People Innovation Excellence

MEMBERI TAFSIR TENTANG PENGUATAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH

Oleh SHIDARTA (Maret 2017)

Beberapa waktu lalu saya berkunjung ke Kantor Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kebetulan saat itu, Ketua DPD Irman Gusman baru saja terkena kasus dugaan tindak pidana korupsi. Saya waktu itu diminta hadir mewakili Rektor BINUS dalam posisinya sebagai salah satu pegurus Forum Rektor. Kasus dugaan korupsi terhadap pucuk pimpinan DPD tersebut terlihat sangat memukul secara psikologis para wakil rakyat yang duduk di DPD karena hal ini menyangkut kredibilitas lembaga tinggi negara tersebut di mata publik.

Lembaga ini diperkirakan akan makin terpuruk seiring dengan konflik internal di dalamnya. Masalah masa jabatan ketua apakah lima atau dua setengah tahun, bakal menghabiskan energi dewan ini daripada berfokus diri menunjukkan kinerjanya di mata seluruh bangsa. Tidak dapat dipungkiri akhirnya ada wacana untuk membubarkan saja DPD.Terlepas dari problematika internal yang memprihatinkan tersebut, apakah benar lembaga ini layak untuk dilemahkan, apalagi dibubarkan?

Saya lalu teringat bagaimana dulu pada tanggal 19 Desember 2012 pernah ikut memberikan keterangan ahli di hadapan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Perkara ini kemudian bermuara pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 104/PUU-X/2012. Putusan tersebut sempat memunculkan harapan besar bagi penguatan posisi DPD. Dari perbincangan dengan pimpinan DPD menjelang lima tahun kemudian, ternyata [seperti dugaan saya] yang tertangkap adalah nuansa pesmistis, bahwa putusan MK ini rupanya tidak punya pengaruh signifikan apapun. Peran DPD tetap “dikerdilkan” dalam pecaturan politik di Tanah Air.

Pada tanggal 19 Desember 2012 tersebut, saya diminta memberikan keterangan tentang hermeneutika hukum. Keterangan saya sengaja tidak berangkat dari teori penafsiran konstitusi yang tegolong “state of the art” seperti diungkapkan oleh Philip Bobbit atau Nicole Cress. Saya sengaja menukik ke konsep yang lebih tua, yang justru ditemukan dalam hukum positif kita, seperti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Terlepas bahwa penafsiran konstitusi berbeda dengan penafsiran perjanjian keperdataan, namun filosofi dari penafsiran teks itu pada hakikatnya sama.

Kiranya, dalam kesempatan ini, setelah putusan MK Nomor 104/PUU-X/2012 memasuki usia ke-5 tahun, ada baiknya juga merefleksikan kembali pemikiran-pemikiran yang pernah disampaikan lima tahun yang lalu itu. Saya akan mengutip persis apa yang disampaikan pada persidangan tanggal 19 Desember 2012 itu seperti paparan di bawah ini:


Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi,

Berbeda dengan para ahli yang telah dihadirkan sebelumnya dalam pemeriksaan perkara permohonan ini, saya memang dimintai pandangannya dari perspektif yang berbeda. Sekalipun demikian, tidak tertutup kemungkinan nanti akan ditemukan sejumlah kesamaan pandangan saya dengan beberapa ahli yang telah mengungkapkan pandangannnya.

Saya ingin menyampaikan pandangan saya seputar pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini dengan menggunakan optik hermeneutika hukum. Hermeneutika berkaitan dengan teori tafsir-menafsir. Istilah “tafsir” biasanya dipakai dalam arti yang lebih sempit oleh para ahli hukum, yaitu sebagai salah satu metode penemuan hukum (rechtsvinding). Mereka biasanya membedakan antara penafsiran dan konstruksi. Beberapa ahli yang lain, ada yang menambahkannya dengan metode eksposisi.

Saya tentu tidak bermaksud untuk menjelaskan secara detail metode-metode penemuan hukum itu. Lagi pula, sebelumnya sudah ada ahli yang menyinggung berbagai jenis penafsiran itu, seperti penafsiran gramatikal, historis, dan teleologis. Pada kesempatan ini, saya justru ingin melengkapinya dengan memetakannya secara filosofis berkaitan dengan jenis-jenis penafsiran itu, serta mencoba menyoroti penafsiran-penafsiran itu pada perihal permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.

Majelis Hakim yang kami muliakan.

