People Innovation Excellence

PEMAHAMAN TEORI DAN PRAKTIK KONSEP HUKUM PAJAK ATAS PENGHASILAN SEBAGAI BAGIAN STRATEGI BISNIS DI INDONESIA

Oleh JANUARDO S.P. SIHOMBING (Februari 2016)

The Schanz-Haig-Simons model mendalilkan bahwa konsep penghasilan secara praktikal direpresentasikan melalui suatu peningkatan sumber kekayaan moneter ditambah pendapatan yang diperhitungkan serta pengeluran konsumsi dalam suatu periode tertentu.[1] Dengan kata lain, ukuran yang komprehensif atas income menurut Schanz-Haig-Simons (SHS) adalah income yang diterima selama periode tertentu, perubahan nilai semua aset modal dan kewajiban seorang individu atau bisnis selama periode tertentu.

Sebelum tahun 1984, Indonesia memberlakukan Ordonansi Pajak Perseroan 1925 atas Laba Perseroan dan Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 atas pendapatan orang pribadi. Dalam mendefinisikan objek pajak, kedua ordonansi pada saat itu mengikuti “source & periodecity concept”. Source & periodecity concept tersebut muncul bersamaan dengan teori Irving Fischer tentang income (penghasilan) sebagai flow of services/yield, menurunkan teori tree & fruit (penghasilan hanya buahnya saja) dan hen & egg (penghasilan terbatas telurnya saja).[2]

Sebelum itu, Adam Smith merumuskan penghasilan secara makro sebagai penjumlahan dari penghasilan setiap warga masyarakat, sedangkan Robert J. Hicks menawarkan well-offness concept (penghasilan sebagai nilai maksimum yang dapat dikonsumsi tanpa mengurangi kekayaan). Selanjutnya dengan merujuk pendapat G Von Schanz dan RM Haigh, Henry Simon merumuskan penghasilan sebagai nilai pasar dari konsumsi ditambah perubahan nilai kekayaan awal dan akhir periode. Rumusan ini dikenal sebagai SHS Income Concept, accretion concept, atau comprehensive income concept dan banyak diikuti dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (Income Tax Law) berbagai negara termasuk Indonesia.[3]

Terdapat definisi lain mengenai penghasilan yang dikemukakan oleh Hicks. Definisi tersebut memberikan penjelasan mengenai penghasilan yang diterima oleh seorang individu dengan adanya suatu batasan yang ditetapkan serta substansi yang menjadi perhatian. Dalam konteks ini batasan yang ditetapkan adalah periode penghasilan yang diterima dengan satuan minggu, dan substansi yang diperhatikan adalah jumlah konsumsi dari individu tersebut. Dengan demikian, definisi penghasilan menurut Hicks adalah sebagai berikut:[4] The maximum value which he can consume during a week, and still expect to be as well off at the end of the week as he was at the beginning.

Dari definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa tingkat penghasilan seseorang dapat dilihat dari jumlah konsumsi yang dilakukan dalam satu minggu, dengan adanya suatu harapan atau ekspektasi jumlah tersebut dapat disamai di akhir minggu dan sesuai dengan kondisi pada awal minggu tersebut. Dalam pemahaman lain, dapat dipahami bahwa metode penilaian atas penghasilan orang/badan usaha dapat dilihat dari tingkat konsumsi yang dilakukan, sehingga logikanya tidak mungkin seseorang memiliki penghasilan Rp10 juta namun dapat melakukan konsumsi hingga katakan saja Rp40 juta/bulan, kecuali ada sumber penerimaan lainnya.

Namun, di dalam setiap sistem Pajak Penghasilan di berbagai negara, dasar pengenaan pajak penghasilan mengadopsi konsep yang dikemukakan dalam SHS di atas, yaitu dengan menggunakan prinsip gross income (penghasilan kotor) sebagai awalan perhitungan. Dalam konsep SHS, yang termasuk dalam gross income antara lain: upah atau gaji, business income, sewa, royalti, capital income, hibah dan warisan, fringe and in-kind benefits, pension income, income transfers, serta imputed rent from consumer durables. Penghasilan kena pajak (taxable income) merupakan jumlah penghasilan yang dikurangkan oleh pengurang penghasilan yang berupa tax reliefs sehingga besarnya tambahan kemampuan ekonomis dapat dihitung.[5]

