People Innovation Excellence

HAM, HUKUMAN MATI, DAN PANDANGAN BISMAR SIREGAR

Oleh BESAR (Januari 2015)

Definisi Hak Asasi Manusia (HAM) menurut Pasal 1 butir (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi negara, hukum, pemerintah, dan tiap orang, demi kehormatan, harkat, dan martabat manusia. Secara hukum, istilah HAM diatur dalam UUD 1945 dan UU No 39/1999. HAM merupakan bagian integral UUD, bersifat yuridis, statis, dan hanya terkait suatu negara. Namun demikian, tidak berarti perwujudan HAM bisa dilaksanakan secara mutlak, karena akan dapat melanggar hak asasi orang lain. Memperjuangkan hak untuk sendiri atau untuk kepentingan orang lain, yang mengabaikan hak orang lain, juga merupakan tindakan yang potensial melanggar HAM. Hak-hak asasi kita selalu berbatasan dengan hak-hak asasi orang lain.

Di sisi lain, ada isu seputar HAM yang selalu menarik untuk dibicarakan, yaitu tentang hukuman mati. Sebagai negara yang menghormati HAM, Indonesia juga merupakan negara yang memberlakukan hukuman mati. Sebagai ilustrasi, dapat ditunjukkan statistik yang berhasil dicatat terkait penerapan hukuman mati di berbagai negara. Pada tahun 2005, setidaknya terdapat 2.148 orang telah dieksekusi mati di 22 negara, termasuk Indonesia. Sebagian besar di antaranya, yakni 94% dilakukan di Iran, Tiongkok, Arab Saudi, dan Amerika Serikat. Memang, dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 2007 Sidang Umum PBB menyetujui resolusi penghapusan hukuman mati. Sebagai respons atas resolusi ini, saat ini sudah 141 anggota PBB menghapus total ketentuan hukuman mati dalam hukum positif mereka, namun tercatat masih ada 51 negara bersikukuh tetap menerapkan hukuman mati. Pada tahun 2009, negara-negara yang terbanyak mengeksekusi hukuman mati masih belum beranjak dari data tahun-tahun sebelumnya, yang rekornya masih dipegang oleh Tiongkok, Iran, Arab Saudi, Korea Utara dan AS.

Di Indonesia sendiri, hukuman mati kembali menjadi perbincangan bagi kalangan yang mendukung dan yang menolak adanya hukuman mati pasca-penolakan grasi Presiden terhadap sejumlah terpidana mati para pengedar narkoba. Kebijakan ini kembali menuai pro dan kontra, sekalipun pada tanggal 30 Oktober 2007, Mahkamah Konstitusi RI sudah menyatakan bahwa hukuman mati bagi pengedar narkoba tidak bertentangan dengan UUD 1945. Lembaga HAM internasional (Amnesty International) di London yang menolak hukuman mati telah meminta Indonesia untuk membatalkan hukuman mati ini, sekalipun untuk terpidana yang dihukum karena mengedarkan narkoba.

Beberapa tokoh hukum Indonesia yang dikenal menentang hukuman mati antara lain adalah J.E. Sahetapy dan Bernard Arief Sidharta, yang meyatakan hukuman mati bertentangan dengan Pancasila.  Sikap demikian juga disuarakan oleh tokoh HAM Indonesia, Alm. Yap Thiam Hien.

Polemik hukuman mati ini mengingatkan penulis pada sikap mantan hakim agung Bismar Siregar, sosok penegak hukum yang berani melawan arus dalam menegakkan keadilan dan HAM. Keberanian seperti beliau sangat dibutuhkan untuk melawan arus kebobrokan, pengaruh kapitalisme dan “liberalisme” hukum dan kejahatan.