Peraturan perundang-undangan adalah format hukum positif yang paling eksplisit di dalam mengejawantahkan hukum. Istilah hukum positif atau ius constitutum, pada hakikatnya berarti “ius” yang sudah dibentuk atau dikonstatasi oleh manusia (baca: penguasa). Namun, tatkala gerakan kodifikasi muncul di bawah kekuasaan imperium Romawi, “ius” yang dimaksud di sini sebenarnya tidak datang atau dicari dari mana-mana, melakinkan langsung diabstraksikan dari pola-pola perilaku yang memang sudah berlangsung lama dan berkelanjutan di dalam masyarakat. Hasil abstraksi ini lalu diformulasikan secara rasional menjadi klausula-klausula peraturan. Peraturan tertulis ini dengan demikian tidak hanya memiliki kekuatan keberlakuan (Geltung) yuridis, tetapi juga sekaligus keberlakuan sosiologis dan filosofis. Pada masa ini, berarti belum ada pertentangan atas pertanyaan apakah: “law is created” atau “law is discovered”? Sebab, hukum yang dibentuk adalah hukum yang ditemukan. Itulah sebabnya, kodifikasi hukum Romawi misalnya, berhasil bertahan sampai ratusan tahun tanpa mengalami “gugatan” berarti dari segi pemaknaan.

Barulah setelah masyarakat berkembang makin kompleks, kesenjangan antara apa yang tertulis dan apa yang dipraktikkan mulai menjadi persoalan. Untuk itu, kelahiran hermeneutika hukum sebagai teori (atau bahkan ada yang menyebutkannya sebagai ilmu) tafsir-menafsir itu tadi, menjadi alat bantu yang penting dalam memberi makna terhadap hukum. Sekalipun hasil dari pemaknaan itu selalu diupayakan untuk bisa disebut objektif, ternyata tidak bisa dihindari bahwa posisi berdiri atau sudut pandang subjektif penafsir (interpretor) akan selalu ikut bermain dalam memaknai teks (interpretandum). Tokoh hermeneutika seperti Schieiermacher, misalnya, berbeda posisi berdirinya dengan Dilthey, Heidegger, Gadamer, dan Ricoeur.

Penganut legisme, atau yang lebih populer disebut positivis hukum, biasanya menghindari diskusi tentang penafsiran di luar penafsiran gramatikal. Harus diakui, bahwa penafsiran gramatikal memang mendasari siapapun yang akan membaca sebuah teks undang-undang. Biasanya, langkah awal penafsiran ini sejalan dengan asas umum di dalam penemuan hukum yang disebut asas sens clair. Menurut asas ini, apa yang sudah jelas-jelas tertulis, tidak bisa dimaknai berbeda. Kalau misalnya, sudah tertulis bahwa “Mahkamah Konstitusi adalah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,” maka tidak bisa ditafsirkan berbeda, misalnya, menjadi Mahkamah Konstitusi Malaysia atau Singapura.

Persoalannya adalah, bagaimana jika apa yang ditulis itu tidak cukup jelas maknanya karena ada ambiguitas makna di situ. Dalam konteks demikian, maka para pengemuka doktrin penemuan hukum memberi kesempatan untuk dilakukan penemuan hukum dengan menggunakan metode penafsiran atau metode konstruksi. Kendati demikian, tidak ada satu model/jenis metode penafsiran yang secara memaksa wajib untuk dipakai lebih dulu (diprioritaskan) daripada model/jenis lainnya. Hanya saja, jika kita ingin mencermati doktrin-doktrin di dalam hermeneutika hukum, sebenarnya ada panduan yang bisa diambil dari domain hukum perjanjian dalam lapangan keperdataan. Doktrin ini menarik karena bisa memandu kita juga di dalam konteks pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar.

Asas sens clair dapat kita temukan dalam Pasal 1342 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Seperti kita utarakan di atas, asas ini memberi landasan bagi penafsiran gramatikal. Namun, bagaimana kalau penafsiran gramatikal tidak mencukupi? Pasal selanjutnya dari titik berangkat asas sens clair itu, yaitu Pasal 1343 KUH Perdata menyatakan bahwa jika kata-kata dalam perjanjian dapat diberikan tafsir beragam, maka harus diutamakan penafsiran mengikuti maksud kedua pelah pihak daripada mengikuti bunyi teks [perjanjian itu]. Di sini terlihat bahwa metode yang disebut penafsiran historis diletakkan pada tempat kedua setelah penafsiran gramatikal. Apakah ini dapat diartikan bahwa penafsiran historis harus diposisikan pada tempat kedua setelah penafsiran gramatikal?

