People Innovation Excellence

BULAN BAHASA, SUMPAH PEMUDA, DAN BAHASA HUKUM

Oleh SHIDARTA (September 2015)

Dalam beberapa hari ke depan, kita akan memasuki bulan Oktober yang dikenal juga sebagai Bulan Bahasa. Konon predikat Bulan Bahasa diberikan karena pada tanggal 28 Oktober 1928 terjadi peristiwa Sumpah Pemuda yang mengikrarkan bahasa Indonesia sebaga bahasa persatuan.

Peristiwa ‘Sumpah Pemuda’ terbilang unik karena momentum tersebut mendahului kelahiran negara Indonesia 17 tahun kemudian. Saat Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta, mereka melakukannya atas nama bangsa Indonesia. Artinya, kebangsaan Indonesia mendahului kenegaraan Indonesia. Hal yang sama berlaku untuk kebahasaan Indonesia, yang mengambil akar pada bahasa Melayu ‘pasar’ mengingat sejak lama ia sudah menempati posisi sebagai bahasa penghubung (lingua franca) bagi suku-suku yang ada di Nusantara.

Dari ketiga sumpah yang diucapkan, taki (ikrar) ketiga terbilang menarik untuk disimak. Para pemuda Indonesia ketika itu berjanji untuk menjunjung bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.  Dengan ragam bahasa daerah lebih dari 400 jenis, tekad ini merupakan terobosan penting yang di kemudian hari terbukti sukses. Bahasa Indonesia benar-benar tampil menjadi bahasa persatuan. Bahasa Indonesia menyelinap masuk jauh ke pelosok-pelosok Indonesia, digunakan secara meluas, diposisikan baik sebagai bahasa pertama maupun kedua setelah bahasa daerah setempat. Tatkala penulis menghadiri sebuah seminar tentang Papua belum lama berselang di Jakarta, teman-teman dari Papua dengan bangga mengatakan bahwa di Tanah Papua yang notabene merupakan daerah terjauh dari Tanah Melayu (Sumatera Timur) sebagai tempat asal muasal bahasa Indonesia, ternyata bahasa Indonesia sejak lama sudah digunakan sebagai medium komunikasi anak-anak suku di Papua secara sangat efektif. Ada yang berani mengatakan bahwa kualitas bahasa Indonesia mereka bahkan jauh lebih baik (dalam arti lebih baku) dibandingkan dengan kebanyakan penutur bahasa Indonesia di kota-kota di Sumatera dan Jawa.

Fenomena ini tentu menggembirakan di tengah isu-isu disintegrasi terkait ketanah-airan (sumpah pertama) dan kebangsaan (sumpah kedua). Prestasi Indonesia dalam menjaga identitas kebahasaannya merupakan keberhasilan yang terbukti tidak semua bangsa dapat mencapainya.

Lalu, bagaimana kaitannya dengan hukum dan bahasa hukum? Seorang ahli hukum adat Indonesia asal Belanda, Cornelis van Vollenhoven (1874-1933) pernah meragukan kemungkinan ada yang disebut bahasa Indonesia. Figur yang kerap disebut ‘Bapak Hukum Adat Indonesia’ ini mengatakan sangat mungkin untuk membentuk satu hukum nasional Indonesia, tetapi tidak untuk bahasa nasional Indonesia. Dugaan Vollenhoven terbukti kebalikannya. Setelah Indonesia memasuki dasawarsa ketujuh kemerdekaannya, desain besar sistem hukum nasional kita belum benar-benar berhasil diwujudkan. Ketiadaan desain ini menguras banyak energi kita di tengah perdebatan tentang perlu tidaknya dilakukan unifikasi hukum (versus pluralisme hukum), atau perlu tidaknya pembentukan kodifikasi hukum (versus modifikasi hukum). Produk hukum kolonial Belanda yang berbentuk wet, ordonantie, dan reglement, masih tersebar dan dipakai di sana-sini.

Ketidakseriusan kita dalam merancang desain hukum nasional tercermin dari pembentukan terminologi hukum kita yang terbilang tidak taat asas seturut kaidah bahasa Indonesia. Kita masih bingung untuk memakai istilah ‘hukum formal’ atau ‘hukum formil’. Demikian juga: ‘hukum materiil’, ‘hukum materiel’, atau ‘hukum material’? Lalu apakah: ‘sistem presidensiil’ atau ‘sistem presidensial’?

Para pembentuk hukum kita perlu serius untuk menyikapi hal ini karena begitu sebuah terma diperkenalkan di dalam undang-undang, maka pada detik itu juga ia akan menjadi kosakata resmi dan masuk dalam perbendaharaan bahasa hukum Indonesia. Sebagai contoh, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pembentuk undang-undang ternyata memakai kata ‘praktek monopoli’ dan bukan ‘praktik monopoli’ sebagaimana seharusnya menurut kaidah pembentukan istilah dalam bahasa Indonesia. Kebingungan ini juga ikut menimpa nama institusi hukum kita, misalnya singkatan Ditjen HAKI yang sejak awal sebenarnya sudah disadari keliru sebagai kependekan untuk nama sebuah direktorat jenderal di bidang hak [atas] kekayaan intelektual, pernah diubah menjadi Ditjen Hak Kekayaan Intelektual, dan sekarang menjadi Ditjen Kekayaan Intelektual.

