People Innovation Excellence

PLAGIARISME: PERISTILAHAN (Bagian 1 dari 3 tulisan)

Oleh SHIDARTA (April 2015)*

Tindakan plagiarisme (dan otoplagiarisme) kerap menjadi sorotan dalam aktivitas ilmiah di kalangan dunia akademik dan jurnalistik. Pelaku plagiarisme ini dapat datang dari semua kalangan dengan berbagai motivasi. Sebagian kecil di antara mereka melakukannya memang tidak dilandasi itikad buruk, melainkan lebih karena kelalaian, ketidakcermatan, atau bahkan tidak menyadarinya sebagai tindakan yang terlarang. Namun, risiko atas perilaku ini terkadang sangat tragis. Seorang guru besar sebuah perguruan tinggi swasta terkemuka di Bandung, misalnya, sampai harus mengundurkan diri dari jabatan akademiknya pada awal tahun 2010 karena melakukan plagiarisme tatkala memuat tulisannya di harian The Jakarta Post.

Karya plagiarisme tentu tidak hanya dipublikasi dalam karya berbentuk tulisan, seperti buku, makalah, atau artikel, tetapi dapat juga dalam format lain yang dimuat di berbagai media. Iklan adalah salah satu contoh produk yang rentan memuat kandungan plagiarisme. Iklan-iklan yang populer di luar negeri kerap menjadi inspirasi, sehingga mengundang para praktisi periklanan membuat iklan serupa untuk kalangan domestik. Apabila adaptasi yang dilakukannya tidak didukung oleh kreativitas dan itikad baik, maka hampir dapat dipastikan bahwa iklan yang dihasilkan akan menjadi karya plagiarisme.

Fenomena maraknya plagiarisme dan otoplagiarisme ini tentu tidak berdiri sendiri. Faktor kemudahan teknologi dan perangkat komunikasi bisa pula dituding sebagai biang persoalan. Kebiasaan copy-paste dari hasil unduhan karya orang lain di dunia maya demikian menggoda, sehingga kerap membuat kita terlena dan lupa mencantumkan sumber referensi. Alasan lupa boleh jadi memang alasan yang jujur, tetapi ancaman sanksi yang dikenakan Undang-Undang Hak Cipta (terakhir diberlakukan UU No. 28 Tahun 2014) secara normatif sulit untuk diajak berkompromi dengan alasan demikian.

Sebuah studi di Amerika Serikat sekitar lima belas tahun lalu sudah memberi sinyal lampu merah atas perilaku plagiarisme ini (Overbeck, 2000). Rutgers University Study tahun 1991 mencatat 66% dari sekitar 16.000 mahasiswa dari 31 universitas terkemuka di Amerika Serikat mengaku setidak-tidaknya pernah satu kali melakukan kecurangan terkait plagiarisme. Bahkan, 12% di antara mereka mengaku melakukannya secara rutin. Ini berarti tujuh dari sepuluh orang melakukan rutinitas tersebut. Pejabat di Universitas California-Berkeley tahun 1997 menyatakan bahwa dari tahun 1993 sampai 1997 saja, telah terjadi peningkatan perilaku plagiarisme di kampus sebanyak 744%. Sebuah angka fantastis untuk kriteria Amerika Serikat pada kurun waktu sepuluh tahun lalu tatkala teknologi informasi dan komunikasi belum secanggih sekarang. Senyampang survei serupa dilakukan di sini, dapatlah dibayangkan bagaimana kondisi yang riil terjadi di kampus-kampus di Indonesia .

Mengingat kompleksitas problema di atas, dalam mata kuliah Hukum Komunikasi yang diajarkan di fakultas-fakultas ilmu komunikasi, topik tentang plagiarisme dan otoplagiarisme ini menjadi penting untuk disampaikan. Pembahasan topik tersebut biasanya digandengkan dengan ulasan tentang hak cipta. Tujuannya tidak lain agar peserta didik, sejak awal sudah mendapat pemahaman mendalam tentang risiko dari perilaku ini dan mengajak mereka untuk lebih berhati-hati agar tidak terjebak dalam strategi “jalan pintas” yang biasanya menjadi cikal bakal setiap tindakan plagiarisme dan otoplagiarisme. Tujuan yang kurang lebih sama juga berlaku untuk tulisan dalam jurnal kali ini.

Secara umum kata plagiarisme sebagai istilah baku dalam kosa kata bahasa Indonesia kalah populer dibandingkan kata plagiat, yang sebenarnya diambil alih dari bahasa Belanda: plagiaat. Oleh karena ada kata plagiarism dalam bahasa Inggris, maka terma inilah yang kemudian lebih layak untuk diserap, sehingga muncullah istilah plagiarisme tersebut.

Judy Anderson (1998: 1) mengawali bukunya tentang plagiarisme dengan memberi ilustrasi menarik tentang sulitnya mencari batas-batas toleransi dari perilaku tersebut. Ia mengatakan: “Most articles, books or stories on plagiarism start with some type of definition. The most common is the dictionary’s derivative view. It seems so simple. Plagiarism is the act of using the words of another without giving the originator credit. But just like trying to define race as it refers to groups of people, defining plagiarism becomes murky and foggy if one tries to put exact boundaries on it. Instead, it seems to fall under the same category as defining art. “I don’t know what it is, but I know it when I see it.

Menurut situs UCB Libraries (2011), plagiarisme adalah “The act of appropriating the literary composition of another author, or excerpts, ideas, or passages there from, and passing the material off as one’s own creation.” Dalam ungkapan yang lebih sederhana, dapat dimaknai ulang sebagai tindakan mengambil karya cipta pihak lain dan menggunakannya dengan memberi kesan bahwa karya cipta tersebut, baik seluruh maupun sebagian, berasal dari pihak yang mengambil tersebut.

Berbeda dengan plagiat atau plagiarisme, kata otoplagiarisme (autoplagiarism; self-plagiarism) adalah sebuah istilah yang mungkin tidak terlalu ramah di telinga. Perilaku ini bahkan oleh banyak orang tidak dipandang sebagai suatu bentuk plagiarisme. Paling tidak, hal seperti ini dinilai oleh sebagian kalangan sebagai sesuatu yang masih dapat ditoleransi. Ketika penulis diminta menyusun sebuah peraturan tentang plagiarisme di sebuah perguruan tinggi di Jakarta, penulis memberi arti otoplagiarisme ini sebagai “Tindakan mereproduksi karya cipta sendiri yang telah dipublikasikan sebelumnya tanpa menerangkan atau menyebutkan sumbernya.”

Berbeda dengan plagiarisme pada umumnya, dalam otoplagiarisme, karya yang diduplikasi adalah karya milik sendiri. Ketika seseorang diundang membawakan makalah di sebuah seminar, misalnya, makalah yang disampaikannya sangat mungkin bukan produk orisinal untuk seminar tersebut, melainkan makalah yang sudah dibawakannya di berbagai kesempatan lain. Jika ia lupa memberi keterangan tentang hal itu, sesungguhnya perilaku otoplagiarisme sudah terjadi. Demikian juga apabila seorang penulis artikel mempublikasikan satu karyanya pada lebih dari satu media. Atau, ada penulis yang membuat tulisan dalam satu buku yang kemudian tulisan itu muncul lagi pada bukunya yang lain, tanpa ada satu keterangan pun yang menyertainya. (***)

Bersambung ke tulisan bagian ke-2: PLAGIARISME: JENIS-JENISNYA

* Tulisan ini dan rangkaian berikutnya pernah dipublikasikan di Jurnal Komunikasi Tarumanagara Vol. 3, No. 1, hlm. 45-54.

Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close