People Innovation Excellence

DOKTRIN KAUSALITAS KASUS MIRNA-JESSICA

Oleh AHMAD SOFIAN (Februari 2016)

Menarik untuk mengikuti perkembangan kasus meninggalnya Wayan Mirna Salihin. Awalnya kasus ini biasa saja, namun ternyata pertapakan kasus ini semakin panjang. Bukannya makin terang benderang, tetapi justru yang ditemukan adalah jalan gelap yang tidak berkesudahan. Bahkan para ilmuwan dan praktisi hukum, ahli forensik, kriminolog, ikut nimbrung dalam menganalisis kesahihan metode penyidik dalam menetapkan Jessica sebagai satu-satunya tersangka dalam kasus ini. Saya pun terpanggil untuk ikut nimbrung dalam kasus ini, semoganya saja nimbrungnya saya dalam menelaah kasus ini bukan malah membuat runyam kasus ini, tetapi mencoba mendudukkan kasus ini secara lebih proporsional.

Empat tahun terakhir ini saya berkesempatan menelaah kasus-kasus pembunuhan yang kontroversial di Tanah Air, misalnya kasus pembunuhan Munir dan pembunuhan Nasruddin. Kasus Mirna-Jessica ini memiliki keuikan tersendiri untuk juga dicermati.

Dari sisi hukum, kasus matinya Mirna termasuk kasus yang multifaset, karena banyak aspek hukum yang bisa dijadikan bahan analisis. Setidaknya ada tiga dimensi yang dapat digunakan.  Dimensi pertama dilihat dari sisi hukum pembuktian, dalam hal ini yang dianalisis adalah apakah bukti-bukti sudah cukup untuk membawa kasus ini ke pengadilan. Dimensi kedua adalah jenis delik yang dilakukan oleh pelaku, apakah delik penganiayaan yang menyebabkan kematian, pembunuhan biasa atau pembunuhan berencana, jenis delik ini sangat ditentukan oleh kadar kesalahan pelaku. Dimensi ketiga adalah dimensi kausalitas. Bagian ketiga ini jarang diperdebatkan, karena merupakan bagian yang paling sulit. Kausalitas berada di area empiri dan sekaligus metafisika, yang membutuhkan penalaran dan logika hukum untuk memecahkannya.

Penalaran Hukum

Secara sederhana, penalaran hukum adalah sebuah kegiatan berpfikir untuk menemukan dasar hukum yang paling hakiki dalam suatu peristiwa hukum. Peristiwa hukum ini merupakan suatu perbuatan yang berdimensi hukum atau perbuatan melawan hukum yang melanggar norma hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang masih hidup dan dipatuhi masyarakat. Penalaran hukum memberikan manfaat yang luar biasa bagi kalangan penegak hukum. Bagi polisi dan jaksa penalaran hukum berguna untuk mencari dasar pembenar yang logis bagi suatu peristiwa atau perbuatan melawan hukum dengan tujuan untuk menghindari terjadinya pelanggaran hukum di kemudian hari dan untuk menjadi bahan argumentasi apabila terjadi sengketa mengenai peristiwa ataupun perbuatan melawan hukum tersebut. Sementara itu bagi para hakim penalaran hukum ini berguna dalam mengambil pertimbangan untuk memutuskan suatu perkara.

Dalam sistem hukum apapun baik sistem hukum eropa continental (civil law) maupun anglo saxon (common law) atau bahkan dalam sistem hukum socialist dan syariah, penalaran hukum digunakan untuk menghubungkan antara perbuatan dengan kondisi-kondisi (circumstances) terjadinya perbuatan melawan hukum tersebut, serta menghubungkannya dengan munculnya akibat yang dilarang. Dalam kasus pembunuhan, akibat yang dilarang adalah matinya seseorang, artinya jika tidak muncul kematian, maka perbuatan atau rangkaian perbuatan tersebut bukanlah tindak pidana pembunuhan, meskipun tidak semua kematian adalah disebabkan oleh adanya perbuatan melawan hukum yang mendahulinya, misalnya bunuh diri, atau serangan jantung yang mendadak. Kematian seseorang dipastikan memiliki hubungan kausalitas dengan peristiwa yang mendahuluinya namun peristiwa yang mendahuluinya bisa hanya sebuah syarat (condition), namun bisa juga karena faktor-faktor tertentu. Dalam menentukan syarat atau faktor tertentu inilah diperlukan cara bepikir kausal.