Dalam menyambut Bulan Bahasa tahun ini, tampaknya kita perlu disadarkan bahwa urusan berbahasa bukan perkara sepele. Penggunaan kata dan kalimat yang keliru dapat sangat menyesatkan apabila kata dan kalimat itu diperkenalkan di hadapan publik apalagi kemudian mengikat menjadi bahasa hukum. Lembaga-lembaga resmi negara seperti DPR dan pemerintah perlu sangat berhati-hati dalam memilih kata tatkala mereka menerbitkan peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan, dan keputusan. Juga instansi-instansi yang produknya bersentuhan dengan publik, terlepas apakah mereka institusi pemerintahan atau swasta, seperti media massa dan perusahaan periklanan, tidak boleh lagi sembarangan menelurkan peringatan/informasi dengan bahasa Indonesia yang keliru. Dalam pengamatan penulis, PT Jasa Marga yang menjadi pengelola jalan tol tergolong paling sembrono dalam berbahasa Indonesia (misalnya, masih saja keliru dalam menulis kata ‘menaikkan’ menjadi ‘menaikan’; atau ‘di jalan’ menjadi ‘dijalan’).

Terlepas dari kekeliruan berbahasa yang terjadi karena kesembronoan, tentu ada ruang bagi pengguna bahasa Indonesia untuk juga terus beradaptasi dengan kebutuhan-kebutuhan praktis. Bahasa adalah medium yang paling demokratis karena preferensi berbahasa tidak dapat dipaksakan oleh otoritas manapun. Von Savigny pernah menganologikan hukum dengan bahasa karena dalam pandangannya keduanya tumbuh bagaikan organisme yang hidup.

Dalam perjalanan bahasa Indonesia, tidak bisa dihindari bahwa interaksi para pengguna bahasa Indonesia dengan penggunaan bahasa asing menyebabkan banyak kompromi harus dilakukan. Hal ini merupakan tantangan yang tidak kecil. Pengguna bahasa Indonesia terkadang harus melakukan adaptasi karena alasan-alasan praktis dan pragmatis. Selama bangsa kita belum tampil sebagai bangsa pencipta (creator) dan lebih memilih sebagai bangsa pengguna (user), maka dapat dipastikan infiltrasi bahasa asing (khususnya Inggris) akan terus masuk ke dalam bahasa Indonesia. Terbukti, tatkala kita memperkenalkan istilah titikus untuk menggantikan mouse sebagai alat bantu penggerak krusor di layar monitor komputer, tetap saja nomenklatur yang terakhir ini lebih populer dan tidak tergantikan.

Kebutuhan praktis dan pragmatis itu sangat kentara terjadi demi kepentingan pemasaran. Pendekatan ini membuat nama suatu permukiman, misalnya, harus dialihkan dari bahasa Indonesia menjadi bahasa asing. Apartment dianggap lebih bernilai jual dibandingkan rumah susun. Agus R. Sardjono dalam bukunya ‘Bahasa dan Bonafiditas Hantu’ (2001: 59-60) mengatakan bahawa bahasa ternyata bukan sekadar komunikasi, melainkan terkait pada upaya-upaya mengelola dunia, citra, dan makna-makna. Dengan demikian, tidak ada yang bisa mencegah orang memberikan nama asing untuk produk-produk lokal agar terkesan aksi sekaligus rendah diri. Sama halnya tidak ada yang bisa mencegah orang memberi nama Indonesia untuk produk-produk asing agar terkesan nasionalis dan mempribumi.

Kecenderungan yang sama terjadi pula pada dunia pendidikan. Istilah komunikasi pemasaran tergolong kurang seksi dibandingkan dengan marketing communication. Demikian juga business law dan hukum bisnis. Dalam situs ini saja, misalnya, kosakata bahasa Indonesia, tidak bisa dihindari, tercampur di sana-sini dengan bahasa asing. Boleh jadi ada tendensi rendah diri dalam konteks ini, namun seni menjual memiliki dalil-dalilnya sendiri. 

Di beberapa perguruan tinggi, penggunaan istilah asing mulai gencar diperkenalkan dengan kesadaran bahwa perguruan tinggi Indonesia juga harus berkompetisi secara global. Sedikit demi sedikit mata kuliah mulai dibawakan dalam bahasa pengantar asing. Bagi pengajar hukum, pergeseran ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri, mengingat tidak semua istilah hukum Indonesia dapat dipertukarkan dengan istilah asing dengan makna persis sama. Salah satunya karena latar belakang keluarga sistem hukum yang berbeda.

Catatan kecil ini mengindikasikan perlunya kita semua merawat bahasa nasional kita, namun tidak dengan jalan memaksakan atau menutup diri terhadap kebutuhan-kebutuhan praktis dan pragmatis dalam berbahasa. Sepanjang penutur bahasa Indonesia ingin terus belajar memahami kaidah-kaidah dasar bahasa Indonesia yang baik dan benar, maka selama ini pula kita masih boleh berbangga memiliki aset nasional kita: bahasa Indonesia. Dan, khusus bagi kalangan pencinta dan peminat hukum Indonesia, kita perlu meyakini bahwa bahasa hukum pun tetap harus tunduk pada hukum bahasa…! Selamat menyambut Bulan Bahasa! (***)


Screen.Shot.2015.05.05.at.07.08.34

 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close