Sebagai hakim, Bismar pernah menjatuhkan pidana mati untuk beberapa terdakwa kasus-kasus yang menggemparkan. Pada 1976, Bismar menjatuhkan hukuman mati kepada terdakwa Albert Togas, karyawan PT Bogasari yang membunuh Nurdin Kotto, staf ahli perusahaan tersebut. Selama menganggur, Albert ditolong oleh Nurdin, namun Albert membunuh Nurdin secara keji. Mayatnya dipotong-potong, dagingnya dicincang, dicuci bersih, lantas dimasukkan ke dalam plastik. Setelah itu, potongan mayatnya dibuang ke kali di Tanjung Priok. Kekejaman itulah yang membuat Bismar menjatuhkan terdakwa dengan hukuman mati. Keputusan ini, mendapatkan serangan dari orang-orang yang menentang hukuman mati, dan dicap tidak Pancasilais karena dianggap bahwa hukuman mati adalah merampas nyawa orang dan tidak patut dilakukan oleh seorang hakim. Menurut mereka, yang berhak melakukan itu hanya Tuhan. Bismar bersikeras bahwa Pancasila sejatinya sesuai dengan iman Islam. Menurut Bismar, hukuman mati itu sah-sah saja, karena ada ayat yang membenarkan hukuman mati. Begitu juga dalam Kitab Perjanjian Lama, hukuman mati dibolehkan. Juga pada kasus pemerkosaan yang menimpa keluarga Acan di Bekasi. Bismar mengusulkan agar hakim menjatuhkan hukuman mati kepada para pelakunya karena dianggap lebih keji dari binatang.

Bismar juga menentang penundaan eksekusi pidana mati agar hukum dapat berfungsi sebagai pencegah timbulnya kejahatan berikutnya. Hal ini, misalnya, pernah diungkapkan Bismar pada Agustus 1995 ketika permohonan grasi terpidana mati kasus G-30-S/PKI dan terpidana pembunuhan keluarga Letnan Kolonel Mariner Purwanto di Surabaya, ditolak oleh Presiden.

Pasal 1 butir (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM sebagaimana dikutip di atas mengandung pesan yang mewajibkan kepada setiap orang untuk menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Atas dasar itu, penulis berpendapat, apa yang disampaikan oleh Bismar dan putusan Mahkamah Konstitusi dapat dibenarkan. Tidak ada ketentuan normatif yang menyatakan hukuman mati bertentangan dengan HAM. Artinya, kebijakan negara untuk menjalankan perintah pengadilan dalam menerapkan hukuman mati tidak dapat dipandang sebagai pelanggaran negara terhadap HAM. Hukum harus melindungi HAM, tidak hanya terhadap terpidana, melainkan terlebih-lebih pada orang-orang (korban dan masyarakat luas) yang tidak bersalah sebagaimana menjadi amanat UUD dan UU No. 39 Tahun 1999. (***)


