People Innovation Excellence

ARGUMENTUM AD MISERICORDIAM

Oleh SHIDARTA (Oktober 2016)

Pada tanggal 12 Oktober 2016, terdakwa Jessica Kumala Wongos tampil di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan disaksikan puluhan ribu pasang mata pemirsa televisi di seluruh Indonesia. Ia mulai membaca nota pembelaan (pledooi)-nya dengan begitu melankolis. Sesekali ia menyeka air mata dan cairan dari hidungnya. Ia memanfaatkan kesempatan pembacaan nota pembelaannya itu tidak hanya untuk menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak bersalah, melainkan juga menyisipkan “serangan balik” ke pihak keluarga korban. Saya transkripkan cuplikan dari apa yang dibacakan oleh Jessica pada hari itu:

“… Tidak pernah terlintas di pikiran saya kalau Mirna datang dari keluarga yang siap menekan dan mengintimasi siapapun yang mereka percaya telah berbuat hal yang buruk walau tanpa kejelasan yang pasti. Begitu lambat saya berpikir, apakah mereka menjadi jahat karena kehilangan Mirna atau apakah mereka kehilangan Mirna karena mereka jahat. Bagaimanapun juga saya tidak membunuh Mirna, jadi seharusnya tidak ada alasan untuk  memperlakukan saya seperti sampah. Saya mengerti kesedihan mereka dan sayapun merasa sangat kehilangan, tapi saya juga dituduh membunuh. Yang Mulia. Saya tak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan ini dengan kata-kata. Sebelum kejadian saya tidak mendapatkan firasat apapun yang menunjukkan kalau hari itu akan mengubah hidup banyak orang. Semua hal yang saya lakukan dan yang tidak saya lakukan sudah dibesar-besarkan untuk seluruh warga Indonesia menghakimi saya. Semua tuduhan kejam berdasarkan kebetulan yang tidak saya mengerti dan membuat semua orang percaya bahwa saya seorang pembunuh. Keluarga saya dipojokkan dan kami dbuat sangat menderita. Yang Mulia, Sulit untuk menjelaskan apa-apa yang benar-benar saya rasakan saat kejadian ini. Saya panik tapi bingung harus berbuat apa. Apakah benar ini gara-gara kopi? Tapi satu hal yang saya tahu dan saya yakinkan: saya tak menaruh racun di kopi yang diminum Mirna dan Hani. Seringkali saya berpikir, apa ada hal yang bisa saya lakukan lebih baik di hari itu untuk mengubah semuanya. PIkiran ini membuat saya sangat sedih dan tertekan. Dalam waktu yang cukup lama saya tak bisa berupaya untuk membela diri. Walaupun kenyataan hidup saya sangat mengerikan, saya yakin kalau Tuhan mendengar doa saya. Dalam hal ini doa orang benar yang tertindas…”

Menjadi pertanyaan di benak banyak orang: apakah Jessica membacakan nota pembelaan yang dibuatnya sendiri. Persis seperti Bung Karno yang menulis pembelaannya di ruang tahanan zaman Belanda dan kemudian diterbitkan menjadi naskah utuh “Indonesia Menggugat’?

Ternyata tidak! Dalam acara di TV-One tanggal 16 Oktober 2016 (pukul 21:00) penasihat hukum Jessica Kumala Wongso, yaitu Otto Hasibuan mengaku bahwa nota pembelaan yang dibacakan oleh kliennya itu disiapkan oleh para advokat dari kantor hukumnya. Konon ada 4.000 halaman ketikan yang mereka siapkan dan sebagian tulisan itulah yang dibacakan oleh terdakwa di hadapan majelis hakim. Jadi, seperti pengakuan Otto, ungkapan retoris penuh makna dari Jessica: “Apakah mereka menjadi jahat karena kehilangan Mirna atau apakah mereka kehilangan Mirna karena mereka jahat,” ternyata dirumuskan oleh tim penasihat hukum untuk tinggal dibacakan oleh terdakwa.

Nota pembelaan merupakan hak terdakwa yang biasanya dipenuhi ungkapan emosi yang mengharukan. Jadi, di dalam persidangan kasus-kasus hukum, khususnya hukum pidana, terjadi drama kemanusiaan yang menarik. Di sini jaksa penuntut umum dan terdakwa/penasihat hukum tidak hanya berusaha mengerakkan olah pikirnya terkait rumusan rasional dari pasal-pasal dalam undang-undang, tetapi juga olah rasa terkait penderitaan korban dan/atau ketakutan warga masyarakat akibat perbuatan terdakwa versus penderitaan terdakwa karena dijadikan pesakitan hukum secara tidak adil. Bila terdakwa bersikeras dirinya tidak bersalah, maka ia akan berusaha sekuat tenaga menunjukkan bahwa dirinya telah terzalimi akibat salah tuduh. Karena itu ia layak untuk dibebaskan. Jika terdakwa mengaku bersalah, maka ia akan menunjukkan penyesalannya dan janjinya untuk mengubah diri, sehingga tidak pantas dihukum berat. Tentu ada kemungkinan lain, yaitu jika terdakwa mengaku telah melakukan perbuatan namun dengan alasan yang dapat dibenarkan. Untuk itu ia akan berusaha menunjukkan bahwa ada situasi dan kondisi tertentu yang membuatnya harus melakukan perbuatan pidana tersebut. Dengan demikian, ia layak untuk dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

Apapun ekspektasi terdakwa, selalu saja nota pembelaan berisi nada untuk meyakinkan hakim bahwa dirinya patut “dikasihani” karena telah dijadika pesakitan hukum. Intinya terdakwa ingin menunjukkan bahwa ada ketidakadilan apabila dirinya sampai harus dipidana; atau kalaupun sampai harus dipidana maka jangan juga terlalu berat sanksi hukumannya.

