People Innovation Excellence

HUKUM KOLONIAL DAN HUKUM FUTURISTIS

Oleh SHIDARTA (September 2014)

Pada hari Sabtu, 27 September 2014, saya bertemu dengan Prof. Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono, S.H. di salah satu perguruan tinggi di Bandung tatkala beliau sedang menunggu giliran memberikan kuliah. Setiap kali bertemu beliau, selalu ada semangat hidup yang ditularkan oleh guru besar hukum yang pada tanggal 7 Juni lalu berulang tahun ke-83.

Cukup menarik untuk menyadari bahwa dalam usia yang terbilang lanjut, ahli di bidang hukum perdata internasional ini masih bersemangat menekuni satu bidang hukum baru, yang boleh diberi nama hukum futuristis. Ketertarikannya pada hukum futuristis sebenarnya sudah terlacak pada saat beliau menyampaikan pidato pengukuhan guru besar di Universitas Padjadjaran. Saat itu beliau menyitir pandangan R. Benedict, Alvin Toffler, Nesbit, Peter Drucker, Zuboff, dan futurolog lainnya. Karena minatnya pada hukum futuristis ini pula, beliau sangat senang ketika sekitar dua tahun lalu saya sampaikan informasi tentang situs Torkel Opsahl Academic E-Publisher  yang memuat seri publikasi berjudul “The Law of the Future and the Future of Law” (2011). Beliau lalu sampaikan bahwa buku itu sudah dimintakan ke cucunya untuk diunduh penuh. Pada kesempatan bertemu dengan beliau pada Sabtu (27/9) itu, ia tidak lupa menyinggung tentang buku ini dan kemudian membagikan lembaran berisi tabel perkembangan ciri-ciri korporasi di dunia, yang konon sudah sampai pada transformasi ke gelombang keempat. Ia berpesan agar informasi di dalam tabel ini dikomentari untuk dicocokkan dengan kondisi Indonesia saat ini dan kemungkinannya di masa depan.

Bagi mereka yang berpegang pada kontinuitas historis, kepentingan untuk meraih masa depan (the future) selalu berkaitan dengan kondisi yang dipersiapkan oleh masa lalu (the past). Topik tulisan ini akan berfokus pada hal ini.

Prof. Sunaryati lalu bercerita bahwa baru-baru ini ia dihubungi oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang pernah dipimpin oleh beliau (1988-1996). BPHN meminta beliau menangani satu proyek penelitian untuk mengiventarisasi produk-produk hukum kolonial yang masih berlaku sampai saat ini. Beliau menyayangkan mengapa hal ini baru dilakukan sekarang. “Pada tahun 2045 nanti, negara kita akan berusia 100 tahun. Bayangkan, jika dalam usia seratus tahun itu kita masih tetap memakai produk hukum kolonial yang jumlahnya masih sedemikian banyak,” ujarnya. “Saya tidak tahu apakah usia saya masih sempat menyaksikan kondisi hukum nasional yang lebih baik, dan tidak berkembang semaunya seperti saat ini!” tambahnya.

Hampir dua dasawarsa yang lalu, rasa-rasanya saya sudah mendengar keluhan Prof. Sunaryati seperti di atas. Rasa penasaran ini membuat saya membuka kembali naskah lama dan berhasil menemukan teks pidato beliau sebagai Kepala BPHN yang disampaikan dalam Seminar Akbar Lima Puluh Tahun Pembinaan Hukum Nasional di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 18-21 Juli 1995. Berikut ini adalah cuplikan dari pandangan beliau tentang hukum kolonial yang sempat dikemukakannya saat itu:

