People Innovation Excellence

UU PERKEBUNAN DAN URGENSI PERATURAN PELAKSANAANNYA

Oleh ERMANTO FAHAMSYAH (Desember 2014).

Pemerintah RI telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan pada tanggal 17 Oktober 2014 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613, selanjutnya disebut UU Perkebunan. UU Perkebunan tersebut mempunyai spirit utama untuk mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut ditunjukkan antara lain dengan pengaturan secara eksplisit maupun implisit mengenai keberpihakan kepada Masyarakat Perkebunan dan Masyarakat (Hukum) Adat; Kemitraan; Peran Serta Masyarakat; Mengutamakan Penggunaan Penanaman Modal Dalam Negeri.

UU Perkebunan dibentuk dengan latar belakang atau dasar pemikiran yaitu, pertama, dari aspek filosofis, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk dimanfaatkan dan dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; kedua, dari aspek sosiologis, bahwa perkebunan berperan penting dan memiliki potensi besar dalam pembangunan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan; ketiga, dari aspek yuridis, bahwa penyelenggaraan perkebunan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan sudah tidak sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat, belum mampu memberikan hasil yang optimal, serta belum mampu meningkatkan nilai tambah usaha perkebunan nasional, sehingga perlu diganti. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-VIII/2010 dalam perkara permohonan Pengujian UU Nomor 18 Tahun 2004.

Materi muatan UU Perkebunan terdiri dari XIX Bab dan 118 Pasal, yang mencakup Bab I tentang Ketentuan Umum; Bab II tentang Asas, Tujuan, dan Lingkup Pengaturan; Bab III tentang Perencanaan; Bab IV tentang Penggunaan Lahan; Bab V tentang Perbenihan; Bab VI tentang Budidaya Tanaman Perkebunan; Bab VII   tentang Usaha Perkebunan; Bab VIII tentang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan; Bab IX tentang Penelitian dan Pengembangan; Bab X tentang Sistem dan Data Informasi; Bab XI tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia; Bab XII tentang Pembiayaan Usaha Perkebunan; Bab XIII tentang Penanaman Modal; Bab XIV tentang Pembinaan dan Pengawasan; Bab XV tentang Peran Serta Masyarakat; Bab XVI tentang Penyidikan; Bab XVII tentang Ketentuan Pidana; Bab XVIII tentang Ketentuan Peralihan; dan Bab IX Ketentuan Penutup.

UU Perkebunan telah mengamanatkan beberapa ketentuan untuk diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan, yaitu 21 (dua puluh satu) perihal yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah dan 12 (dua belas) perihal yang akan diatur dalam Peraturan Menteri. Berdasarkan ketentuan Pasal 117 UU Perkebunan, peraturan pelaksanaan tersebut harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak UU Perkebunan diundangkan.

21 (dua puluh satu) perihal yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah, meliputi, Penetapan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan lahan untuk Usaha Perkebunan (amanat Pasal 14 ayat (3)); Sanksi administratif bagi perusahaan perkebunan yang memindahkan hak atas tanah Usaha Perkebunan dan melanggar kewajiban mengusahakan Lahan Perkebunan (amanat Pasal 18 ayat (3)); Standar mutu atau persyaratan teknis minimal (amanat Pasal 24 ayat (4)); Tata cara pencarian, pengumpulan, dan pelestarian sumber daya genetik (amanat Pasal 27 ayat (5)); Introduksi dari luar negeri terkait bentuk benih atau materi induk untuk pemuliaan tanaman (Pasal 28 ayat (3)); Tata cara pencegahan timbulnya kerusakan lingkungan hidup dan pencemaran lingkungan (amanat Pasal 32 ayat (3)); Syarat dan tata cara pemberian izin usaha perkebunan, luasan lahan tertentu untuk usaha budi daya Tanaman Perkebunan, dan kapasitas pabrik tertentu untuk usaha Pengolahan Hasil Perkebunan (amanat Pasal 49); Kemitraan Usaha Perkebunan (amanat Pasal 57 ayat (3)); Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat (amanat Pasal 59); Sanksi administratif bagi perusahaan perkebunan yang tidak memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat (amanat Pasal 60 ayat (3)); Kawasan pengembangan perkebunan (amanat Pasal 61 ayat (4)); Pengembangan perkebunan berkelanjutan (amanat Pasal 62 ayat (3)); Perlindungan wilayah geografis yang memproduksi Hasil Perkebunan yang bersifat spesifik (amanat Pasal 66); Kewajiban membangun sarana dan prasarana di dalam kawasan Perkebunan (amanat Pasal 69 ayat (3)); Sanksi administrasi bagi setiap perusahaan yang tidak membangun sarana dan prasana di dalam kawasan Perkebunan (Pasal 70 ayat (3)); Ketentuan mengenai pembinaan dan keterpaduan usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan usaha budi daya Tanaman Perkebunan (amanat Pasal 73 ayat (3)); Jenis Pengolahan Hasil Perkebunan tertentu (amanat Pasal 74 ayat (2)); Sanksi adiministrasi bagi unit Pengolahan Hasil Perkebunan yang berbahan baku impor yang tidak membangun kebun dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun (amanat Pasal 75 ayat (3)); Ketentuan mengenai penghimpunan dana dari Pelaku Usaha Perkebunan, lembaga pembiayaan, dan masyarakat (amanat Pasal 93 ayat (5)); Besaran penanaman modal asing, jenis Tanaman Perkebunan, skala usaha, dan kondisi wilayah tertentu (Pasal 95 ayat (5)); Pembinaan teknis dan penilaian Usaha Perkebunan (amanat Pasal 97 ayat (3)).

