People Innovation Excellence

PUTUSAN MK SERTA SOLUSI PERMASALAHAN PASAL 2 AYAT (1) DAN PASAL 3 UU TIPIKOR

Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Februari 2017)

Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan pengujian undang-undang (judicial review) terhadap Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 (UU No. 20 Tahun 2001), melalui Putusan No. 25/PUU-XIV/2016. Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa frase “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sebelumnya pada tahun 2007, Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan pengujian atas pasal yang sama dengan menyatakan menyatakan bahwa pengertian melawan hukum materil dalam fungsi yang positif pada Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut timbul perbedatan apakah adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat menyelesaikan permasalahan dalam penerapan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999?

Sebelum dikelauraknnya Putusan Mahkamah Konitusi tersebut telah terdapat beberapa permasalahan hukum terkait penerapan kedua pasal tersebut. Jika ditelaah lebih lanjut maka akar permasalahan tersebut adalah aparat penegak hukum yang melihat unsur-unsur pada kedua pasal tersebut secara parsial tanpa menarik unsur kesalahan dan kausalitas antara satu unsur dengan unsur yang lainnya, sebagaimana dapat dilihat dalam tabel matriks putusan pengadilan di bawah ini:

Putusan Terdakwa

Perkara

Mahkamah Agung No. 334 K/Pid.Sus/2009 John Darwin Bin H. Malison, Menyalahgunakan kewenangan sebagai Kepala Bagian Keuangan Sekretariat Daerah Kabupaten OKU Selatan yang merugikan negara sebesar Rp. 743.649.816,-
Mahkamah Agung No. 936K/Pid.Sus/2009

 

ST. Widagdo ST. Widagdo merupakan Direkur Utama PT Giri Jaladhi Wahan (PT GJW) yang melakukan penandatangan perjanjian kerja sama pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari dengan Pemerintah Kota Banjarmasin yang kemudian diselewengkan dalam pelaksanaannya sehingga mengakibatkan Pemerintahan kota Banjarmasin kehilangan pendapatan uang hasil dari pengelolaan Pasar Sentra Antasari sebesar Rp.7.650.143.645,-
Mahkamah Agung No. 97 PK/Pid.Sus/2012

 

Sudjiono Timan

 

Sudjiono Timan selaku Direktur Utama PT (Persero) Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (PT BPUI) memberikan pinjaman kredit dan perjanjian kerjasama dengan Kredit Asia Finance Limited, Festival Company Inc maupun Penta Investment Ltd yang merugikan keuangan negara sebesar  USD 178,942,801,93 dan Rp.369.446.905.115,56.
Mahkamah Agung No. 417 K/Pid.Sus/2014

 

Hotasi D.P. Nababan Hotasi D.P. Nababan selaku mantan Direktur Utama PT (Persero) Merpati Nusantara Airlines (PT MNA) melakukan tindak pidana korupsi karena melakukan tindakan penyewaan pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 yang menimbulkan kerugian pada keuangan negara sebesar USD 1 juta.
Mahkamah Agung No. 787 K/PID. Sus/2014

 

Indar Atmanto selaku Direktur Utama PT Indosat Mega Media (PT IM2)

 

Melakukan tindak pidana korupsi karena menyelewengan perjanjian kerja sama antara PT IM2 dengan PT Indosat, Tbk (PT I) untuk mempergunakan frekuensi 3G milik PT I sehingga pelayanan akses internet PT IM2 dapat lebih cepat, bergerak, dan mencapai segmen pengguna residensial yang merugikan keuangan negara sebesar Rp1.358.343.346.674,–


1. Penerapan Subjek Tindak Pidana

Dalam praktiknya Pasal 2 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1999 diterapkan kepada subjek tindak pidana korupsi dari pihak non pegawai negeri atau pihak swasta,[1] sedangkan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 diterapkan kepada subjek tindak pidana korupsi dari pihak pegawai negeri atau pejabat umum. Seperti dalam Putusan Mahkamah Agung No. 334 K/Pid.Sus/2009, dimana Majelis Kasasi membatalkan putusan Pengadilan Negeri Baturaja No. 146/Pid.B/2007/ PN.BTA. yang menyatakan terdakwa terbukti bersalah telah memenuhi dakwaan primair Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Ayat (2) (3) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah UU No. 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, untuk kemudian mengadili sendiri dengan menyatakan bahwa terdakwa terbukti telah memenuhi dakwaan subsidair Pasal 3 Jo Pasal 18 Ayat (1) (2) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah UU No. 20 Tahun 2001.

Terkait dengan penerapan Pasal 2 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1999, tersebut terjadi kerancuan karena penerapan seharusnya pasal tersebut tidak dapat diterapkan kepada pihak non pegawai negeri atau kepada pihak swasta. Akan tetapi dalam praktiknya sebaliknya bahkan perkembangannya pasal ini pun diterapkan untuk menjerat korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi. Penerapan tersebut tidak bisa lepas dari pengertian pegawai negeri dalam UU No. 31 Tahun 1999 sendiri. Terjadi perluasan makna pegawai negeri dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 31 Tahun 1999 yang meliputi orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Inilah yang kemudian ditarik untuk diterapkan oleh Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No. 936K/Pid.Sus/2009 dan Putusan Mahkamah Agung No. 787 K/PID. Sus/2014.

