteri Keuangan dibuat keputusan untuk penghapusan pajak.

Saya sependapat dengan yang disampaikan oleh  Soemitro Djojohadikoesomo, bahwa suatu fleksibilitas yang berada dalam sistem pengenaan pajak-pajak berupa pembebasan pajak-pajak dan insentif-insentif atau dorongan-dorongan untuk merangsang private investment, dapat diwujudkan dengan fungsi regulerend. Dengan demikian, pemerintah, atau tepatnya Menteri Keuangan, dapat menyetujui usulan dari BEI, agar target 1 (satu) juta investor yang menabung saham dapat tercapai, dengan membuat kebijakan atau keputusan yang baru terhadap penghapusan pajak dividen dimaksud. (***)


 

 

[1] http://republika.co.id/berita/ekonomi/korporasi/17/04/06/onz5q6383-bei-usulkan-pajak-dividen-dihapus

[2] Rochmat Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 1988, hlm. 2.

[3] Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, Andi, Yogyakarta, 2009, hlm. 41.

[4] Rochmat Soemitro, Op.Cit., hlm. 3..

[5] Rochmat Soemitro, Pajak dan Pembangunan, Eresco, Bandung, 1974, hlm. 9.

[6] Harry Wirahman, Analisis Rumusan Kebijakan Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan Atau Di Daerah-Daerah Tertentu (Catatan Kritis Atas Peraturan Pemerintah No.62 Tahun 2008) www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/125138…pd

[7] Rochmat Soemitro, Pajak Ditinjau dari Segi Hukum, Eresco, Bandung, 1991, hlm. 9.


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close