People Innovation Excellence

TEORI KRIMINOLOGI DALAM KONTEKS

Oleh SHIDARTA (Februari 2017)

Dalam buku yang ditulis oleh J. Robert Lily dkk (Criminological Theory: Context and Consequencies, 2006), terdapat suatu pernyataan yang menarik tentang konteks dan konsekuensi teori kejahatan. Di situ dinyatakan bahwa pandangan suatu warga terhadap kejahatan ternyata ikut berubah mengikuti perkembangan masyarakatnya.

Sebagai contoh, pada awal ketika kaum emigran pertama kali menginjakkan kaki mereka di bumi Amerika, pelaku kejahatan dianggap sebagai titisan setan. Teori-teori kriminologi pada masa itu memperkuat pandangan ini, bahwa pelaku kejahatan memiliki cacat biologis. Cacat ini bisa diturunkan ke generasi berikutnya. Untuk mencegah penurunan secara genetis tersebut, maka hukuman yang pantas untuk pelaku kejahatan ini antara lain dengan sterilisasi. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka akan terjadi evolusi yang mengarah ke arah keterbelakangan (atavistic reversions).

Ketika kaum emigran makin banyak yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan, maka faktor kemiskinan ikut diperhitungkan. Pelaku kejahatan dianggap sebagai manusia-manusia inferior, yang lahir dari lingkungan yang buruk. Namun, kemiskinan adalah nasib yang harus diterima dan tidak boleh dijadikan alasan pemaaf bagi para pelaku kejahatan itu. Hukuman yang pantas bagi mereka antara lain dengan “balas dendam” sesuai bobot kejahatannya. Misalnya, jika membunuh maka akan balas dibuntuh. Jika mencuri, dipotong saja tangannya.

Peran negara dipandang penting untuk mencegah kejahatan berkembang menjadi meluas. Muncul pemikiran bahwa penyebab kejahatan adalah karena lemahnya pengawasan masyarakat (teori kontrol sosial). Pengawasan ini bisa datang dari negara, tetapi juga bisa dari masyarakat. Apabila masyarakat makin permisif, maka kejahatan juga akan makin merajalela.

Ada juga pemikiran bahwa kejahatan terjadi karena para pelaku memahami definisi kultural yang mendukung tindakan kejahatan itu. Misalnya, di satu daerah di Bali, ada komunitas yang berpendapat bahwa mengemis adalah pekerjaan yang wajar dan tidak melanggar hukum. Beberapa komunitas di sejumlah daerah di Indonesia juga menerima pandangan bahwa prostitusi dan seks bebas bukanlah perilaku ilegal. Alhasil, menurut teori asosiasi diferensial ini, aspek budaya setempat dapat berkontribusi menjadi faktor kriminogenis.

Bisa juga terjadi ada alasan lain seseorang melakukan kejahatan, yakni karena tersingkirkan dari persaingan. Orang berbuat jahat karena gagal dalam persaingan terbuka. Teori ini disebut teori tekanan-anomie (anomie-strain). Pengangguran yang terjadi karena ketidakmampuan mereka untuk berkompetisi merebut peluang di pasar kerja, bisa memberi tekanan akibat tersingkir dari upaya memperoleh kesuksesan. Kehilangan harapan untuk meraih masa depan yang lebih baik adalah bentuk frustasi yang sangat potensial mendorong orang berbuat jahat.

Tentu masih ada puluhan teori lain yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Semua berusaha memberikan penjelasan mengapa orang sampai terjerumus untuk melakukan kejahatan. Di antara teori-teori yang disinggung di atas, menjadi sangat menarik untuk mencermati perilaku koruptif dari para pejabat di negeri ini. Sejumlah menteri yang notabene lahir dari keluarga terhormat dan berpendidikan tinggi, tercatat sebagai narapidana kasus korupsi. Hal yang sama menimpah beberapa hakim agung dan hakim konstitusi kita. Anggota DPR, DPRD, juga gubernur dan bupati/walikota juga tidak ketinggalan ikut memperpanjang barisan koruptor-koruptor tadi. Teori kriminologi apa yang mampu menjelaskan fenomena ini?

Ada satu bagian dari buku dari karya Lilly yang disebutkan di atas, yang membahas tentang teori kejahatan kerah putih. Di situ diungkapkan bahwa pada tahun 1968, President’s Commission on Law Enforcement and Administration of Justice di Amerika Serikat membuat kesimpulan bahwa publik cenderung tidak peduli pada kejahatan bisnis atau bahkan bersimpati kepada pelaku pelanggaran yang tertangkap. Kesimpulan ini menarik, karena boleh jadi kejahatan koruptif besar-besaran yang kerap menimpah pejabat kita, berangkat dari kecenderungan ini.

Hal ini dapat terjadi karena pelaku kejahatan berkelas tersebut memiliki modalitas untuk menciptakan opini. Penguasa yang korup, apabila tertangkap akan dengan gampang menciptakan opini bahwa dirinya telah dikriminalisasi atau penangkapan terhadap dirinya adalah hasil rekayasa politik. Jika perlu, ia menggelar konferensi pers, menyebar berita via media sosial, atau mengajak massa pendukungnya melakukan aksi di jalan-jalan.

Fenomena seperti ini membuat para koruptor yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, masih “memiliki muka” untuk tetap tegak berdiri di hadapan warga masyarakat. Sebagian masyarakat menganggap orang-orang ini bukan figur sembarangan (baca: terhormat), sehingga mereka juga akan mudah melupakan kejahatan yang telah dilakukan si koruptor. Tidak mengherankan bila para koruptor yang telah menjalankan hukuman, dapat dengan mudah diterima kembali di masyarakat, bahkan bisa dengan gagah tampil menjadi narasumber di televisi atau pembicara di seminar.

Satu hal yang kita takutkan bahwa “asosiasi-diferensial” memang tengah melanda bangsa kita. Kali ini tidak lagi terkukung pada batas-batas kultural yang sempit, melainkan sudah meluas menembus koridor suku, etnis, agama, dan profesi. Betapa mengerikannya jika hal ini memang nyata adanya! (***)


 

 

 

 

 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close