Dalam penalaran, dikenal satu kesesatan yang disebut argumentum ad misericordiam. Pola penalaran ini disebut sesat karena membenarkan suatu argumen atas dasar rasa iba. Seharusnya rasa kasihan tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu argumen. Lalu, apa bagusnya hakim harus mendengar langsung pembacaan nota pembelaan terdakwa? Bukankah hal ini akan menggiring hakim kepada kesesatan argumentum ad misericordiam?

Ternyata inilah salah satu keunikan dalam penalaran hukum. Penalaran ini tidak semata-mata logis, tetapi juga harus etis. Dimenasi etis inilah yang membuat tolok ukur persidangan yang disebut fair harus juga memberi tempat pada hal-hal yang a-logis itu. Atas dasar itulah maka hakim akan memutus dengan mendasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Dengan perkataan lain, hakim harus memutus secara sah dan meyakinkan!

Sebelum sampai ke diktum, putusan hakim biasanya mencantumkan faktor-faktor yang meringankan bagi terdakwa. Misalnya, hakim mengatakan bahwa terdakwa adalah tulang punggung keluarganya, sehingga terdakwa layak untuk diberi keringanan karena “kasihan” pada nasib keluarga yang ditinggalkannya. Seperti dalam kasus Jessica di atas, terdakwa mengatakan bahwa keluarganya juga sangat sedih dan tertekan kejadian ini.  Mereka patut “dikasihani” karena mereka telah mendapat stigma sebagai pembunuh dari rangkaian kebetulan yang dibesar-besarkan.

Oleh sebab itu, argumentum ad misericordiam jelas bukan sesuatu yang berkategori sesat dalam kaca mata hukum, khususnya dalam hukum pidana. Apa yang sesat dalam penalaran ilmu-ilmu pada umumnya, ternyata tidak sesat dalam penalaran hukum [pidana] itu. Rasa kasihanlah yang membuat hakim kemudian mencantumkan faktor-faktor yang meringankan sebagai faktor reduktif untuk diktum putusan. Faktor ini kemudian diperbandingkan dengan faktor-faktor pemberat yang cenderung ekstensif untuk diktum putusan, Antara jaksa penuntut umum dan penasihat hukum pasti mengambil posisi berdiri yang berbeda.  Pada saat pembacaan tuntutan, jaksa penuntut umum kasus Jessica mengatakan tidak ada sama sekali faktor peringan tersebut. Sebaliknya, jaksa ingin menunjukkan betapa bahayanya jika Jessica sampai bebas atau lepas dalam persidnagan ini.

Persoalannya akan menjadi rumit apabila hakim justru tidak kunjung berhasil diyakinkan, baik oleh terdakwa/penasihat hukum maupun oleh jaksa penuntut umum, termasuk dari upaya untuk minta dikasihani atau sebaliknya. Dalam hal ini doktrin mengajarkan agar hakim harus cenderung untuk bersikap lebih menguntungkan terdakwa. “In dubio pro reo” bahwa dalam keadaan ragu-ragu, hakim dianjurkan untuk bersikap lebih menguntungkan terdakwa. Selanjutnya tinggal kita cermati dari persidangan terdakwa Jessica Kumala Wongso ini, apakah argumentum ad misericordiam ini memainkan peranannya secara signifikan di dalam penalaran hukum majelis hakim tersebut. (***)


SHD

 


Published at : Updated
Leave Your Footprint
  1. Selamat Malam,

    Saya Syarafina Business Law 2018 ingin menanyakan terkait nota pembelaan Jessica Wongso. Apabila Jessica membuat nota pembelaannya sendiri dapat membuat kesan yang lebih baik kepada Majelis Hakim dibandingkan nota pembelaan tersebut dibuat oleh tim pengacaranya? Mengingat nota pembelaan dapat membuat keyakinan hakim bisa berubah dan dapat melakukan reduktif terhadap diktum putusan.

    Terima Kasih.

    • Dalam hukum acara di Indonesia, tidak ada kewajiban seseorang untuk menggunakan jasa advokat. Artinya, seorang terdakwa boleh saja membela dirinya sendiri. Dengan demikian, nota pembelaan (pledooi) bisa saja dibuat sendiri. Soal apakah majelis hakim lebih tersentuh secara psikologis dengan pembelaan yang dibuat sendiri atau tidak, tentu jawabannya sangat situasional. Secara umum dapat dikatakan, bahwa terdakwa yang membuat sendiri nota pembelaannya akan lebih menghayati isi pembelaannya itu, sehingga boleh jadi nuansa emosional yang ingin dibangunnya jadi lebih kuat terasa. Berpulang kepada majelis hakim apakah mereka akan tersentuh atau tidak dan akan mempertimbangkannya kemudian di dalam penjatuhan putusan. Penelitian tentang psikologi penjatuhan putusan memang terbilang jarang dilakukan di Indonesia.

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close