Cara berpikir kausal memiliki tiga fungsi. Pertama, fungsi memprediksikan tentang kemungkinan yang akan terjadi di masa depan dengan memperhitungkan perbuatan atau peristiwa yang terjadi saat ini. Kedua, fungsi melihat kebelakang, yaitu perbuatan-perbuatan atau peristiwa yang di masa lalu yang menimbulkan akibat saat ini. Dan fungsi yang ketiga adalah untuk menemukan aktor atau pelaku yang dapat diminta pertanggungjawabannya atas timbulnya akibat yang dilarang. Dalam konteks hukum pidana, maka fungsi kedua dan fungsi ketigalah yang paling ditekankan karena terkait dengan perbuatan yang sudah dilakukan dan menimbulkan akibat yang dilarang. Dalam kaitan ini akan dicari dan ditemukan perbuatan yang paling masuk akal yang menimbulkan akibat yang dilarang, ini artinya penggunaan penalaran hukum dan logika hukum akan sangat menentukan dalam menemukan keterkaitan (hubungan kausal) antara perbuatan dengan timbulnya akibat yang dilarang oleh hukum.

Doktrin Kausalitas

Dalam literatur hukum pidana, ada tiga doktrin yang paling terkemuka dalam menentukan perbuatan (perbuatan-perbuatan) yang menimbulkan akibat yang dilarang. Doktrin pertama disebut dengan conditio sine qua non, doktrin kedua adalah doktrin yang menggeneralisasi (kerap ditulis: menggeneralisir), dan doktrin ketiga adalah doktrin yang mengindividualisasi (mengindividualisir).

Dari ketiga, doktrin conditio sine qua non merupakan doktrin yang paling tua yang ditemukan oleh mantan ketua Mahkamah Agung Jerman bernama von Buri. Dalam doktrin ini semua faktor wajib diperhitungkan dalam rangka menentukan perbuatan yang menjadi faktor penyebab. Beliau menekankan bahwa ketika satu faktor dihilangkan, maka akan mengganggu faktor-faktor lainnya. Semua faktor adalah setara, artinya tidak ada faktor yang dominan dalam menentukan sebab yang menimbulkan akibat. Jika doktrin von Buri ini yang dipergunakan dalam kasus kematian Mirna, maka tidak bisa hanya satu faktor saja yang memberikan atribusi pertanggungjawaban pidana, tetapi beberapa faktor sekaligus. Faktor pertama adalah perbuatan si penjual sianida (karena perbuatannya menjual sianida menjadi faktor penyebab; jika sianida tidak dijualnya maka sianida tersebut tidak akan menyebabkan kematian Mirna). Faktor berikutnya adalah perbuatan orang yang menjual kopi. Perbuatan menjual dan menghidangkan kopi juga memberikan atribusi matinya Mirna. Perbuatan ketiga adalah perbuatan memasukkan sianida ke dalam kopi.Jika digambarkan ajaran von Buri ini dalam sebuah matrik maka akan dapat ditampilkan sebagai berikut:


Screen.Shot.2016.02.28.at.03.28.41


 

Doktrin von Buri tersebut menimbulkan rantai yang panjang. Karena itu ada upaya untuk membatasi pada satu perbuatan tertentu yang paling kuat atau yang paling berpengaruh yang menimbulkan akibat yang dilarang. Dalam kaitan muncul doktrin yang menggeneralisisasi yaitu menentukan satu perbuatan yang sudah dapat diperkirakan oleh pelakunya sebelum perbuatan itu dilakukan. Artinya pelaku sudah dapat memperhitungan akibat yang mungkin muncul dari perbuatan yang akan dilakukan. Selain itu, dapat juga meminta bantuan ilmu pengetahuan untuk menentukan perbuatan yang menjadi penyebab. Jika dikaitkan dengan kasus kematian Mirna, maka doktrin ini dapat digunakan dengan pertanyaan berikut ini: Apakah perjualan sianida kepada X sudah dapat diperhitungkan akan menimbulkan kematian pada Mirna? Apakah penjualan kopi kepada X sudah dapat diperhitungkan mengakibatkan kematian Mirna? Apakah perbuatan memasukkan sianida ke dalam minuman X sudah dapat diperhitungkan akan menimbulkan kematian pada Mirna? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini penyidik meminta bantuan tenaga medis dan psikolog. Namun bantuan tenaga medis dan psikolog ini baru bisa dilakukan jika telah nyata perbuatan yang dilakukan oleh aktor tertentu, bukan masih dalam tahap dugaan atau sangkaan.