  1. Penerapan Unsur Melawan Hukum

Permasalahan terkait dengan penerapan unsur melawan hukum pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 terletak pada permasalahan apakah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku dapat dikualifikasikan sebagai unsur melawan hukum dalam pengertian hukum pidana. Pengertian melawan hukum “wederrechtelijk“ dalam hukum pidana sering dicampuradukan dengan pengertian pengertian melawan hukum “onrechmatigedaad” dalam hukum perdata. Akibatnya perbuatan dipandang tercela dalam masyarakat yang seharusnya masih dalam area hukum perdata kemudian dikualifikasikan sebagai melawan hukum dalam hukum pidana. Contohnya dalam Putusan Mahkamah Agung No. 936K/Pid.Sus/2009 dan Putusan Mahkamah Agung No. 417 K/Pid.Sus/2014.

Dualisme pandangan mengenai hal ini terlihat dalam dua putusan Mahkamah Agung berikut. Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 97 PK/Pid.Sus/2012 Majelis Hakim pada tingkat Peninjuan Kembali menyatakan bahwa perbuatan terdakwa Sudjiono Timan selaku Direktur Utama PT BPUI kaitan dengan kegiatan perusahaan dalam transaksi bisnis dengan Kredit Asia Finance Limited, Festival Company Inc maupun Penta Investment Ltd dan penggunaan dana Rekening Dana Investasi masih dalam koridor hukum perdata. Oleh karenanya Majelis Hakim menyatakan bahwa perbuatan terdakwa tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana. Hal ini berbeda dengan Putusan Mahkamah Agung No. 417 K/Pid.Sus/2014, yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 36/PID.B/TPK/2012/JKT.PST yang membebaskan terdakwa Hotasi D.P. Nababan untuk kemudian mengadili sendiri dan menyatakan bahwa perbuatan terdakwa terdakwa Hotasi D.P. Nababan selaku Direktur Utama PT MNA telah secara melawan hukum yang telah menyewakan pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 747-500.

  1. Penerapan Unsur Memperkaya Diri Sendiri atau Orang Lain atau Badan

Akibat dari perumusan pasal yang luas tersebut perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan menggunakan sarana melawan hukum mengakibatkan banyak perbuatan yang seseungguhnya tidak masuk dalam kualifikasi tindak pidana korupsi dapat dimasukan dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999. [2] Salah satunya dalam Putusan Mahkamah Agung No. 787 K/PID. Sus/2014.

Selain itu, dalam unsur memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi secara tersirat terdapat unsur kesalahan. Akibatnya ketika Pentutut Umum atau Hakim membuktikan unsur ini harus dapat dibuktikan bahwa adanya niat jahat dari dari seorang pegawai negeri atau pejabat umum yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi tersebut. Akan tetapi hal tersebut tidak dibuktikan sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung No. 417 K/Pid.Sus/2014, Majelis Hakim Kasasi tidak membuktikan apakah perbuatan terdakwa Hotasi D.P Nababan yang memperkaya orang lain atau korporasi yang dilakukan secara melawan hukum tersebut dilakukan dengan keinsyafan untuk memperkaya orang lain atau badan.[3]

  1. Penerapan Unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Khusus untuk keuangan negara yang ditempatkan sebagai modal BUMN dan BUMD, apakah bisa dikualifikasikan sebagai pegawai negeri yang merupakan subjek tindak pidana korupsi, terdapat dualisme pandangan hal ini. Dalam Mahkamah Agung No. 97 PK/Pid.Sus/2012, tidak mengkualifikasikan sebagai subjek tindak pidana korupsi hal ini berbeda dengan Putusan Mahkamah Agung No. 417 K/Pid.Sus/2014.

Pada akhirnya dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 yang memberikan penafsiran baru atas ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 dengan menghapuskan frase “dapat” dengan alasan tidak memberikan kepastian hukum justru karena bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak sejalan dengan UU No. 30 Tahun 2014 tidak menyelesaikan permalasahan atas penerapan atas Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999. Hal tersebut dikarenakan permasalahan dalam praktik atas penerapan kedua pasal tersebut bukan terletak pada ada tidaknya frase dapat merugikan keuangan negara atau tidak. (***)


REFERENSI:

[1] Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT Citr ditya Bakti, 2002)., hlm. 29.

[2] Oemar SenoAdji, “Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Penerapannya” dalam Albert Hasibuan, ed., Dua Guru Besar Berbicara tentang Hukum (Bandung: Alumni, 1985), hlm. 50.

[3] Shinta Agustina, et al., Penjelasan Hukum Unsur Melawan Hukum Penafsiran Unsur Melawan Hukum Dalam Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Judicial Sector Support Program, 2016), hlm. 69.


 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close