Sementara itu, 12 (dua belas) perihal yang diamanatkan oleh UU Perkebunan untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri (Pertanian), meliputi, Sumber daya genetik Tanaman Perkebunan (amanat Pasal 23 ayat (2)); Syarat-syarat dan tata cara pelepasan atau peluncuran varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri (amant Pasal 30 ayat (2)); Produksi, sertifikasi, pelabelan, dan peredaran varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri (amanat Pasal 31 ayat (3)); Standar minimum sarana dan prasarana pengendalian organisme pengganggu Tanaman Perkebunan (amanat Pasal 35 ayat (2); Perlindungan Tanaman Perkebunan (amanat Pasal 38); Pelaksanaan integrasi dan diversifikasi usaha (amanat Pasal 44 ayat (4)); Jenis Tanaman Perkebunan (amanat Pasal 46); Pembukaan lahan tanpa membakar (amanat Pasal 56); Tata cara kegiatan panen dan pasca panen yang baik (amanat Pasal 72 ayat (4)); Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (amanat Pasal 90 ayat (2); Persyaratan dan tata cara pengawasan dalam Usaha Perkebunan (amanat Pasal 99 ayat (5); Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan Perkebunan (amanat Pasal 101).

Apabila dibandingkan dengan UU Perkebunan yang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004, UU Perkebunan ini memuat beberapa pengaturan yang baru, yaitu, Penetapan Batasan Luas Maksimum dan Minimum Lahan Usaha Perkebunan ; Perbenihan; Budi Daya Tanaman Perkebunan; Tindakan yang Dilarang; Kewajiban Memfasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat; Kewajiban bagi Unit Pengolahan Hasil Perkebunan Tertentu yang Berbahan Baku Impor; Sistem Data dan Informasi; Pembatasan Penanaman Modal Asing; Pembinaan Teknis dan Evaluasi atas Kinerja Perusahaan Perkebunan; Peran Serta Masyarakat; dan Ketentuan Pidana.

Berdasarkan uraian di atas, Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB) sebagai forum independen yang salah satu kegiatan utamanya adalah Kajian Ilmiah mempunyai pemikiran untuk melakukan kajian hukum untuk menghasilkan rumusan/rekomendasi sebagai bahan masukkan dalam penyusunan beberapa peraturan pelaksanaan, berupa Peraturan Pemerintah, yang diamanatkan oleh UU Perkebunan, antara lain Peraturan Pemerintah yang mengatur perihal penetapan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan lahan untuk Usaha Perkebunan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 14 ayat (3); Kemitraan Usaha Perkebunan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 57 ayat (3); Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 59; dan Besaran penanaman modal asing, jenis Tanaman Perkebunan, skala usaha, dan kondisi wilayah tertentu sebagaimana diamanatkan oleh ketentuan Pasal 95 ayat (5).

Kajian hukum tersebut perlu dilakukan agar Peraturan Pemerintah yang nantinya dirumuskan selaras dengan konsepsi dengan falsafah negara, tujuan nasional, UUD NRI Tahun 1945, UU Perkebunan dan undang-undang lain yang telah ada dan peraturan pelaksanaannya serta kebijakan lainnya yang terkait. Selain itu, dalam rangka penyusunan Peraturan Pemerintah tersebut, dipandang perlu adanya pengkajian hukum dari aspek filosofis, teoritis, yuridis, dan sosiologis oleh pihak di luar Pemerintah, baik melalui pengkajian hukum secara mendalam maupun forum konsultasi dan diskusi yang melibatkan para ahli dari perguruan tinggi dan organisasi di bidang ekonomi, politik, hukum, hak asasi manusia, sosial, budaya, kemasyarakatan atau profesi sesuai dengan kebutuhan—untuk memberikan masukan bagi kesempurnaan dan penyempurnaan substansi Peraturan Pemerintah yang akan disusun, agar dapat diterapkan serta dapat menjamin keadilan, kepastian hukum dan kebermanfaatan bagi kelangsungan dan keberlanjutan berbagai pemangku kepentingan kegiatan perkebunan (Pemerintah, Masyarakat dan Sektor Swasta/Industri). (***)

CATATAN: Penulis adalah Sekretaris Jenderal Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB); Dosen Tetap FH Universitas Jember dan AFM di Program Studi “Business Law” BINUS.

 

 


Published at :
Leave Your Footprint
  1. apakh undang-undang perebunan ini bisa mengakomodir masalah yang dihadapi oeh masyarakat yg memiliki lahan disekitar area perkebunan….

  2. Forum ini sangat strategis, terutama utk kami di Papua, yg sebagian besar hutan dan lahannya di eksploitasi utk usaha perkebunan. Apakah forum ini bisa dibuka cabangnya di daerah?

  3. Ada banyak hal yg ingin ditanyakan..terkait dgn pembngun kebun kelapa sawit pola kemitraan antara perusahaan dan masyarkat(korporasi).
    Keterbatasan masyarakat; kurangnya pengawasan dri pemeritah terhadap kgiatan tsb d atas menimbulkn ketidakadilan d masayarakat petani.
    Dgn forum ini mngkin bsa mnjdi solusi. Apakah forum ini ada di prov.jambi..karena kami berada d Jambi.

  4. bgm peran forum ini terhadap pengendalian usaha perkebunan yang tidak sejalan dengan ketentuan dan persyaratan yg tertuang di dlm perUU (termasuk UU39/2014) ? sbg contoh : kasus kabut asap akhir2 ini merupakan indikasi adanya praktek2 usaha perkebunan yang buruk (bad farming practise)

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close