People Innovation Excellence

‘TRADITIONAL FISHING ZONE’ DAN ‘ILLEGAL FISHING’

Oleh AHMAD SOFIAN (Maret 2016)

Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) berhasil menangkap basah pelaku illegal fishing dari Tiongkok yang menggunakan sebuah KM Kway Fey 10078 di Perairan Natuna Indonesia. Penangkapan kapal ini tidak berjalan mulus, karena dihalangi oleh Kapal Penjaga Pantai (coastguard) Tiongkok. KP Hiu 11 yang digunakan KKP untuk menyergap KM Kway Fey 10078 hanya berhasil menangkap awal kapal tersebut, sementara itu KM Kway Fey 10078 dibiarkan di laut karena coastguard Tiongkok menghalangi kapal tersebut untuk ditarik oleh KP Hiu 11.

Atas insiden ini, Kementerian Luar Negeri Indonesia telah menyampaikan nota protes kepada Pemerintah Tiongkok, karena nelayan Tiongkok telah melanggar wilayah teritorial Indonesia dan adanya upaya menghalangi petugas KKP oleh coastguard Tiongkok untuk menarik kapal nelayan Tiongkok tersebut. Nota protes ini ditanggapi Tiongkok dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh nelayan mereka berada di traditional fishing zone. Indonesia kembali merespon dengan mengatakan bahwa dalam hukum Indonesia tidak dikenal traditional fishing zone.

Kasus ini menarik untuk dianalisis dengan menggunakan pendekatan hukum pidana terutama jika dikaitkan dengan asas teritorial sebagaimana diatur dalam KUHP. Lalu bagaimana menerapkan asas ini jika tindak pidana tersebut memiliki unsur trans-nasional atau lintas negara?

Asas Teritorial

Asas teritorial diatur dalam Pasal 2 KUHP yang berbunyi: “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia.” Pemakanaan asas teritorial sebagaimana diatur dalam Pasal 2 KUHP tersebut adalah perundangan-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah negara, baik dilakukan oleh warga Indonesia maupun oleh warga asing. Dalam asas ini, titik berat diletakkan pada terjadinya perbuatan di dalam wilayah Indonesia, tidak soal tentang kewarganegaraan pelaku tindak pidana. Asas ini tidak hanya dipakai di Indonesia tetapi di seluruh negara berdaulat menggunakan asas ini.

Bagian penting lain dari asas teritorial ini adalah tentang batasan wilayah Indonesia. Apakah yang dimaksud dengan wilayah teritorial Indonesia? Berdasarkan Pasal 25A UUD 1945 (amandemen) dikatakan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.” Dari undang-undang yang ada, wilayah Indonesia meliputi daratan, udara, dan perairan termasuk pulau-pulau terluar.

Dalam Konvensi Hukum Laut Internasional (Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) yang sudah diratikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 disebutkan bahwa batas laut teritorial adalah hak dari negara pantai untuk menikmati yurisdiksi eksklusif atas tanah dan lapisan tanah dibawahnya sejauh 12 mil laut diukur dari garis dasar sepanjang pantai yang mengelilingi negara tersebut. Negara pantai mempunyai kedaulatan penuh atas laut teritorial, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang dalam pelaksanaannya kedaulatan atas laut teritorial ini tunduk pada ketentuan hukum internasional. Sejalan dengan tersebut, menurut Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, laut teritorial adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.

Dari uraian tersebut di atas jelas bahwa konvensi hukum internasional sudah menetapkan batas-batas kedaulatan suatu negara yaitu sepanjang 12 mil dari batas garis pantai suatu negara, dan batas-batas tersebut tidak bisa dilanggar begitu saja oleh negara lain. KM Kway Fey 10078 menangkap ikan berada kepulauan Natuna yang masih berada dalam wilayah teritorial Indonesia, karena itu, perbuatan KM Kway Fey 10078 dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum laut internasional dan pelanggaran kedaulatan Indonesia.

Illegal Fishing

Illegal fishing masuk dalam kelompok kajahatan transnasional terorganisir (transnational organized crime) sebagaimana diatur dalam UN-TOC (United Nations Transnational Organized Crime) yang sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 2009. Dalam UN-TOC ini, yang dikatakan sebagai kejahatan terorganisir adalah: “suatu kelompok terstruktur terdiri dari tiga orang atau lebih, yang ada pada suatu periode waktu dan yang bertindak secara bersama-sama dengan maksud melakukan satu atau lebih kejahatan serius atau tindak pidana yang ditetapkan menurut Konvensi ini, demi untuk memperoleh, baik langsung maupun tidak langsung, keuntungan finansial atau keuntungan materi lainnya.” Kejahatan pencurian ikan yang masuk dalam wilayah Indonesia yang dilakukan oleh KM Kway Fey 10078 masuk dalam kategori sebagaimana diatur dalam UN-TOC karena itu perbuatan tersebut dapat diadili di Indonesia dengan menggunakan hukum nasional Indonesia.

Pertanyaannya adalah, apakah claim Tiongkok terhadap traditional fishing zone dapat membebaskan nelayan tersebut dari pelanggaran atas dua konvensi tersebut? Atau, apakah traditional fishing zone dapat dijadikan sebagai accused (alasan pemaaf) untuk menghapus kesalahan yang dilakukan oleh KM Kway Fey 10078 ? Kedua konvensi tersebut tidak mengenal terminologi traditional fishing zone sebagaimana yang di-claim oleh Tiongkok. Dalam Pasal 47 (6) dan pasal 51 (1) UNCLOS ada satu terminologi yang memiliki kemiripan dengan “traditional fishing zone” tetapi memiliki makna yang berbeda. Terminologi tersebut adalah “traditional fishing rights”. Traditional fishing rights ini adalah hak-hak nelayan tradisional untuk melakukan penangkapan ikan yang sudah dilakukan secara tradisional dan turun temurun atas teritorial suatu negara tertentu. Hak ini diberikan untuk menghormati hak-hak penduduk asli (indigenous people) untuk menggunakan lautnya sebagai mata pencaharian pokok yang sudah berlangsung puluhan atau ratusan tahun. Namun, jika wilayah tradisional tersebut melampaui teritorial wilayah negara lain, maka harus ada agreement atau persetujuan bilateral lebih dahulu dari negara-negara tersebut agar teritorialnya boleh digunakan oleh nelayan tradisional tersebut. Sepanjang tidak ada agreement atau persetujuan bilateral antar-negara maka hak nelayan tradisional (traditional fishing rights) untuk melaut di teritorial negara lain tetap dikategorikan sebagai perbuatan illegal fishing. (***)


Screen.Shot.2015.05.05.at.07.06.54

 

 

 

 

 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close