People Innovation Excellence

LOGIKA PENJUDI DALAM SEJARAH PERPOLITIKAN INDONESIA

Oleh SHIDARTA (Desember 2016)

Para penjudi punya logika sederhana sehingga selalu menjadi alasan pembenar untuk terus berjudi. Bagi mereka, kendati ratusan kali menderita kekalahan, yang diingat adalah momentum bahagia kemenangan, walau frekuensi monumental ini terhitung jari. Tampaknya demikianlah sejarah perpolitikan Indonesia! Kerapkali romantisme ‘kemenangan’ sesaat dipakai berulang-ulang tanpa kekritisan.

Kita coba ambil satu contoh untuk menunjukkan romantisme tanpa daya kritis seperti ini diperagakan dalam masyarakat kita dewasa ini. Para pendukung rezim Orba di bawah Soeharto kerap mendengung-dengungkan swasembada pangan, kurs dolar yang stabil, dan keamanan terjamin, sebagai tolok ukur kejayaan masa lalu yang tak ada bandingannya sampai saat ini. Tentu persepsi seperti ini sah-sah saja jika dipakai sebagai memori perpolitikan, namun belum tentu tepat jika dijadikan sebagai bagian dari argumentasi ilmiah.


isih.enak.jamanku.to2


Mari kita telisik sejenak! Sejarah memang mencatat Indonesia pernah dinyatakan berhasil mencapai swasembada beras (jadi tak seluruh jenis pangan) pada era tahun 1980-an. Prestasi ini bisa dikatakan “luar biasa” jika dibandingkan dengan statistik ekonomi kita di akhir pemerintahan Orla, tatkala iinflasi pernah mencapai 650%. Namun, hal ini sekaligus memperlihatkan bahwa rezim Orba membutuhkan waktu 20 tahun untuk mencapai swasembada beras itu. Jika dikalikan dengan masa jabatan kepresidenan, artinya Soeharto perlu empat kali masa kepemimpinan. Beruntung pada masa itu, presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi ditunjuk oleh MPR. Masa 20 tahun jelas kurun waktu yang terlewat panjang sebenarnya untuk menilai prestasi seorang presiden. Sayangnya, prestasi swasembada beras ini ternyata tak bisa dipertahankan terlalu lama, bahkan sebelum rezim ini terpuruk dan kolaps pada tahun 1998. Apa penyebabnya? Dalam analisis yang disampaikan oleh Kahirunnisa Rangkuti (lihat link di bagian referensi), dinyatakan bahwa prestasi ini dicapai dengan cara memobiliasi massa petani melalui instruksi-instruksi yang sangat ketat. Departemen Pertanian membuat berbagai langkah pengamanan yang menjadikan petani tidak punya banyak pilihan, seperti soal pemilihan benih, penggunaan pupuk, dan lain-lain. Artinya, swasembada beras berhasil dibangun melalui strategi ‘top-down’ yang tidak sampai pada tahap menyejahterakan petani. Buktinya, begitu instruksi dan tekanan-tekanan itu dilonggarkan, rekor yang dipandang gemilang itu kembali melorot.

Tentu, ada situasi perekonomian global yang juga tak selamanya ramah terhadap Indonesia. Gaya berusaha yang mengandalkan fasilitas negara dan jaringan nepotisme, jelas tidak sehat. Itulah sebabnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dijadikan peraturan yang wajib ada jika Indonesia saat itu ingin ditolong oleh institusi moneter/keuangan internasional semacam IMF dan Bank Dunia.

Tolok ukur lain adalah kurs dolar. Kurs yang stabil juga tak selalu tepat jika dikaitkan dengan prestasi penuh rezim Seoharto. Ada kondisi-kondisi luar negeri, seperti ada tidaknya krisis regional dan internasional yang ikut mempengaruhi. Rezim Orba terbukti tidak mampu membangun benteng pertahanan yang kuat tatkala krisis-krisis ini datang sebagai batu ujian, sehingga akhirnya bangunan perekonomian kita runtuh. Kurs dolar terhadap rupiah menglamai fluktuasi yang luar biasa dan cenderung memburuk di akhir kekuasaan Orba. Pada tahun 1997, kurs satu dolar AS masih bertahan di angka Rp2.300, namun meroket sampai menggapai level Rp17.000 kurang dari satu tahun kemudian. Salah satu penyebabnya adalah lemahnya pengawasan negara terhadap hutang luar negeri, terutama yang dilakukan oleh pihak swasta, yang pada saat itu mencapai 85% dari komposisi hutang Indonesia. Repotnya, sebagian besar dari hutang-hutang itu berjangka pendek, pula.

