People Innovation Excellence

KEKERASAN SEKSUAL ANAK DIPERTONTONKAN

Oleh AHMAD SOFIAN (Agustus 2015)

Beberapa waktu lalu media massa ramai memberitakan tentang kekerasan seksual anak yang berlangsung di JIS maupun eksploitasi seksual anak online melibatkan seorang tersangka berinisial TAG. Di dalam laptop TAG polisi menemukan lebih dari 10.000 gambar porno anak. Pemberitaan kasus ini bisa menjadi alternatif untuk menghilangkan kejenuhan atas berita-berita politik yang menghiasi ragam pemberitaan di media cetak dan elektronik. Pertanyaannya adalah patutkah media memborbardir pelaku kejahatan seksual pada anak? Lalu di mana letak tanggung jawab negara yang membiarkan terjadinya eskalasi kekerasan seksual anak yang masif di berbagai daerah di Indonesia?

Dalam perspektif viktimologi, anak adalah salah satu kelompok rentan yang wajib mendapatkan perindungan dari negara. Anak-anak berada dalam posisi yang secara fisik dan psikis tidak mampu melindungi dirinya sendiri, karena itu negara wajib memberikan perlindungan. Bentuk perlindungan yang seharusnya diberikan oleh Negara adalah memastikan anak-anak terbebas dari praktik-praktik diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan, termasuk kekerasan seksual.

Kasus JIS dan TAG menunjukkan bahwa betapa lemahnya sistem perlindungan anak di Indonesia, kasus ini bukanlah satu-satunya kasus yang terjadi di negeri ini. Laporan dari beberapa daerah telah banyak dipublikasikan yang mengindikasikan betapa mengerikannya praktik-praktik kekerasan dan eksploitas seksual anak. Laporan ECPAT (End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes), misalnya mencatat ditemukannya lebih dari 365 korban kekerasan seksual dalam kurun waktu lima tahun terakhir yang berlangsung di Bali. Umumnya pelaku adalah Pedofil yang menyaru sebagai wisatawan. Sebagian pelaku sudah dihukum namun sebagian lagi masih berkeliaran.

Tanggung Jawab Negara

Indonesia termasuk salah satu negara yang sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak. Ratifikasi ini dilakukan melalui Keppres 36/1990. Lalu Indonesia juga telah meratifikasi Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan Pornografi Anak melalui UU No. 10 Tahun 2012. Kedua konvensi internasional itu memandatkan Indonesia untuk segera melakukan langkah-langkah pencegahan, perlindungan dan pemulihan serta rehabilitasi terhadap anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi seksual anak. Indonesia juga diminta melaporkan atas upaya sunggu-sungguh yang sudah dilaksanakan dalam melindungi anak-anak dari bahaya tersebut.

Pertanyaannya adalah apakah Pemerintah Indonesia sudah sungguh-sungguh melaksanakan kedua konvensi tersebut? Apakah hukum nasional sudah sangat efektif dalam menanggulangi masalah tersebut? Lalu apa kebijakan nasional yang kongkrit dalam mengeliminasi masalah kekerasan dan eksploitasi seksual anak? Pertanyaaan-pertanyaan kritis seperti inilah yang harus ajukan oleh publik termasuk media kepada negara. Negara gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai negara kesejahteraan atau negara yang memberikan kebahagiaan kepada sebagian besar warganya termasuk anak-anak.

Kegagalan negara dalam melindungi anak-anak dari kekerasan dan eksploitasi seksual anak dapat diartikan sebagai salah satu bentuk pembiaran (omission) yang dilakukan oleh negara. Persoalan kekerasan seksual yang menimpa anak-anak bukanlah kriminal murni, tetapi di dalamnya sudah melingkupi elemen kejahatan yang lintas Negara, terstruktur dan sistemik. Dikatakan kejahatan lintas Negara karena antara pelaku dan korban memiliki kewargegaraan yang berbeda. Kejahatan ini dilakukan dengan cara-cara yang rapi, bahkan ada keuntungan finansial yang diperoleh pelaku, dan adanya upaya penglibatan jasa perbankan dalam melanggengkan kejahatan ini.

Harmonisasi Undang-Undang

Kajian terhadap legislasi nasional tentang perlindungan anak belum banyak dilakukan, sehingga dalam kaca mata awam, seolah-olah produk undang-undang kita yang melindungi anak sudah cukup memadai. Bila dikaji konten perundang-undanga yang melindungi anak, maka dapat disimpulkan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut masih amburadul. Undang-undang kita saling bertubrukan antara yang satu dengan yang lain. Tidak ditemukan konsistensi dan mekanisme kebijakan perlindungan anak di Indonesia.

Sebagai contoh, Indonesia telah memiliki beberapa produk perundang-undangan tentang perlindungan anak seperti UU No. 23/2002. Undang-Undang Perlindungan Anak ini memberikan arah terhadap penyelenggaran perlindungan anak serta memberikan kriminalisasi terhadap pelaku kejahatan anak. Namun, sayang sekali undang-undang ini tidak memberikan jaminan tanggung jawab negara terhadap korban kejahatan. Negara hanya mengadili dan menghukum pelaku, tetapi menelantarkan hak-hak korban untuk mendapat jaminan perlindungan berupa pemulihan dan rehabilitasi serta kompensasi atas kegagalan negara melindungi anak-anak ini sehingga menjadi korban para predator. Undang-undang ini juga sudah tidak sejalan lagi dengan ratifikasi protokol tambahan (UU No. 11/2012), bahkan lebih jauh lagi undang-Undang ini masih belum selaras dengan mandat Pasal 28-B UUD 45 hasil amandemen keempat.

Situasi yang digambarkan di atas menunjukkan perlu dilakukan langkah-langkah harmonisasi perundang-undangan, langkah harmonisasi ini akan memperbaiki sejumlah perundang-undangan sehingga peran negara dalam menjamin dan melindungi anak-anak dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Harmonisasi ini harus dilakukan secara menyeluruh terhadap sejumlah perundang-undangan dan kebijakan. Memperbaiki undang-undang yang salah, dan melengkapi aturan yang masih kosong. Dengan langkah harmonisasi ini maka Indonesia akan memiliki kebijakan perlindungan anak yang komprehensif dan meletakkan tanggung jawab negara yang seharusnya. Tanggung jawab negara tidak dipotong-potong seperti yang berlangsung saat ini, tetapi harus komprehensif dan total.

Indonesia tentu punya impian agar anak-anaknya tidak mengalami gangguan, tidak mengalami kekerasan, sehingga semua hak-hak anak seperti yan diamanatkan konstitusi terpenuhi. Dan ketika Negara berhasil memenuhi hak anak dan menjamin tumbuh kembangnya secara wajar, maka Indonesia akan menjadi negara yang kuat yang sejajar dengan bangsa-bangasa beradab lainnya. Mantan Sekjen PBB yang tersohor yaitu alharhum Kofi Annan pernah mengatakan negara yang beradab adalah negara yang mampu menjamin dan melindungi anak-anaknya dari segala bentuk praktek kekerasan. Kasus JIS dan TAG serta kasus-kasus kekerasan anak lainnya menunjukkan Negara Indonesia masih jauh dari ungkapan bijak tersebut. (***)


Screen.Shot.2015.05.05.at.07.06.54

 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close