People Innovation Excellence

PEMBANGUNAN GEDUNG PERPUSTAKAAN DPR, MENGAPA DITOLAK?

Oleh AGUS RIYANTO (April 2016)

Tidak ada yang salah dengan perpustakaan. Perpustakaan adalah gudangnya informasi tempat buku-buku bersatu di dalam gedung yang tertata dengan baik dan teratur. Namun, ketika DPR berkeinginan membangun perpustakaan DPR yang megah dan terbesar di Asia Tenggara dengan didanai fantastis Rp 570 miliar, publik bereaksi negatif. Yang menolak juga datang dari internal beberapa anggota DPR itu sendiri dengan dasar bahwa kebutuhan untuk membangun perpustakaan DPR belumlah mendesak. Bahkan, Menteri Sekretaris Negara Pratikno berpandangan bahwa pemerintah tak akan begitu saja mengizinkan proyek tersebut. Hingga saat ini pemerintah belum mencabut kebijakan moratorium pembangunan gedung baru, kecuali bidang pendidikan dan keperluan mendesak. Dengan demikian, maka yang menggelitik untuk dipertanyakan adalah mengapa pembangunan perpustakaan DPR dengan dalih sebagai ikon kebanggaan itu ditolak oleh masyarakat umum?

Muara masalahnya adalah berada pada citra DPR itu sendiri yang minim prestasi, tetapi lebih banyak “wanprestasi” (cedera janji) DPR kepada masyarakat. Konsekuensinya adalah niat itu menuai banyak keraguan publik terhadap kesungguhan DPR. Selama ini yang terjadi rasionalitas di luar batas-batas kewajaran. Yang mengemuka dan menjadi sorotan media sosial adalah perilaku yang tidak seharusnya dilakukan. Mulai dari presensi (kehadiran) yang rendah mengikuti sidang, etika yang tidak mencerminkan jabatan wakil rakyat sebagai yang warga terhormat, target pembuatan UU yang tidak sesuai dengan rencana awal, hingga yang terberat ditangkapnya anggota DPR oleh KPK. Semua adalah bukti-bukti nyata yang tidak mungkin dapat dibantah. Yang menonjol adalah perilaku-perilaku ekonomi dari personal bernada negatif yang tidak sejalan dengan keinginan masyarakat banyak. Stigma ini berangkat dari kekhawatiran bahwa di dalam pembangunan gedung perpustakaan DPR itu berpotensi adanya penyelewengan anggaran sebagaimana yang selama ini terjadi. Sebuah kecemasan massa yang tidak mudah dihapus begitu saja tanpa. Artinya, resisten publik tidak datang tiba-tiba, tetapi belajar dari kontroversi pembangunan gedung DPR sebelumnya. Potret luka lama itu masih membekas.

Di samping itu, habitus anggota DPR, yang menurut laporan media massa, tidak memiliki tradisi kuat mengunjungi perpustakaan yang ada selama ini. Dari data statistik pengunjung perpustakaan DPR, dalam jangka waktu satu tahun dari Maret 2015-Maret 2016, ada 2.176 kunjungan ke perpustakaan. Dari jumlah itu, hanya 169 di antaranya terdaftar atas nama anggota DPR. Sementara itu, pengunjung berstatus tenaga ahli berjumlah 556. Ada pula yang berstatus mahasiswa sejumlah 299 kunjungan, pegawai 469, peneliti 152, perancang UU 46, dan sisanya umum. Pada bulan Februari-Maret 2016, tercatat ada 419 kunjungan yang terdaftar. Dari total itu, kunjungan berstatus anggota DPR  ada 39 kali, sementara itu tenaga ahli 103 kali. Kunjungan mahasiswa 52 kali, pegawai 150 kali, peneliti 27 kali, dan sisanya umum. Dalam rincian data pengunjung perpustakaan DPR tahun 2015, ada total 4.953 pengunjung. Dilihat dari data harian, ada kalanya pengunjung hanya 1 orang, ada pula mencapai 40 orang (http://news.detik.com/berita/3176078/perpustakaan-dpr-lebih-sering-dikunjungi-staf-dibanding-anggota-dewan). Bahkan Kompas (27 Maret 2016) memberitakan bahwa anggota DPR jarang mengunjungi perpustakaan yang ada. Yang datang adalah tenaga ahlinya untuk meminjam buku atau dokumen yang diperlukan. Oleh karena itu membangun perpustakaan DPR yang baru adalah ide yang seharusnya diapresiasi, tetapi lebih dari itu anggota DPR juga harus rajin membaca dan berkunjung ke perpustakaan adalah sebuah pola tindak keseriusan yang dapat memupus kekhawatiran publik akan niatnya itu.

Berangkat dari hal-hal tersebut jelas tergambar bahwa realitas negatif terhadap rencana pembangunan gedung baru perpustakaan DPR sulit untuk ditolak. Kalaupun DPR tetap berkeinginan membangun, maka bangunlah perpustakaan DPR dengan konsep digitalisasi (electronic library atau virtual library). Dalam bentuk ini perpustakaan DPR akan mempunyai koleksi buku-buku dan dokumen lainnya sebagian besar di dalam bentuk format digital dan dapat diakses hanya dengan komputer dengan internet sebagai medium penghubungnya. Para anggota DPR dapat mengakses informasi yang dibutuhkan di mana saja dan kapan saja. Melalui perpustakaan digital ini, maka dana pembangunannya lebih murah dibandingkan dengan harus membangun perpustakaan megah dengan dana besar. Gedung perpustakaan yang megah dan besar bukanlah jalan keluar terbaik untuk meningkatkan kinerja wakil rakyat yang terhormat, jika pada akhirnya nanti tidak dimaksimalisasi penggunanya oleh yang telah membangunnya. (***)


Screen.Shot.2015.08.10.at.06.57.18

 

 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close