People Innovation Excellence

URGENSI SERTIFIKASI HALAL

Oleh ABDUL RASYID (September 2016)

Kata ‘halal’ saat ini menjadi kata yang seksi, mendunia baik di negara Muslim maupun non-Muslim seiring dengan pesatnya bisnis-bisnis yang berbasiskan syariah. Kata ‘halal’ berasal dari kata Arab halla, yahillu, hillan, yang berarti membebaskan, melepaskan, memecahkan, membubarkan, dan membolehkan. Berdasarkan pengertian di atas kata ‘halal’ bisa dipahami sebagai (1) segala sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak dihukum jika menggunakannya; (2) sesuatu yang boleh dikerjakan menurut syarak (Lihat: Aziz dkk, Eksiklopedi Hukum Islam Jilid 2, 2006). Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa kata ‘halal’ dihubungkan dengan kebolehan untuk mengkonsumsi atau menggunakan berbagi macam benda untuk keperluan fisik, baik berupa makanan, obat-obatan, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain.

Muslim yang taat tentunya sangat menjaga kehalalan produk yang dikonsumsinya. Hal ini menandakan kepatuhan dirinya atas ajaran agama yang memang telah mengatur hal tersebut secara jelas. Oleh karena itu, penting bagi umat Muslim jaminan kehalalan produk yang dikonsumsinya. Saat ini telah banyak produk yang beredar, namun tidak semua produk tersebut halal untuk dikonsumsi. Hal ini bisa saja disebabkan proses atau bahan untuk membuatnya terdiri dari berbagai unsur yang diharamkan. Ada banyak kasus tentang hal produk halal, sebagai contoh: di tahun 80-an dan 90-an pernah terdengar ada produk pelezat makanan dan beberapa biskuit yang diragukan kehalalannya karena ditengarai salah satu bahan bakunya dicampur dengan lemak babi atau alkholol. Kondisi tersebut di atas tentu sangat meresahkan umat Islam, terutama di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Oleh karena produk tidak semua produk yang beredar di masyarakat dijamin dan disertifikasi kehalalannya, maka dari itu hal ini perlu diatur secara jelas sehingga tidak menimbulkan keraguan dan keresahan dalam masyarakat.

Di Indonesia untuk menjamin kehalalan suatu produk, pada 2014 pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (selanjutnya disingkat UU-JPH). Diundang-undangkannya UU-JPH ini bertujuan untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk, serta meningkatkan nilai tamah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal (Lihat penjelasan atas UU JPH).

Menurut UU-JPH, yang dimaksud dengan produk adalah: barang dan/atau jasa yang terkait dengan dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat (lihat: Pasal 1 UU-JPH). Semua produk yang telah ditetapkan sebagaimana diatur pada Pasal 1 mesti dijamin kehalalannya. Islam mengajarkan bahwa suatu produk dinyatakan halal jika telah sesuai dengan syariat Islam. Dengan kata lain, produk tersebut tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan menurut ajaran Islam, seperti alkohol, babi, bangkai, darah, dan hewan yang tidak disembelih tidak sesuai dengan syariat Islam.

Lalu pertanyaan yang muncul adalah lembaga apa yang berwenang menyatakan kehalalan suatu produk? Menurut UU-JPH, lembaga yang berwenang menyelenggarakan jaminan produk halal adalah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), yang mana badan ini dibentuk oleh Menteri Agama. BPJPH berwenang untuk: (a) merumuskan dan menetapkan kebijakan jaminan produk halal (JPH); (b) menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH; (c) menerbitkan dan mencabut Sertifkat Halal dan Label Halal pada Produk; (d) melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri; (e) melakukan sosialisasi, edukasi dan publikasi Produk Halal; (f) melakukan akreditasi terhadap Lembaga Penjamin Halal (LPH); (g) melakukan registrasi Auditor Halal; (h) melakukan pengawasan terhadap JPH; (i) melakukan pembinaan Auditor Halal; dan (j) melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelengaraan JPH (lihat: Pasal 6 UU JPH).

Dalam melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk, BPJPH bekerjasama dengan Lembaga Penjamin Halal (LPH). Di sini LPH adalah sebuah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah dan/atau masyarakat; sedangkan dalam melakukan sertifikasi, auditor halal menetapkan kehalalan suatu produk dan akreditasi Lembaga Penjamin Halal. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal tidak hanya menjalin kerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), tetapi juga melakukan koordinasi dengan berbagai instasi/lembaga terkait seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Kesehatan.

Kenyatannya, hingga saat ini BPJPH belum dibentuk oleh Kementerian Agama, padahal UU-JPH mensyaratkan berdirinya BPJPH paling lambat 3 tahun semenjak UU-JPH diundangkan. BPJPH merupakan garda terdepan dalam penyelenggaraan JPH, oleh karena itu, urgensi pembentukkannya menjadi tinggi. Berhubung BPJPH belum dibentuk, maka peran sertifkasi produk halal masih tetap dijalankan oleh MUI. Begitu juga halnya dengan Peraturan Pelaksana (PP) UU-JPH yang sampai saat ini belum juga diterbitkan. Padalah dalam undang-undang ditetapkan secara tegas bahwa peraturan pelaksana UU-JPH selambat-lambatnya harus terbit dua tahun sejak UU-JPH diundangkan. Faktanya sampai saat ini belum ada peraturan pelaksana yang dikeluarkan. Oleh sebab itu, pengaturan halal bisa dikatakan berjalan tidak maksimal dan tidak memberikan kepastian hukum bagi para penyedia produk halal dan konsumen muslim sebagai end-user. Pemerintah, khususnya Kementerian Agama, harus konsisten dan sungguh-sungguh dalam menjalankan amanat yang telah ditetapkan UU-JPH . BPJPH dan peraturan pelaksana UU-JPH harus dipersiapkan jauh-jauh hari sehingga tidak terkesan lahir secara permatur. Sosialisasi UU-JPH juga harus tetap dilakukan secara terus-menerus oleh Kementerian Agama kepada seluruh elemen masyarakat, baik kepada produsen maupun konsumen. Dengan demikian, pentingnya keberadaan sertifikasi halal atas produk yang dipasarkan dan dikonsumsi dapat diketahui oleh masyarakat luas. (***)


ARM


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close