Dalam banyak buku teks yang membahas tentang metode penafsiran konstitusi, misalnya yang ditulis oleh Harry H. Wellington, “Interpreting the Constitution: the Supreme Court and the Process of Adjudication” (New Haven: Yale University Press, 1991) dan Jack N. Rakove (ed.), “Interpreting the Constitution: the Debate over Original Intent” (Boston: Northeastern University Press, 1990), masalah penafsiran historis memang mendominasi diskursus terkait penafsiran konstitusi sebagaimana dicontohkan terjadi di Amerika Serikat. Original intent ditampilkan sebagai tema penting dalam konstitusi, sebenarnya bisa dimengerti karena konstitusi dianggap derivasi terdekat dari pokok-pokok pikiran para pembentuk negara tatkala sebuah negara didirikan. Untuk memahami apa yang dimaksud oleh para pembentuk negara kita, maka diperlukan perspektif historis untuk menjelaskannya.

Pada saat UUD 1945 versi paling awal muncul, posisi bahkan terminologi Dewan Perwakilan Daerah jelas belum ada. Oleh sebab itu, mencari original intent tentang DPD berikut dengan fungsi-fungsinya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dengan mengacu pada konteks tahun 1945, akan sia-sia. Jelas tidak tepat untuk mengidentikkan DPD dengan unsur utusan daerah pada saat itu, walaupun unsur inipun sama-sama masuk di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan demikian, perspektif historis dalam pemaknaan posisi DPD di dalam teks-teks konstitusi harus ditempatkan pada konteks ketika rumusan DPD ini muncul pertama kali dalam pembahasan perubahan UUD 1945.

Di sini terlihat bahwa di luar yang tertulis secara tekstual-gramatikal dan kontekstual-historikal itu, harus ada pemaknaan ketiga yang tidak kalah pentingnya untuk mengisi ruang penafsiran kita dalam memahami keberadaan DPD ini. Pemaknaan ketiga ini adalah penafsiran secara fungsional-teleologikal. Level ini secara kebetulan memang direkomendasikan oleh pembentuk undang-undang, sebagaimana dapat dicermati dalam Pasal 1344 KUH Perdata. Setelah itu, doktrin tentang penafsiran ini masih bisa dilanjutkan ke pasal-pasal selanjutnya sampai dengan Pasal 1350 KUH Perdata.

Jadi, para penafsir di bidang hukum manapun dapat mencermati panduan dalam ranah hukum perjanjian tadi. Sebab, pada dasarnya semua norma hukum positif dapat dilihat sebagai hasil perjanjian kolektif sebagaimana diajarkan oleh teori kontrak sosial.

Majelis Hakim Konstitusi yang kami muliakan.

Saya ingin mencoba mengaitkan pandangan di atas dengan konteks pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 terkait dengan pemosisian DPD.

Apabila kita menggunakan level penafsiran yang pertama, yaitu penafsiran gramatikal, maka kita harus memakai kaca mata yang sinkronik, bukan diakronik. Pendekatan sinkronik itu bersifat a-historis. Melalui pendekatan sinkronik dapat dilihat bahwa sehubungan dengan pembahasan rancangan undang- undang, lembaga DPD tidak dimunculkan di dalam rumusan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, tetapi ia muncul dalam formulasi Pasal 22D ayat (2) UUD 1945. Bagaimana kita harus memberi makna terhadap kedua teks ini?

Bagi para penafsir tekstual-gramatikal, mereka akan lari ke asumsi tentang sifat-sifat norma hukum yang eksklusi, subsumsi, derogasi, dan non-kontradiksi. Artinya, jika kedua teks ini diasumsikan menawarkan makna berbeda, maka harus ada yang ditempatkan pada hierarki lebih tinggi daripada yang lain. Karena Pasal 22D ayat (2) diletakkan lebih akhir (posterior) daripada Pasal 20 ayat (2), maka pasal ini harus diberi artikulasi lebih kuat secara maknawi. Saya ingat sebuah wawancara yang dilakukan oleh media Hukumonline dengan Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H., yang sekarang menjadi guru besar ilmu perundang-undangan dan hakim konstitusi. Wawancara itu dimuat pada tanggal 24 April 2003. Dalam transkrip wawancara yang diberi judul: “Tanpa Pengesahan Presiden, UU Tidak Berlaku” tersebut beliau menyebut tentang kekuatan lebih tinggi dari Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 dibandingkan dengan Pasal 20 ayat (4) karena rumusan ayat (5) itu ditempatkan lebih belakangan dibandingkan dengan ayat (4).

Oleh karena itu pula, penafsir tekstual-gramatikal akan mengatakan bahwa DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,… dst. itu sebagai sebuah lembaga ketiga yang sederajat dengan dua lembaga negara lainnya yang menjalankan proses pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20 UUD 1945.

