People Innovation Excellence

FILSAFAT TIMUR DALAM PERSPEKTIF BARAT

Oleh SHIDARTA (Juni 2016)

Tatkala kita berbicara tentang filsafat dalam ranah kewilayahan, maka biasanya orang membedakan dua area geografis luas, Barat dan Timur. Umumnya filsafat Barat lebih dekat dengan pengertian filsafat sebagai proses, sementara filsafat Timur cenderung memahami filsafat sebagai produk. Kedua kawasan ini sebenarnya memiliki panorama yang sama menariknya. Namun ironisnya, karena filsafat kerap diajarkan sebagai materi perkuliahan di perguruan tinggi yang menuntut pendekatan ilmiah, kerapkali tolok ukurnya harus berangkat dari fisafat sebagai proses (genetivus objectivus). Akibatnya, diskursus tentang filsafat Timur pun akhirnya harus mengalah mengikuti tolok ukur filsafat Barat.

Untuk membuktikan tendensi di atas, kita dapat melacak pada perjalanan diakronik filsafat Timur, misalnya filsafat India dan China. Beberapa buku membagi sejarah filsafat India menjadi sedikitnya lima periode, yaitu: (1) zaman Weda (2000-600 SM), (2) zaman Skeptisisme (600 SM-300), (3) zaman Puranis (300-1200), (4) zaman Muslim (1200-1757), dan (5) zaman modern (setelah 1757). Lalu, filsafat China dibedakan menjadi: (1) zaman Klasik (600-200 SM), (2) zaman Neotaoisme & Budhisme (200 SM-1000), (3) zaman Neokonfusianisme (1000-1900), dan (4) zaman modern (setelah 1900).

Menjadi pertanyaan, mengapa semua periodisasi di atas harus dinyatakan berakhir di zaman modern? Apa ciri dari modernitas di kedua lingkungan filsafat India dan China. Ternyata jawabannya adalah filsafat Barat. Sesuatu zaman berubah menjadi “modern” setelah terjadi persinggungan yang signifikan dengan Barat dengan segala karakter filosofis di belakangnya. Pada tahun 1757 Inggris masuk ke India bersama dengan misionaris Kristen. Setelah itu terjadi kelahiran kembali (Renaissance) nilai-nilai India yang menuju ke humanisme. Ajaran Hindu dan Islam ditafsirkan kembali secara lebih ilmiah. Pada saat bersamaan muncul gerakan ant-kolonialisme yang berujung pada kemerdekaan India tanggal 15 Agustus 1947. Sementara itu di China, embrio zaman modern juga dimulai ketika Barat masuk, diawali oleh Portugis pada tahun 1514, kemudian diikuti oleh bangsa-bangsa lain. Penjajahan tersebut menimbulkan gerakan untuk mengajak rakyat kembali ke nilai-nilai tradisional China.

Lalu, apa yang disebut dengan filsafat Barat itu dan mengapa nilai-nilai Barat ini dianggap sebagai indikator modernitas? Ada sebuah buku sederhana berjudul “Definition of the Most Basic European Values and Their Significance for Our Modern Society,” (karya dari: Creative Commons, European Values.info). Dalam buku ini digambarkan bahwa bagi masyarakat Barat modern di Eropa, terdapat enam nilai yang dipandang paling fundamental, yang terbangun seperti tangga piramida. Tingkatan mulai dari paling bawah ke atas adalah sebagai berikut: (1) humanisctic thinking, (2) rationality, (3) secularity, (4) rule of law, (5) democracy, dan (6) human rights.  Inilah nilai-nilai modernitas bagi Barat. Keenam tingkatan ini sekaligus menunjukkan langkah-langkah yang diklaim oleh penulis buku ini telah dicapai oleh masyarakat Eropa berupa “humanistic world-view” (Weltanschauung) mereka sekarang ini.


Screen.Shot.2016.06.20.at.10.15.47


Tiga langkah paling awal dipandang sebagai basis dan prasyarat bagi lahirnya paham liberty, equality, dan fraternity. Basis ini muncul setelah Eropa mengalami masa kegelapan dan kekecewaan akibat dominasi Gereja dalam segala aspek kehidupan di abad pertengahan. Landasan filosofi baru yang keluar dari nilai-nilai teosentris ini lalu dibangun sebagai era baru Eropa, yaitu era yang lebih berfokus pada manusia (the human being as focal point). Kemudian terjadilah Revolusi Prancis (1789) yang mempertegas lagi spirit tersebut. Nilai-nilai itu ternyata tidak tampil sekaligus, melainkan bertahap.

Dalam tahap keempat terlihat sebagai langkah yang mengedepankan kebebasan. Manusia adalah mahluk bebas yang berhak menentukan dirinya sendiri (antroposentris). Oleh sebab itu, tidak boleh ada kekuasaan di luar “kesepakatan” manusia dalam menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Negara hukum (rule of law) menjadi tolok ukur segalanya. Konsep negara hukum ini kemudian mengantarkan pada nilai-nilai demokrasi yang ditopang oleh kebebasan plus kesamaan derajat (di hadapan hukum). Pada tingkatan paling akhir kebebasan dan kesamaan derajat itu ditambahkan lagi dengan nilai persaudaraan (fraternity) yang membuka nilai-nilai Barat bagi kemanusiaan yang universal.