Published at :
Leave Your Footprint
  1. Dalam kesempatan kali ini, saya ingin mengomentari artikel mengenai “Polemik Seputar Hukuman Mati di Indonesia”. Untuk alasan yang bisa dijelaskan mengenai hal ini saya termasuk orang yang kurang setuju terhadap pemberlakuan hukuman mati, tapi saya juga tidak menolak jenis hukuman yang satu ini. Sampai disini mungkin anda menilai bahwa saya termasuk orang yang tidak memiliki pendirian (plin-plan), tapi saya akan jelaskan kepada anda mengapa bisa demikian?, dan saya yakin setelah anda membaca artikel ini, maka anda pun akan memiliki pendapat dan pemikiran yang sama dengan saya. Sebelum saya membahas hal ini lebih lanjut, perlu saya informasikan bahwa saya bukanlah seorang ahli atau pakar, hanya saja apa yang akan saya sampaikan bukanlah merupakan kutipan atau saduran atau rangkuman pendapat orang lain, akan tetapi ini adalah murni dari buah fikiran saya sendiri. Oleh karena itu sebelumnya saya mohon maaf apabila dalam artikel ini saya tidak mencantumkan referensi apapun.
    Baik, saya akan mulai dengan membahas mengenai pengertian HAM (Hak Azasi Manusia) terlebih dahulu. Banyak para pakar dan para ahli memberikan hasil pemikirannya mengenai pemahaman dan pengertian tentang HAM, yang mana dari sekian banyak pengertian yang ada dapat saya simpulkan bahwa menurut para ahli “HAM (Hak Azasi Manusia) merupakan hak yang sudah melekat dalam diri setiap insan yang dibawa sejak lahir ke dunia dan berlaku sepanjang hidupnya serta tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun karena hak itu sifatnya kodrati yang langsung Allah berikan pada setiap makhluk ciptaannya”. Dalam hal ini saya tidak akan menyangkal mengenai pendapat para ahli tersebut, karena memang pada dasarnya pendapat mereka adalah benar. Yang ingin saya jelaskan adalah bukan mengenai pengertian HAM, karena saya yakin hampir semua orang paham, akan tetapi yang ingin saya jelaskan adalah mengenai implementasi dari HAM itu sendiri.
    Menurut hasil pemikiran saya, Hak Azasi Manusia pada dasarnya terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu : 1. Hak Azasi Manusia sebagai INDIVIDU, 2. Hak Azasi Manusia sebagai MAHLUK SOSIAL. Sebagai INDIVIDU seorang manusia hanya memiliki 1 (satu) buah hak yaitu hak untuk hidup sebagaimana yang telah dianugerahkan Alloh SWT kepada setiap manusia, sementara hak-hak seorang manusia selain hak untuk hidup (hak untuk memeluk agama dan beribadat, hak untuk mendapatkan pendidikan, perlakuan yang layak, hak untuk menyampaikan pendapat, hak ekonomi, hak hukum, hak sosial budaya, hak peradilan, dll) merupakan hak-hak seorang manusia sebagai MAHLUK SOSIAL. Seorang manusia hidup di dunia ini memerankan dua peranan sekaligus, yaitu hidup sebagai diri pribadi dan sekaligus juga hidup sebagai mahluk sosial yang selalu melakukan interaksi dengan manusia lainnya. Jika seorang manusia hidup seorang diri disuatu pulau terpencil dan di pulau itu tidak ada manusia lainnya lagi, maka dia hanya memiliki HAM sebagai INDIVIDU saja, dia tidak akan membutuhkan hak-hak yang lainnya, karena tidak mungkin akan ada persaingan atau perebutan suatu kehutuhan dengan manusia lainnya. HAM sebagai MAHLUK SOSIAL itu hanya berlaku untuk seorang manusia yang hidup berdampingan atau bersama dengan manusia lainnya dengan saling menjaga, menghormati, menghargai, mengasihi dan menyayangi satu sama lainnya. Untuk menjamin HAM seorang manusia sebagai MAHLUK SOSIAL, maka suatu kelompok manusia entah itu dalam skala kecil ataupun besar membuat norma-norma atau aturan-aturan yang saat ini kita kenal dengan sebutan HUKUM. Hukum dan peraturan hanya berlaku untuk MAHLUK SOSIAL, sementara manusia yang hidup hanya sebagai INDIVIDU saja dan tidak hidup bersama manusia lain tidak memerlukan hukum ataupun peraturan sama sekali.
    Lantas bagaimana mengenai masalah pelanggaran HAM?. Sebelumnya akan saya luruskan dulu pemahaman anda tentang yang satu ini, bahwasanya menurut pendapat umum bahwa pelanggaran hukum dan peraturan itu terbagi menjadi beberapa bagian, diantaranya ada tindak kejahatan atau kriminalitas, KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), pelanggaran HAM, dll. Yang mana seharusnya tidak ada pengelompokan jenis pelanggaran, karena segala bentuk kegiatan yang merugikan orang lain dan/atau diri sendiri apapun bentuknya kesemuanya itu merupakan pelanggaran terhadap Hak Azasi Manusia. Kalau merugikan orang lain itu sudah jelas sekali pelanggaran HAM, bahkan merugikan diri sendiri pun termasuk kedalam pelanggaran HAM, HAM yang mana yang dilanggar kalau seandainya si pelaku melakukan tindakan yang merugikan dirinya sendiri? Yaitu hak seorang ibu/ayah untuk melihat anaknya sehat dan bahagia kalau si pelaku adalah seorang anak, atau hak seorang istri/suami yang menginginkan istri/suaminya sehat bahagia kalau si pelaku seorang istri/suami, atau hak seorang anak untuk memiliki orangtua yang sehat dan bahagia kalau si pelaku seorang orang tua.
