People Innovation Excellence

KETIADAAN PENGATURAN ‘DROIT DE SUITE’ DALAM HAK MORAL PADA UNDANG-UNDANG HAK CIPTA 2014

Oleh: BAMBANG PRATAMA (April 2016)

Semangat pembaruan undang-undang hak cipta tahun 2002 berhasil dilakukan hingga akhirnya diundangkan Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya disingkat UU-HC). Kendati demikian, apakah UU-HC tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum hak cipta yang ideal? Perlu dijelaskan terlebih dahulu, bahwa kedudukan hak cipta adalah subset dan hak kekayaan intelektual. Keberadaan ‘hak’ dari suatu kekayaan intelektual adalah pelindungan hukum atas suatu karya cipta manusia yang bersifat nyata, dihasilkan oleh kreativitas manusia dengan kemampuan tertentu dan dapat dirasakan oleh indera manusia.

Di dalam hukum, kedudukan ‘hak’ pada hak cipta menginduk pada konsep hukum benda. Dalam hal ini Subekti (1984) berpendapat bahwa benda adalah sesuatu yang dapat dihakki adalah pendapat yang masih relevan untuk digunakan hingga saat ini. Selain itu, jika ingin mengetahui prinsip-prinsip dasar dari hak yang melekat pada hak cipta, maka jawabannya ada pada hukum benda. Prinsip droit de suite (hak kebendaan yang mengikuti pemiliknya) adalah salah satu prinsip dasar dari hukum benda khususnya bagi negara penganut sistem hukum Eropa kontinental seperti Indonesia. Atas dasar ini, maka muncul beberapa pertanyaan mendasar tentang prinsip droit de suite ini ada pada hak cipta, yaitu bagaimana pengadopsian prinsip droit de suite pada hak cipta?, serta adakah prinsip droit de suite pada UU-HC 2014 saat ini?

Terkait prinsip moral pada hak cipta, Paul Goldstein (2001) mengatakan bahwa pada mulanya terjadi diskursus konsep hak pada hak cipta antara negara penganut sistem hukum Eropa kontinental dengan negara penganut sistem hukum Anglo Saxon. Bagi negara Eropa kontinental konsep hak pada hak cipta bertolak dari prinsip natural right yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Kant dan Hegel hingga melahirkan konsep natural right dan prinsip moral. Sedangkan bagi negara Anglo Saxon, hak pada hak cipta bertolak dari prinsip utilitarian ajaran Adam Smith dan David Hume hingga melahirkan konsep ekonomi yaitu hak ekonomi. Perbedaan ini secara mencolok dapat dikenali dari perbedaan penamaan tentang hukum hak cipta pada awalnya. Istilah Auterswet atau hak pencipta adalah salah satu contoh hukum hak cipta di negara Eropa kontinental yang lebih menitikberatkan pada prinsip moral. Pada penganut sistem hukum Anglo Saxon, hukum hak ciptanya dikenal dengan sebutan right to copy/copyright yang lebih menitikberatkan pada prinsip ekonomi.

Dengan adanya dua perbedaan konsep di atas, maka pasca kovensi Bern tahun 1920 hak moral dan hak ekonomi disatukan pada hukum hak cipta. Dengan demikian, maka setiap ketentuan hak cipta di negara-negara peserta konvensi Bern pasti mencantumkan hak moral dan hak ekonomi dalam hukum nasionalnya. Secara historis, terlihat jelas bahwa negara penganut sistem hukum Eropa kontinental, seharusnya sangat kuat mengatur hak moral dibandingkan dengan negara penganut sistem hukum Anglo Saxon. Lalu, bagaimana dengan pengaturan hak moral di Indonesia?

Jika kita membandingkan UU-HC tahun 2002 dengan UU-HC 2014, sepertinya pembuat UU-HC 2014 kehilangan jati dirinya sebagai negara penganut sistem hukum Eropa kontinental. Hal ini disebabkan pembuat undang tidak memasukkan sanksi bagi pelanggaran hak moral pencipta. Dengan tidak adanya norma sekunder (sanksi) dari UU-HC 2014, maka pembuat undang-undang juga telah melanggar tujuan dari revisi UU-HC itu sendiri (lihat penjelasan UU-HC 2014) yang bertujuan melindungi pencipta.

Terkait hak moral droit de suite, ada yurisprudensi klasik di Perancis pada tahun 1893. Putusan pengadilan tersebut bermula dari kasus penjualan lukisan milik Jean-François Millet yang berjudul Angeléus oleh kolektor yang bernama M.E. Secrétan. Pada waktu itu, Secrétan mendapat keuntungan yang besar atas penjualan koleksi lukisannya. Di lain pihak, ahli waris Jean-François Millet justru hidup sangat miskin akibat resesi ekonomi di Perancis, sehingga ahli waris dari Jean-François Millet menuntut ke pengadilan dan pengadilan mengabulkan tuntutannya.

Putusan pengadilan ini yang menjadi dasar dari keberlakuan prinsip droid de suite pada hak cipta yang hingga kini dianut di negara Perancis, Italia, Jerman dan Spanyol. Bahkan menurut Reddy (1995) sudah ada lebih dari 26 negara peserta konvensi Bern tahun 1976 yang mengadopsi prinsip droit de suite dalam undang-undang hak cipta negara mereka.

Pengadopsian prinsip droit de suite di negara Anglo Saxon juga dilakukan dengan modifikasi, yang mana mereka menyebutnya dengan prinsip resale right. Dalam berbagai literatur kontemporer tentang hak cipta dikatakan bahwa resale right adalah hak ekonomi yang dimodifikasi dari hak moral pada hak cipta. Pada tingkat operasionalnya prinsip ini adalah hak yang dimiliki oleh pencipta untuk menarik ciptaan dan/atau mendapat keuntungan dari penjualan ciptaannya. Hak ini sifatnya absolut sesuai dengan prinsip hukum benda. Artinya, hak ini tidak dapat disimpangi oleh jual putus (flat-sale). Yang terjadi di Indonesia justru pembuat undang-undang masih memberi ijin jual putus dengan jangka waktu 25 tahun untuk kemudian dikembalikan lagi kepada pencipta (lihat pasal 18 UU-HC). Padahal, jika pembuat undang-undang memang benar-benar ingin melindungi hak pencipta maka seharusnya jual putus dilarang.

Sudargo Gautama (1997) jauh-jauh hari sudah mengingatkan, bahwa dalam UU-HC ada dua falsafah yang mendasarinya, yaitu: falsafah Amerika dan falsafah Eropa. Tetapi, jika melihat UU-HC 2014 rasanya kedua falsafah yang disebutkan oleh Sudargo Gautama tidak diadopsi oleh pembuat undang-undang. Dengan ketiadaan pengaturan hak moral khususnya prinsip droid de suite maka niscaya UU-HC 2014 tidak akan mampu melindungi pencipta. Dengan ketiadaan pelindungan hukum kepada pecipta maka kreativitas yang revolusioner juga tidak akan lahir, karena pada akhirnya yang menikmati keuntungan bukanlah pencipta, melainkan industri dari hak cipta itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh Smiers & Schijndel (2009). Alasannya, secara fundamen bangunan asas hukum dari UU-HC sudah keliru dengan tidak adanya sanksi pada pelanggaran hak moral di dalamnya. Selain itu pada prinsip ekonomi, resale right juga tidak diatur. (***)


 

Screen.Shot.2016.04.30.at.23.15.33


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close