People Innovation Excellence

ASAS “LEGALITAS”

Oleh SHIDARTA (Februari 2016)

Asas legalitas adalah asas yang paling penting dalam hukum pidana, bahkan dianggap roh hukum pidana. Penyempitan ruang lingkup asas legalitas seperti ini, sesungguhnya tidak tepat karena asas ini juga berlaku dalam ranah hukum pada umumnya. Tentu saja, perluasan ruang lingkup asas ini membawa konsekuensi pada perbedaan makna legalitas itu sendiri.

Lon L. Fuller, misalnya, dalam bukunya The Morality of Law (1964), menggunakan kata “principle of legality” untuk memaknai prinsip hukum secara umum, yang bahkan disebutnya sebagai inner morality of law. Kata ‘principle’ dalam konteks ini diartikan sama dengan prinsip atau asas. Fuller menyebutkan delapan asas legalitas itu, yang diringkas menjadi delapan pernyataan sebagai berikut: (1) laws should be general; (2) they should be promulgated, that citizens might know the standards to which they are being held; (3) retroactive rule-making and application should be minimized; (4) laws should be understandable; (5) they should not be contradictory; (6) laws should not require conduct beyond the abilities of those affected; (7)  they should remain relatively constant through time; dan (8) there should be a congruence between the laws as announced and their actual administration (lihat <http://faculty.ycp.edu/~dweiss/phl347_philosophy_of_law/…>).

Di sini Fuller memaknai asas legalitas sebagai moralitas hukum internal karena ia meyakini asas ini sebagai bagian terpenting dalam moralitas kewajiban (dilawankannya dengan moralitas aspirasi). Moralitas kewajiban itulah yang menjadi sumber bagi pembentukan norma hukum. Hukum adalah “A particular way of achieving social order by guiding human behavior according to rules.” Moralitas yang terdalam terletak justru pada “universal procedural norms”. Jadi, delapan asas legalitas tersebut sesungguhnya merupakan delapan asas universal dalam hukum acara.

