People Innovation Excellence

SEKILAS TENTANG PERDEBATAN KONSEPSI PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN TINDAK PIDANA

Oleh Ahmad Sofian (Maret 2017)

 Sistem hukum pidana yang selama ini diikuti berorientasi pada si pembuat kejahatan saja (criminal oriented). Argumentasi ini tercermin dari unsur-unsur hukum pidana terdiri atas perbuatan melawan hukum, kesalahan, dan pidana. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Herbert L. Packer (1986) di dalam bukunya yang terkenal yaitu : “The Limit of The Criminal Sanction” menyebutkan ada tiga masalah utama dalam hukum pidana yang sering disebutnya sebagai the three concept atau the three basic problem yaitu :

  1. What conduct shoul be designated ad criminal
  2. What setermination must be made before a person can be found to have commited a criminal offense,
  3. What should be done with perosn who are found to have commited criminal offenses

 Rumusan Packer di atas menunjukkan, bahwa ada tiga hal pokok dalam hukum pidana yaitu: tindak pidana, kesalahan dan pidana. Ketiganya menjadi bagian yang penting dalam melihat hukum pidana secara menyeluruh. Menurut Jan Remmelink (2003) tindak pidana dipahami sebagai perilaku manusia (gedringen) yang mencakup ‘berbuat’ dan ‘tidak bebuat’, yang diperbuat dalam situasi dan kondisi yang dirumuskan oleh undang-undang dan diancam sanksi pidana. Berbeda dengan Jan Remmelink dan Chairul Huda (2011), mereka mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan atau serangkaian perbuatan yang dilekatkan sanksi pidana. Chairul Huda tidak menekankan perbuatan yang dirumuskan pada undang-undang, namun pada perbuatan dan sanksi pidana.

Robinson memberi makna filosofi tentang tindak pidana yang diartikannya untuk menentukan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang di lakukan. Aturan hukum mengenai tindak pidana berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang dalam hukum pidana dan perbuatan-perbuatan lain di luar kategori tersebut. Dengan adanya aturan mengenai tindak pidana dapat dikenali perbuatan-perbuatan yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan. Dengan kata lain, aturan tersebut menentukan perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Hal ini diperkuat juga oleh William Wilson (2003) yang mengatakan perbuatan yang dilarang tersebut akan bisa mengingatkan masyarakat untuk mencegah perbuatan yang tercela, karena adanya ancaman pidana yang diberikan jika perbuatan tersebut dilakukan.

Konstruksi hukum pidana  saat ini dihadapkan pada pelaku sebagai pihak yang melanggar hukum atas aturan hukum melawan negara sebagai “pemilik” aturan hukum yang dilanggar, segala keinginan korban yang berkaitan dengan penyelesaian tindak pidana yang menimpa dirinya menjadi kurang bahkan tidak diakomodasi. Padahal, secara moral yuridis telah disepakati bahwa keadilan hukum diberikan kepada orang atau pihak yang terlanggar haknya. Lembaga peradilan, termasuk peradilan pidana, adalah lembaga yang memberikan jaminan tegaknya keadilan yang ditujukan kepada orang atau pihak yang terlanggar hak-hak hukumnya, yang disebut sebagai korban. Namun, pada kenyataannya putusan lembaga peradilan seringkali mengecewakan perasaan korban mengenai keadilan yang didambakan.

Perkembangan lainnya dalam hukum pidana adalah dengan memperhatikan aspek victim rights sehingga tanggung jawab pelaku tidak terbatas pada kriminalitas, tetapi juga memberikan ganti rugi (restitusi) untuk pemulihan mental, fisik, seksual dan psikis korban. Ketentuan tentang victims rights ini sejalan dengan resolusi PBB No. 40/34 tahun 1985 tentang Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, yang mana mendefinisikan victim rights sebagai berikut:

“person who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of climinal laws operative within member states, including those laws proscribing abuse of power.”

Selanjutnya, resolusi PBB juga memberikan tekanan kepada korban tindak pidana. Artinya, negara tidak hanya memberikan perhatian kepada pemberian hukuman yang berat kepada pelaku tetapi juga memberikan perhatian yang tinggi kepada korban. Resolusi PBB juga diberikan beberapa opsi untuk memberikan perlindungan pada korban tindak pidana eksploitasi seksual yaitu dengan memberikan perlakuan yang adil pada korban;  pembayaran ganti rugi (restitution); jika perlu tidak mampu, negara memberikan santunan (compensation) finansial kepada korban, keluarga; Bantuan materil, medis, psikologis dan sosial pada korban (Muladi, 1995).

Menurut Barda Nawawi Arief (1998), dalam hukum pidana positif yang berlaku pada saat ini perlindungan korban lebih banyak merupakan “perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak langsung”. Artinya, berbagi rumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini pada hakikatnya telah ada perlindungan in abstracto secara langsung terhadap kepentingan hukum hak asasi korban. Konsep perlindungan korban kejahatan menurut Barda Nawawi Arief  (2007) dapat dilihat dari dua makna yaitu :

  1. Dapat diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana “berarti perlindungan HAM atau untuk kepentingan hukum seseorang”;
  2. Dapat diartikan sebagai “perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana” (identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitas), pemulihan keseimbangan batin (antara lain, dengan permaafan) pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan sebagainya.

Dari dua makna perlindungan korban di atas pada dasarnya ada dua sifat perlindungan yang dapat diberikan secara langsung oleh hukum. Pertama; bersifat preventif, yaitu berupa perlindungan hukum tidak menjadi korban tindak pidana dan kedua; bersifat represif yaitu berupa perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana.