Doktrin terakhir adalah doktrin yang mengindividualisasi. Doktrin ini dipopulerkan oleh oeh Birkmeyer dan Karl Binding. Dalam doktrin ini, penekanannya pada satu perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang setelah perbuatan itu dilakukan. Ukurannya didasarkan pada faktor-faktor yang paling banyak membantu dalam menimbulkan akibat yang dilarang, faktor tersebut memiliki relevansi yang seimbang dengan akibat yang dilarang. Jika dikaitkan dengan kasus meninggalnya Mirna maka jelas, satu faktor yang seimbang dan relevan adalah perbuatan yang memasukkan sianida ke dalam minuman kopi, sementara dua perbuatan yang sebelumnya disebutnya hanya sebagai sarat saja, bukan sebagai faktor yang dominan menimbulkan akibat.

Menentukan Pertanggungjawaban Pidana

Bagian yang tidak kalah sulitnya dalam hubungan kausalitas ini adalah menentukan pertanggungjawaban pidana, atau secara singkat menentukan orang yang dapat diminta pertanggungjawaban pidananya. Dari doktrin kausalitas jelas, bahwa perbuatan memasukkan sianida adalah faktor penyebab kematian Mirna. Namun siapakah yang dapat diminta pertanggungajwaban pidananya? Doktrin kausalitas pun tidak bisa memecahkan masalah ini dengan sempurna.

Saya  mencoba menggunakan doktrin yang berkembang di negara-negara yang menggunakan sistem common law. Untuk menentukan pertanggungjawaban pidana, maka (1) harus dicari lebih dahulu perbuatan-perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang, kemudian (2) perbuatan-perbuatan ini difilter untuk menentukan satu perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang, (3) menemukan faktor yang memutuskan rantai kausalitas; dan (4) menemukan aktor yang menimbulkan akibat yang dilarang.

Hal yang paling sulit dalam kausalitas adalah menentukan pertanggungjwaban pidana pelaku. Karena dalam sebuah rangkaian perbuatan, adakalanya perbuatan tersebut bukan menjadi penyebab, tetapi ada faktor lainnya, sehingga perbuatan tersebut sifatnya hanya kebetulan yang tidak menyumbang pada kematian korban. Dengan kata lain adanya insiden yang tidak memberikan atribusi pertanggungjawaban pidana. Karena itu sebagai ukurannya adalah apakah perbuatan tersebut adalah necessary and sufficient menimbulkan akibat yang dilarang. Dalam kasus meninggalnya Mirna, sejauh yang dapat diketahui dari pemberitaan di media massa, tidak/belum ada satu perbuatan yang ditemukan berupa tindakan pelaku memasukkan sianida ke dalam minuman Mirna (konon juga tidak berhasil dilacak dari rekaman CCTV). Lalu apakah dapat diisimpulkan adanya perbuatan tersebut? Secara ilmu pengetahuan adanya sianida di dalam tubuh Mirna karena adanya perbuatan [seseorang] memasukkan sianida tersebut ke dalam tubuhnya, dan kematiannya terjadi tidak lama setelah korban meminum kopi, dan terbukti ada sianida di dalam kopi yang tersisa. Tidak ada perbuatan yang mengintervensi atau yang memutuskan rantai kausalitas dengan timbulnya akibat.

Dalam menentukan pertanggungjawaban pidana ini, penyidik telah menetapkan Jessica sebagai tersangka dengan kriteria subjektif yang ditetapkan penyidik. Objektivitas baru bisa ditemukan nanti dalam putusan final pengadilan. Kita tunggu saja seperti apa hasilnya! (***)


Screen.Shot.2015.05.05.at.07.06.54

 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close