Black’s Law Dictionary (1990) mengidentikkan legality dengan legalness dan lawfulness. Penjelasan yang demikian singkat tidak akan cukup untuk memahami apa itu legalitas sebagai suatu asas hukum. Setiap asas hukum pada hakikatnya adalah proposisi yang di dalamnya terkandung konsep-konsep hukum.
Dalam ranah hukum pidana, penjelasan tentang asas legalitas memiliki sejarah yang panjang. Moeljatno dalam bukunya Azas-Azas Hukum Pidana (1983) menceritakan awal munculnya asas legalitas dalam hukum pidana dengan lahirnya criminal extra ordinaria pada zaman Romawi kuno, yang memberi kebebasan luas bagi penguasa memaknai apa itu perbuatan jahat (crimina stellionatus) itu. Akibatnya, penguasa bisa saja menjatuhkan sanksi pidana kepada siapapun yang tidak ia sukai dengan dalih yang bersangkutan telah melakukan perbuatan jahat. Setelah muncul gerakan yang menentang absolutisme raja/negara, lahirlah asas legalitas yang pada hakikatnya menginginkan hukum pidana itu harus dirumuskan secara tertulis, rigid, prospektif, dan kepastian. Dengan demikian, asas legalitas tersebut dapat diderivasi menjadi beberapa proposisi sebagai berikut.
Pertama, konsep lex scripta, yaitu bahwa legalitas mengandalkan pada hukum tertulis. Setiap orang hanya dapat dituntut pidana karena perbuatannya apabila terlebih dulu terdapat rumusan peraturan perundang-undangan yang menyatakan perbuatan demikian itu sebagai tindak pidana. Dalam konsep ini akan muncul polemik antara ajaran sifat melawan hukum yang formal versus sifat melawan hukum yang material. Konsep lex scripta memiliki kecenderungan kuat untuk lebih menyukai ajaran sifat melawan hukum yang formal, bahwa aturan pidana haruslah yang tercantum dalam undang-undang (wettelijke strafbepaling).
Kedua, konsep lex stricta, yaitu bahwa hukum tertulis tadi harus dimaknai secara rigid, tidak boleh diperluas sehingga merugikan subjek pelaku perbuatan tersebut. Rigiditas tersebut membuat metode penemuan hukum yang memperluas makna, khususnya analogi, menjadi metode terlarang dalam hukum pidana. Tentu ada perdebatan konseptual antara argumentum per analogiam dan penafsiran ekstensif, yang oleh Paul Scholten (Algemeen Deel: Asser…, ) dipahami sebagai dua metode yang hakikatnya sama namun memiliki perbedaan gradual semata.
Ketiga, konsep lex temporis delicti. Konsep ini mengandung makna sebagai larangan retroaktif. Dengan demikian, rumusan hukum pidana selalu berlaku ke depan (prospektif), bukan berlaku surut (retroaktif). Pasal 1 ayat (1) KUHP secara tegas mengisyaratkan lex temporis delicti ini. Larangan berlaku surut tersebut ternyata tidak berlaku mutlak karena Pasal 1 ayat (2) KUHP membuka peluang pada penyimpangannya. Barda Nawawi Arief dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana (2003), menyatakan ayat ini tdaik mengatur prinsip retroaktif, tetapi mengatur hukum yang berlaku dalam masa transisi, yakni dalam hal ada perubahan perundang-undangan. Jika masa transisi ini terjadi, maka yang dipakai adalah hukum yang lebih menguntungkan atau paling meringankan bagi terdakwa. Jadi, ayat ini dapat dikatakan mengandung asas subsidiaritas.
Keempat, konsep lex certa, yang mengedepankan pentingnya kepastian sebagai tujuan hukum yang paling awal harus diraih sebelum orang berbicara tentang nilai-nilai lain seperti keadilan dan kemanfaatan. Kepastian ini memperlihatkan digunakan dua fungsi hukum pidana sekaligus, yaitu fungsi untuk melindungi terdakwa dari kesemena-menaan penguasa yang menuduhnya tanpa dasar hukum yang jelas; dan fungsi untuk memastikan bahwa negara wajib menuntut setiap perbuatan antisosial tanpa terkecuali. Fungsi yang terakhir ini, di beberapa negara (termasuk Indonesia) masih memberi celah untuk dikecualikan, yang dikenal dengan asas oportunitas.
Anselm von Feuerbach (1775-1833) menggambarkan semua keterkaitan dua fungsi di atas dalam bahasa Latin berupa tiga proposisi sebagai berikut: (1) nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang); (2) nulla poena sine crimine (tiada pidana tanpa tindak pidana); dan (3) nullum crimen sine poena legali (tiada tindak pidana tanpa pidana menurut undang-undang).
Asas legalitas sendiri mengalami beberapa pelemahan atas apa yang semula disampaikan oleh Feuerbach itu. Barda Nawawi Arief (2003) menyebut tujuh hal yang memperlihatkan pelemahan asas ini: (1) bentuk pelunakan/penghalusan sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP;(2) praktik yurisprudensi dan perkembangan teori yang dikenal dengan ajaran sifat melawan hukukm yang material; (3) perkembangan hukum positif yang menghadirkan pergeseran dari ‘nullum delictum sine lege’ menjadi ‘nullum delictum sine ius’ (misalnya dalam UUDS 1950, UU No. 1/Drt/1951, UU No. 14 Tahun 1970 jo UU No. 35 Tahun 1999, dan rancangan KUHP); (4) munculnya pengakuan atas asas legalitas material pada dokumen internasional dan KUHP negara lain; (5) munculnya ketentuan mengenai ‘pemaafan/pengampunan hakim’ (rechterlijk pardon, judicial pardon, dispensa de pena, atau non-imposing of penalty’ di beberapa KUHP, seperti KUHP Belanda, Yunani, dan Portugal) yang merupakan bentuk judicial corrective to the legality principle; (6) adanya perubahan fundamental di KUHAP Prancis pada tahun 1975 yang menambahkan ketentuan mengenai “pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan pidana” (the declaration of guilt without imposing a penalty); dan (7) perkembangan/perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari cybercrime yang merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas lex certa.

Menarik untuk mencermati bahwa asas legalitas yang menjadi roh dalam hukum pidana itu sendiri ternyata tidak lagi menancapkan kukunya sedalam periode abad ke-18 dan 19 Masehi. Hal ini membuktikan bahwa aliran pemikiran legisme yang berkuasa di ranah hukum pidana mulai mengalami pendongkelan di beberapa sisi struktur pohon hukum tersebut. Kecenderungan asas legalitas yang mengedepankan konsep-konsep hukum seperti lex scripta, lex stricta, lex temporis delicti, dan lex certa, tidak hanya digugat secara moral melainkan juga secara pragmatis. Apabila dulu asas ini pernah diruntuhkan secara moral melalui pengadilan Nuremburg (1945-1949), maka sekarang kebutuhan-kebutuhan pragmatis, seperti demi alasan efisiensi pemidanaan atau demi menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi komunikasi/informasi, asas ini akan ikut tergerus sedikit demi sedikit. (***)


Screen.Shot.2015.12.21.at.04.40.58

 

 

 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close