Terkait dua sifat perlindungan korban yang dapat diberikan oleh hukum pada hakikatnya perlindungan yang bersifat preventif dan represif memegang peranan yang sama pentingnya dalam memberikan perlindungan terhadap masyarakat, mengingat masyarakat yang menjadi korban tidak boleh begitu saja dibiarkan menderita tanpa ada upaya perlindungan apapun dari negara. Pada lingkup pencegahan, hukum harus ditekankan pada pencegahan masyarakat melakukan tindak pidana.

Perlindungan Korban Versus Hak-Hak Korban

Konsep perlindungan hak korban berbeda dengan ajaran restorarive justice (Eva Achjani Zulfa, 2011) yang menghendaki keterlibatan masyarakat dalam penyelesaian masalah pidana. Tanggung jawab pelaku kepada korban tindak pidana merupakan perkembangan dari hukum pidana dengan pendekatan viktimologi. Menurut Andi Matalatta (1995), pengertian korban yang mendasari lahirnya kajian viktmologi, pada awalnya hanya terbatas pada korban kejahatan, yaitu korban yang timbul sebagai akibat dari pelanggar terhadap ketentuan hukum pidana materiil.

Dalam kaitan ini, J. E. Sahetapy (1995) secara rinci menguraikan paradigma viktimisasi dalam beberapa golongan yaitu :

  1. Viktimisasi politik, dalam kategori ini dapat dimasukkan aspek penyalahgunaan kekuasaan, perkosaan hak asasi manusia, campur tangan angkatan bersenjata diluar fungsinya, terorisme, intervensi, dan peperangan lokal atau dalam skala internasional;
  2. Viktimisasi ekonomi, terutama dimana ada kolusi antara penguasa dengan pengusaha, produksi barang-barang yang tidak bermutu atau yang merusak kesehatan, termasuk dalam aspek ini pencemaran terhadap lingkungan hidup dan rusaknya ekosistem;
  3. Viktimisasi keluarga, seperti perkosaan di dalam keluarga, penyiksaan terhadap anak atau isteri dan menelantarkan kaum manula (manusia lanjut usia) atau orang tuanya sendiri;
  4. Viktimisasi medis, dalam hal ini dapat disebut penyalahgunaan obat bius, alkoholisme, malapraktek di bidang kedokteran, eksperimen kedokteran yang melanggar (ethik) peri kemanusiaan;
  5. Viktimisasi yuridis, dimensi ini cukup luas, baik yang menyagkut aspek peradilan (dan lembaga permasyarakatan) maupun menyangkut dimensi deskriminasi perundang-undangan, termasuk menerapkan “hukum kekuasaan”.

Argumentasi lain yang mengedepankan perlindungan hukum terhadap korban adalah berdasarkan argumen kontrak sosial (social contract argument) dan argumentasi solidaritas (social solidarity argument) (lihat: Muladi, 2005). Kontrak sosial menyatakan bahwa negara boleh ‘memonopoli’ seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi (eigenriching). Oleh sebab itu, bilamana terjadi kejahatan dan membawa korban, maka negara juga harus bertanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban tersebut.

Argumen kedua menyatakan bahwa negara harus menjaga warga negaranya dalam memenuhi kebutuhannya atau apabila warga negaranya mengalami kesukaran, melalui kerjasama dalam masyarakat mengunakan berbagai sarana yang disediakan oleh negara. Hal ini dapat dilakukan malalui peningkatan pelayanan dari pengaturan hak. Bedasarkan pemikiran ini, dapat dikatakan: perlindungan terhadap korban merupakan wujud salah satu kewajiban pemerintah kepada warganya, karena korban mempunyai hak untuk mendapat perlindungan. Bentuk dari perlindungan korban dapat berupa pemberian ganti rugi oleh si pelaku tindak pidana kepada korban, yang disebut sebagai “restitusi”; dan ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada korban. Restitusi dan kompensasi merupakan bagian yang penting untuk dijadikan kebijakan dalam upaya mengurangi penderitaan korban.

Jenis kerugian yang diderita oleh korban, bukan saja dalam bentuk fisik seperti: biaya-biaya yang telah di keluarkan untuk penyembuhan luka fisik, kemungkinan hilangnya pendapatan, ataupun keuntungan yang mungkin akan diperoleh, tetapi mencakup juga kerugian yang bersifat non-fisik yang sukar bahkan mungkin tidak dapat dinilai dengan uang.

Konsep perlindungan korban selama ini dipandang sebagai hak hukum yang pada hakikatnya adalah bagian dari masalah perlindungan hak asasi manusia, sehingga pada dasarnya konsep hak asasi manusia dapat dipandang sebagai hak hukum. Apabila konsep hak asasi manusia dipandang sebagai hak hukum, maka ada dua konsekuensi normatif, yaitu :

  1. Kewajiban bagi penanggung jawab (pihak yang dibebani kewajiban) untuk menghormati/tidak melanggar hak atau memenuhi klaim yang timbul dari hak; dan
  2. Reparasi jika kewajiban tersebut dilanggar atau tidak dipenuhi (lihat: Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2006).

Terkait penerapan perlindungan hak-hak korban kejahatan sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi dapat menggunakan ajaran utilitarian dari Jeremy Bentham. Ajaran Bentham menitikberatkan pada kemanfaatan yang terbesar bagi jumlah yang terbesar. Jika perlindungan atas korban kejahatan menggunakan ajaran Bentham, aka jangkauannya tidak terbatas pada korban kejahatan saja, tetapi juga bagi sistem penegakan hukum pidana secara keseluruhan. (***)


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close