Memang benar, bahwa pada Pasal 22C ayat (4) jo Pasal 22D ayat (4) UUD 1945 ada disebut-sebut tentang undang-undang organik yang mengatur perihal susunan dan kedudukan DPD, dan pemberhentian anggota DPD. Harus dihindari di sini untuk menerapkan kesesatan penalaran (fallacy) petitio principii, yang mengajak kita berputar-putar. Artinya, jangan sampai terjadi ada undang-undang dimintakan pengujiannya terhadap UUD, tetapi justru UUD mengembalikannya (menunjuk) lagi kepada rumusan undang-undang.

Apabila kita menganggap level penafsiran tekstual-gramatikal demikian belum cukup meyakinkan, maka penafsiran kontekstual-historikal mungkin dapat membantu. Jika menggunakan pendekatan diakronik, harus diakui ada pembelajaran yang pahit diperoleh selama kurun waktu lebih dari 50 tahun Indonesia merdeka, ketika aspirasi kedaerahan tidak mendapat akses yang cukup dalam pengambilan kebijakan publik, yang notabene berpengaruh terhadap mereka. Dimasukkannya Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah dalam Perubahan Ketiga UUD 1945, harus dibaca sebagai penguatan “posisi tawar” daerah yang telah terpinggirkan selama ini. Kehendak inilah yang demikian kuat muncul dalam benak para anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat ketika itu. Semangat dan intensi ini, menurut teoretisi hukum John Austin merupakan sebuah unity of will. Dan, perlu diingat bahwa unity of enforcement entails unity of will.

Kesatuan kehendak (unity of will) dari rakyat Indonesia terhadap wakil-wakil mereka di DPD, sepanjang yang dapat saya amati, sama sekali tidak dalam rangka menuju ke format federalisme. Pokok pikiran pertama Pembukaan UUD 1945 telah menuntun kita untuk tidak sampai terlalu jauh ke arah sana. Koridornya tetap di dalam pokok pikiran negara persatuan. Ujung dari koridor itu disebutkan di dalam pokok pikiran kedua, yaitu hendak menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nah, proses membawa negara persatuan mencapai tujuan mulia keadilan sosial itu tadi dilaksanakan melalui lembaga-lembaga perwakilan. Inilah pesan dari pokok pikiran ketiga. Ditutup kemudian dengan pokok pikiran keempat yang memberi landasan aksiologis dalam kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Rambu-rambu ini jelas sudah dipersiapkan oleh para founding-parents kita.

Saya ingin melanjutkan pada level penafsiran ketiga, yaitu penafsiran secara fungsional-teleologikal. Penafsiran ini berangkat dari keyakinan bahwa setiap lembaga negara yang kita bentuk memiliki fungsi- fungsi yang jelas dan signifikan. Kita pasti sepakat untuk mengatakan bahwa pembentukan undang- undang sampai pada tahap pengawasan atas pelaksanaannya, adalah kegiatan yang serius. Dan, DPD sebagai lembaga negara diberi amanat untuk menjalankan fungsi-fungsi itu. Inilah yang sebenarnya dikehendaki oleh segenap rakyat Indonesia ketika mereka memilih representasi mereka di lembaga DPD. Mereka berharap agar wakil-wakil kedaerahan ini difungsikan seoptimal mungkin. Mereka tidak ingin representasi mereka hanya menjadi simbol semata, sebagaimana pernah terjadi dengan label “utusan daerah” selama 50 tahun dan berlanjut pada sekian tahun terakhir ini pasca-reformasi. Sangat berdosa rasanya kita membiarkan ekspektasi ini kandas begitu saja dan membuat mereka skeptis pada setiap kali diadakan pemilihan umum dengan dana milyaran terbuang.

Majelis Hakim Konstitusi yang kami muliakan.

Dengan meminjam kembali panduan doktrinal yang ada dalam ranah hukum perjanjian, maka pasal berikutnya yaitu Pasal 1345 KUH Perdata, meminta kita untuk memilih model penafsiran yang paling selaras dengan sifat dalam ranah hukum ini. Mahkamah Konstitusi adalah penafsir resmi konstitusi, maka tentu dengan segala kebijaksanaannya akan mampu menetapkan makna posisi DPD dalam kedua undang-undang yang diujikan, yang paling proporsional dihubungkan dengan pasal-pasal UUD secara tekstual-gramatikal, kontekstual historikal, dan fungsional-teleologikal.

Saya sendiri menyimpulkan bahwa dari ketiga level penafsiran itu, pada hakikatnya tidak ada keraguan untuk menyatakan bahwa kedudukan dan fungsi DPD harus lebih diperkuat daripada yang selama ini berjalan.

Demikian pandangan saya sebagai ahli. Semoga ada manfaatnya untuk membantu pemahaman kita bersama. Terima kasih.



Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close