    Saya akan mencoba menjelaskan lebih jauh lagi mengenai pelanggaran HAM, bahwa hilangnya HAM seseorang dapat disebabkan oleh 3 (tiga) hal, yaitu : 1. DIRENGGUT, 2. TERENGGUT, 3. DIHILANGKAN. Saya kasih contoh satu kasus pembunuhan, misal si A membunuh si B, maka dalam hal ini HAM si B (hak untuk hidup) telah DIRENGGUT oleh si A, lalu si A tertangkap, disidang dan dihukum selama 20 tahun, maka HAM si A (hak untuk mendapatkan kebebasan berpindah-pindah tempat, hak untuk berkumpul dengan keluarga setiap hari, hak untuk melaksanakan kewajiban sebagai istri/suami/anak/orang tua, dan hak-hak yang lainnya) selama 20 tahun akan DIHILANGKAN oleh Hukum dan Peraturan. Selain si A dan si B, keluarga dan teman si A dan si B juga telah kehilangan haknya karena telah TERENGGUT oleh perbuatan si A. Dalam kasus ini setiap orang yang terkait didalamnya (si A, si B, Keluarga dan Teman si A dan si B) mau tidak mau harus menerima HAMnya DIRENGGUT, TERENGGUT dan DIHILANGKAN sebagai konsekuensi dari perbuatan si A. Oleh karena itu hendaknya seseorang bisa berfikir lebih jauh lagi sebelum melakukan tindakan yang akan merugikan orang lain atau diri sendiri, sebab konsekuensi dari tindakan itu akan membawa dampak yang tidak baik bagi orang lain atau orang-orang disekitarnya.
    Yang lucu adalah misal ketika si A tadi melakukan tindakan yang merugikan orang lain atau merenggut hak orang lain, lalu kemudian si A disidangkan dan dipersidangan si A atau pengacaranya atau pembelanya atau apalah namanya melakukan pembelaan dengan mengatasnamakan HAM. Yang dilanggar si A adalah HAM si B, tetapi lantas si A melakukan pembelaan atas nama HAM si A, kalau menurut saya itu sangat lucu sekali. Sudah menjadi kiprah MAHLUK SOSIAL bahwa kalau seseorang ingin mendapatkan haknya maka orang itu harus menjalankan kewajibannya terlebih dahulu. Begitupun dalam kasus tadi, yang mana si A bisa memperoleh HAMnya selaku MAHLUK SOSIAL jika si A melakukan kewajibannya selaku MAHLUK SOSIAL, yang mana kewajibannya itu salah satunya adalah tidak melanggar, mengambil atau mengganggu HAM orang lain. Jadi kalau menurut saya adalah wajar kalau si A kehilangan HAMnya selaku MAHLUK SOSIAL karena si A tidak melakukan kewajibannya selaku MAHLUK SOSIAL.
    Lalu bagaimana relevansi pembahasan diatas terhadap masalah Hukuman Mati?. Seseorang yang melakukan suatu tindakan yang merugikan, entah dirinya atau orang lain, maka orang tersebut wajib diberikan hukuman sebagai konsekuensi dari perbuatannya. Adapun bentuk hukumannya tergantung dari bobot dampak yang diakibatkan. Diantaranya bisa berupa DIHILANGKANnya sebagian atau mungkin seluruh HAMnya sebagai MAHLUK SOSIAL. Satu hal yang harus diperhatikan bahwa HAM seseorang sebagai MAHLUK SOSIAL bisa saja dihilangkan total, tapi HAM seseorang sebagai INDIVIDU (hak untuk hidup) tentu saja tidak ada seorangpun yang berhak menghilangkannya, karena pada hakekatnya hanya Alloh SWT yang memiliki hak untuk melakukan itu. Lantas hukuman terberat seperti apa yang harus diberikan kepada pelaku kejahatan berat atau kejahatan khusus?. Logikanya seperti ini, kalau seorang manusia telah kehilangan HAMnya sebagai MAHLUK SOSIAL dan yang tersisa hanya HAM sebagai mahluk INDIVIDU saja, maka manusia tersebut tidak berhak untuk hidup bersama dengan manusia lainnya, tetapi tidak mengandung arti bahwa manusia itu harus mati. Artinya bahwa manusia itu harus hidup sendiri, tidak boleh ada manusia lainnya yang menemani. Jadi kalau memang memungkinkan sebagai pengganti hukuman mati yang terbaik adalah orang tersebut diasingkan di pulau terpencil sendirian (tidak boleh ada orang lain lagidi pulau tsb) tanpa bekal apapun selain dari pakaian yang dia pakai saja. Kalaupun nantinya orang tersebut mati (entah karena sakit, kelaparan, kedinginan, atau dimakan binatang buas) biarkanlah dia mati dengan sendirinya. Saya rasa di Indonesia masih banyak pulau-pulau kecil dan terpencil yang cocok untuk dijadikan tempat buangan. Tapi kalau masih tidak memungkinkan juga atau si pelaku tetap menolak tidak mau diasingkan, tentu saja tidak ada pilihan lain. (Mati/Diasingkan)

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close