“… apabila kita berbicara tentang ‘hukum kolonial’, maka yang dimaksud ialah peraturan, pranata, lembaga, tatanan, proses dan mekanisme hukum yang telah berlaku di Indonesia sejak zaman Hindia Belanda yang dilandasi oleh Indische Staatsregeling sampai pada saat Proklamasi Kemerdekaan kita pada tahun 1945, tetapi yang berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 masih berlaku di Indonesia, termasuk peraturan hukum yang lain, yang diundangkan oleh Pemerintah Pendudukan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) antara tahun 1945 dan 1950, dan masih berlaku di negara kita sampai saat ini. Jadi dalam makalah ini ‘hukum kolonial’ tidak dipakai dalam arti hukum yang bersifat kolonial, tetapi yang berasal dan dibuat di zaman kolonial Hindia Belanda. Karena pada saat ini hukum positif kita masih terdiri dari unsur-unsur Hukum Adat, Hukum Islam, Hukum Barat, dan hukum yang bersumber pada Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka hukum kita belum secara utuh bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Itulah sebabnya tugas pertama kita tiada lain ialah untuk dalam waktu dekat mencabut atau menggantikan hukum kolonial yang masih berlaku di Indonesia melalui Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, dengan peraturan hukum nasional yang secara utuh bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Persiapan untuk tugas ini sudah dilaksanakan dengan terlebih dulu menginventarisasi seluruh peraturan perundang-undangan kolonial yang masih berlaku, atau yang belum dicabut, dan belum digantikan oleh peraturan hukum nasional.”

Jadi, apabila benar kata Prof. Sunaryati bahwa BPHN pada tahun 1995 itu sudah melakukan inventarisasi ini, maka jumlah produk hukum kolonial itu yang ada sekarang, setelah dua dasawarsa kemudian, seharusnya telah jauh berkurang. Sebagian besar kodifikasi memang masih berbahasa Belanda, seperti Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata), tetapi harus diingat bahwa sejumlah ketentuannya sudah direduksi dan dimasukkan ke dalam undang-undang sektoral. Hal serupa juga terjadi pada Wetboek van Koophandel (KUH Dagang) dan Wetboek van Strafrecht (KUH Pidana). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sudah mencabut beberapa bagian dari Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR; Staatsblad 1941 No. 44), tetapi tidak untuk hukum acara perdata. Bahkan, dikotomi Jawa-Madura dan luar Jawa-Madura masih eksis dalam area berlaku ketentuan hukum acara perdata ini, yakni dengan berlakunya HIR dan Rechtsreglement buiten Gewesten (RBG). Untuk satu urusan di bidang hukum acara perdata ini saja, sudah muncul pertanyaan: jika dikotomi kewilayahan ini tidak lagi relevan, sementara KUHA-Per nasional tak kunjung muncul, mengapa tidak satu aturan saja yang dipakai, yaitu HIR atau RBG? Pertanyaan ini sempat terlontar oleh salah seorang mahasiswa peserta mata kuliah “Pengantar Ilmu Hukum” di Prodi Business Law BINUS beberapa waktu lalu. Terus terang, saya tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan ini.

Kegundahan Prof. Sunaryati yang sudah pernah disampaikannya dua dasawarsa lalu dan diulangi kembali pada kesempatan bertemu beliau beberapa waktu terakhir itu, mengisyaratkan satu hal yang ironis tentang ketiadaan arah politik hukum nasional kita. Politik hukum inilah yang seharusnya menuntun perjalanan sistem hukum kita menuju ke dimensi futuristis itu, yaitu hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).  Banyaknya jumlah hukum kolonial yang masih bercokol dalam substansi hukum positif kita merupakan warisan sejarah yang tidak bisa diubah. Mau diapakan dan dikemanakan warisan hukum kolonial sebanyak itu?

Jawaban atas pertanyaan itu sesungguhnya tidak sulit. Kita sudah tahu bagaimana harus menyikapinya. Kita juga sudah tahu bahwa ini adalah ‘pekerjaan rumah’ yang serius dan butuh kegigihan untuk menuntaskannya. Untuk itu hanya perlu keputusan untuk mulai melangkah sampai tuntas. Tidak lagi sekadar menginventarisasi, melainkan harus sampai memodifikasi dan menyesuaikannya dengan kebutuhan dan kepentingan masa depan Indonesia. (***)


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close