Sehubungan uraian di atas, perlu kita pahami bahwa tidak semua Penghasilan yang diperoleh oleh subjek hukum (pribadi ataupun badan usaha) dikenakan pajak atau dikenakan pajak tetapi dengan akibat hukum dan tarif yang besarannya berbeda-beda tergantung dari kecermatan kita memilih suatu terminologi hukum dalam suatu perikatan hukum / kontrak bisnis (misalnya, apakah jual beli, sewa menyewa, pinjam pakai, hibah, joint venture, atau lainnya?) serta pilihan jenis badan usaha (misalnya, apakah PT. Firma, Persekutuan Perdata / maatschaap, CV, joint operation (JO Administratif / JO Non Admministratif) atau lainnya?). Sebagai suatu OBJEK pajak, maka penghasilan yang diterima diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) merujuk kepada Pasal 4 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yakni: (a) Penghasilan yang merupakan OBJEK PAJAK ; (b) Penghasilan yang merupakan OBJEK PAJAK FINAL; (c) Penghasilan yang BUKAN MERUPAKAN OBJEK PAJAK

Adapula penghasilan-penghasilan yang sesungguhnya dikenakan pajak namun mendapatkan fasilitas dari Pemerintah berupa INSENTIF PAJAK dengan pemenuhan syarat-syarat tertentu yang diatur oleh peraturan perundangan. Secara teori, Insentif Pajak menurut Fletcher didefinisikan sebagai ketentuan pajak yang diberikan kepada proyek investasi yang berkualitas yang merupakan bentuk penyimpangan dari ketentuan yang ada; ”…any tax provision granted to a qualified investment project that represents a favorable deviation from the provision applicable to investment project in general.”[6]

Dari perspektif negara maju, instrumen insentif pajak dianggap kurang berdaya guna dan justru menciptakan suatu distorsi bagi perekonomian, khususnya keputusan bisnis. Namun, konteks pemikiran seperti itu kurang tepat bagi posisi Indonesia yang berada di kawasan yang over incentive atau kawasan dimana negara-negara yang berada di dalamnya saling berlomba-lomba menawarkan insentif perpajakan. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan penentuan insentif pajak di Indonesia juga dipengaruhi oleh negara lain, seperti contohnya Singapura yang menawarkan insentif pengembangan litbang hingga Thailand dengan insentif berbasis zonasi.[7]

Sebagai penutup tulisan ini, ingin disampaikan bahwa di tengah beratnya iklim dunia usaha di Indonesia saat ini, seperti isu rencana hengkangnya perusahaan-perusahaan raksasa seperti FORD Indonesia dari bisnis otomotif di Indonesia, yang digugat oleh Dr. David Tobing (pengacara Perlindungan Konsumen dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional R.I), Panasonic & Toshiba, dan perusahaan besar lainnya sebagaimana dimuat dalam beberapa media cetak nasional, tentu perlu ada perhatian serius bagi pelaku usaha/bisnis lainnya di Indonesia. Salah satu bagian kecil dari strategi bisnis bagi pelaku usaha adalah dengan cara lebih berhati-hati dalam membuat perikatan hukum bisnis melalui suatu penguatan aspek perencanaan/manajemen pajak yang legal serta tidak bertentangan dengan aturan hukum positif di Indonesia melalui pemahaman konsep penghasilan sebagaimana terurai di atas, di samping memanfaatkan beberapa fasilitas-fasilitas perpajakan yang ditawarkan guna melakukan penghematan pembayaran pajak yang tidak melanggar hukum. (***)


 

[1]Kevin Holmes, the Concept of Income. A multi-diciplinary analysis, (IBFD Publications BV: Dissertation Series submitted to the Victoria University of Wellington, New Zealand), 2000, hlm. 35.

[2]Gunadi, Panduan Komprehensif Pajak Penghasilan, (Jakarta: PT. Bee Media Indonesia bekerjasama dengan MUC Consulting Group), 2013, hlm. 17.

[3]Ibid, hlm. 17.

[4]Ibid., hlm. 117.

[5]Haula Rosdiana, Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak, Kebijakan dan Implementasi di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 2012, hlm. 183.

[6]K. Fletcher, “Tax Incentives in Cambodia, Lao PDR and Vietnam,” sebagaimana diunduh dari tautan (www.imf.org/external/pubs/ft/seminar/2002/fdi/eng/pdf/fletcher.pdf)

[7]Astera Primanto Bakti, Badan Kebijakan Fiskal: Think-Tank Kebijakan Perpajakan Indonesia, Inside Tax, Volume 18, November-Desember 2013, hlm. 37


Screen.Shot.2016.01.14.at.13.28.00


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close