Bagaimana dengan keamanan nasional? Secara umum mungkin kita dapat mengatakan bahwa kondisi keamanan relatif terjaga untuk ukuran satu Indonesia yang sangat luas. Namun, sejarah juga mencatat bahwa di era Soeharto juga terjadi instruksi beliau untuk melakukan “penembakan misterius” yang diakui sendiri oleh Soeharto dalam biografinya sebagi upaya ‘shock therapy’ mengatasi gangguan keamanan yang meresahkan masyarakat. Artinya, Soehato tahu operasi ini dan dilakukan atas restunya sebagai presiden. Untuk memperkuat daya goncangan itu, mayat-mayat korban penembakan ini sengaja dibiarkan di pinggir-pinggir jalan. Tidak ada estimasi angka yang berapa banyak korban, terlepas ada yang mengklaim sampai 10.000 orang.

Lebih menarik lagi jika kita cermati kurun waktu terjadi kebijakan pemerintah memerintahkan tindakan penembakan misterius (sering disingkat ‘petrus’) tersebut. Kebijakan ini dikeluarkan pada tahun 1983 sampai sekitar 1985. Ini adalah era swasembada beras yang tadi diklaim sebagai prestasi gemilang di era Orba. Memang ironis jika swasembada yang dianggap indikator  kesejahteraan petani (bahkan masyarkat) itu, pada saat bersamaan juga terjadi gangguan keamanan serius yang menuntut pemerintah melakukan tindakan di luar skema negara hukum dan pelanggaran serius hak asasi manusia. Catatan buram pelanggaran hak asasi manusia tentu tidak hanya itu. Kasus-kasus besar yang menggoncangkan dan tak terselesaikan tuntas, seperti Tanjung Priok (1984),Santa Cruz (1991), Marsinah (1993), Udin (1996), Kudatuli (1996), Trisakti (1998) terjadi di era kepemimpinan Orba.

Tentu saja, tidak fair jika semua catatan buruk saja yang dialamatkan ke rezim Orba. Tulisan ini tidak berkonotasi untuk menganulir semua prestasi itu. Di era Soeharto, posisi Indonesia di kancah ASEAN pernah sangat dihormati. Garis perpolitikan yang diemban oleh beraneka parpol dan ormas pernah berhasil diajak ke jalur ‘mainstream’ guna mendukung stabilitas nasional. Itu semua bisa dipandang sebagai prestasi yang luar biasa untuk ukuran bangsa sekelas Indonesia. Jadi, pasti ada prestasi tertentu yang bisa diklaim sehingga mampu membuat rezim ini bisa bertahan lebih dari tiga dasawarsa.

Tulisan ini ingin menegaskan bahwa catatan-catatan ini semua tak seharusnya membuat kita menggunakan ‘logika penjudi’ dalam menyikapi sejarah. Kesesatan bernalar karena menggunakan ‘a dicto simpliciter ad dictum secundum quid” (berangkat dari pernyataan yang terlalu menyederhanakan persoalan), bisa membuat kita larut dalam romantisme semu. Persis seperti pamflet di belakang truk pada foto di atas, yang ironisnya diartikulasi pula oleh banyak pihak yang berlabel figur-figur publik.

Romantisme semu seperti ini mirip dengan kenangan orang-orang tua kita tentang era Hindia Belanda, yang mereka sebut sebagai ‘zaman normal’. Tidak ada angka tahun yang pasti kapan zaman ini sebenarnya terjadi. Ada yang menyebutnya era sebelum resesi ekonomi dunia (sebelum tahun 1929). Ada yang justru menyebut era sesudah itu, yakni tahun 1930-an sampai Indonesia merdeka. Jadi, jangan-jangan seluruh era penjajahan Belanda bisa disebut zaman normal. Dan, zaman setelah kita merdeka adalah zaman abonormal. Kendati itu zaman normal, ketika harga-harga stabil, keamanan relatif terjaga, tentu kita sebagai bangsa yang merdeka tidak berharap zaman persis seperti itu kembali lagi saat ini.

Jadi, setiap zaman memiliki tantangannya sendiri-sendiri. Romantisme ala kaum penjudi tidak tepat kita pakai dalam menyikapi kondisi negara kita saat ini. Kita membutuhkan pemimpin-pemimpin bangsa kita yang tahu di mana ia berpijak saat ini dan secara visioner tahu pasti ke mana ia seharusnya melangkah membawa gerbong bangsa ini. Rezim Orba di bawah Soeharto telah menyelesaikan tugas sejarahnya. Ada catatan-catatan baik dan kelam di era ini. Itulah bukti sejarah. Kita bisa berdebat tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Bangsa yang besar memang tidak boleh melupakan sejarahnya, tetapi satu hal yang pasti, ia juga tidak boleh berjalan mundur mengulangi sejarah itu bermodalkan romantisme belaka, tanpa daya kritis! (***)

 


REFERENSI:

Sumber foto: <http://suplentonkjaya.com/kitab-kejadian/2013/maret-2013/piye-isih-enak-jaman-ku-too/>

Khairunisa Rangkuti, “Swasembada Beras Pada masa Orde Baru: Sebuah perspektif dari sisi Enforcement Negara,” <http://www.kompasiana.com/nisarangkuti/swasembada-beras-pada-masa-orde-baru-sebuah-perspektif-dari-sisi-enforcement-negara_5500ae248133116619fa7b90>, akses 22 Desember 2016.


SHD

 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close