Perjalanan filsafat Barat menapaki enam langkah kematangan “humanistic world-view” tersebut berlangsung dalam jangka waktu lama dan mengalami dinamika yang luar biasa, bahkan tragedi kemanusiaan. Kolonialisme dan imperialisme, juga Perang Dunia, terjadi di tengah-tengah klaim keluhuran nilai-nilai Barat itu tadi. Bangsa-bangsa Timur justru mengalami penderitaan atas perilaku kolonialisme dan imperialisme ini. Dengan demikian, pandangan “humanistic world-view” ini sesungguhnya merupakan wacana filosofis yang tidak selalu diamini oleh pandangan pragmatis dalam tataran politik kenegaraan di negara-negara Barat. Bangsa Indonesia, misalnya, juga mengalami penderitaan hebat di luar batas kemanusiaan ketika politik tanam paksa cultuurstelsel diterapkan. Penderitaan berupa pemiskinan rakyat ini menjadi wacana di Parlemen Belanda, sehingga pemerintah liberal di Belanda mencoba berubah haluan dengan merealisasikan “de bewuste rechtspolitiek” (politik hukum secara sadar) yang tetap tak membawa hasil. Lalu, setelah tahun 1890 kaum liberal yang berpaham lebih partikular melakukan pendekatan baru lagi dengan menerapkan politik etis, antara lain dalam wujud pendirian lembaga-lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan seperti Stovia dan Rechtsschool merupakan beberapa institusi pendidikan pertama yang didirikan akibat kebijakan baru ini. Tidak dinyana bahwa dari lembaga-lembaga inilah kemudian lahir tokoh-tokoh penting, para cendekiawan pembebas negeri ini dari penjajahan.

Di sini terlihat bahwa salah satu kelebihan di Barat adalah bahwa nilai-nilai yang disebut humanistic world-view ini secara berkelanjutan memang mengalami proses pematangan yang ditopang melalui mekanisme edukasi publik yang masif. Mekanisme ini merupakan bagian dari strategi kebudayaan mereka, kendati motifnya bisa jadi berbeda ketika berada di tangan kaum kolonialis-imperialis. Edukasi publik yang masif ini tidak terjadi di Timur. Nilai-nilai ketimuran kerap dibiarkan mengalir tanpa harus dikawal melalui strategi kebudayaan, khususnya lewat mekanisme edukasi publik. Dalam situasi seperti ini, tidak bisa dihindari bahwa akhirnya nilai-nilai ketimuran kalah pamor dan akhirnya mengalah dengan nilai-nilai modernitas yang jauh lebih terbuka untuk didiskusikan secara rasional. Institusi pendidikan di Timur kalah jauh kualitasnya dengan lembaga serupa di Barat. Bukan karena peserta didik di Timur kalah cerdas, melainkan karena dunia pendidikan tidak lagi menawarkan pencerahan yang berpijak pada penghormatan pada kebebasan berpikir. 

Harus diakui bahwa kebebasan berpikir selalu berkorelasi erat dengan keterbukaan politik. Setelah banyak negara-negara di Timur keluar dari alam penjajahan, konsolidasi politik di negara-negara tersebut belum kunjung selesai. Setelah merdeka tahun 1947, India mengalami pertumpahan darah yang berujung pada terpecahnya negeri ini menjadi tiga negara (India, Pakistan, Bangladesh). China juga mengalami tragedi serupa dengan perang saudara antara kelompok nasionalis versus komunis. Indonesia tidak terkecuali, mengalami berkali-kali pemberontakan internal dan pergantian tampuk kekuasaan secara abnormal.

Kalaupun kia sempat mengalami kestabilan politik, stabilitas itu bisa jadi semu semata, sebagaimana kita alami semasa Orde Baru. Dalam kondisi demikian, dunia pendidikan tidak terkecuali, juga dikooptasi oleh kepentingan-kepentingan pragmatis penguasa. Di era itu nilai-nilai filosofis bangsa yang ingin dibangun, tidak dilakukan dengan semangat edukasi publik, melainkan dengan semangat penguatan ideologi. Penataran-penataran Pancasila tidak diisi dengan diskusi-diskusi terbuka dan kritis, melainkan dengan indoktrinasi satu arah yang menjemukan. Para cendekiawan alih-alih mencoba untuk keluar dari jebakan ideologis ini, malahan justru asyik masyuk mendekat dengan magnet-magnet kekuasaan yang membebalkan nalar kritis. Kondisi serupa terjadi di banyak negara-negara Timur. Filsafat Timur akhirnya juga terkena imbasnya. Ia menjadi protokol sakral yang kerap dikutip-kutip sebagai referensi, tetapi semua dilakukan dengan kedangkalan, tanpa pernah sempat direfleksikan dengan semangat aktualitas dan kontekstualitas, dengan optik kekinian dan keterdisinian.

Lalu, apakah masih relevan mendikotomikan Barat dan Timur itu sekarang ini? Mengingat pemikiran filosofis, baik datang dari Barat maupun Timur, pada hakikatnya harus bersifat terbuka untuk dapat saling menyapa, maka sangat naif apabila dewasa ini kedua kawasan filsofis ini harus dihadap-hadapkan. Timur bisa belajar banyak dari Barat, khususnya dari dimensi epistemologi, mencakup antara lain logika dan metodologi. Sebaliknya Barat dapat belajar banyak pula dari Timur, terutama dari dimensi aksiologi, tepatnya kebijaksanaan-kebijaksanaan Timur yang tersebar luas, bahkan sampai di pelosok-pelosok daerah (local wisdom). (***)


Screen.Shot.2015.12.21.at.04.40.58


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close