People Innovation Excellence

AFFIRMATIVE ACTION SEBAGAI BENTUK DISKRIMINASI POSITIF

Oleh SHIDARTA (Juli 2014)

Seorang anggota tim kampanye Capres-Cawapres dalam suatu acara debat di televisi dengan bangga menggunakan kata-kata “affirmative action” untuk menggadang-gadangkan program kerja pasangannya. Sayangnya, pemirsa tidak pernah diberi tahu tentang apa itu affirmative action dan pada bidang apa kebijakan ini ingin diterapkan.

Affirmative action pada dasarnya adalah suatu kebijakan yang diskriminatif, walaupun dipandang termasuk genre diskriminasi yang positif karena sifatnya hanya sementara demi membuka kesempatan bagi kelompok masyarakat tertentu meraih peluang yang sama sebagaimana telah dinikmati oleh kelompok masyarakat lainnya. Dunia ekonomi dan pendidikan adalah lapangan affirmative action yang banyak dipakai.

Pada era tahun 1969, misalnya, terjadi kerusuhan etnis di Malaysia. Biang dari kerusuhan ini, menurut analisis para pakar adalah kesenjangan ekonomi antara puak-puak masyarakat di sana. Kelompok Melayu dipandang sebagai puak yang paling lemah secara ekonomis. Pada tahun 1971, Pemerintah Malaysia memberlakukan Kebijakan Ekonomi Baru (the New Economic Policy) yang bertujuan mempersempit jurang ketimpangan ekonomi di negeri semenanjung tersebut. Hal yang sama sebenarnya pernah diuji-coba di Indonesia di era Pemerintahan Soekarno dengan Kebijakan Ekonomi Banteng.

Kebijakan affirmative action juga kerap dipakai dalam lapangan pendidikan. Kelompok kulit hitam di Amerika Serikat selama beberapa dekade diberi kemudahan mengisi bangku-bangku kuliah di perguruan tinggi. Hal ini dipandang perlu, karena jika mereka dibiarkan berkompetisi secara terbuka dengan kelompok kulit putih, besar kemungkinan mereka akan kalah. Keinginan sejumlah kalangan di Indonesia untuk meniadakan ujian nasional dengan dalih pemerataan kualitas layanan dan fasilitas pendidikan untuk Jawa-luar Jawa masih belum memadai, adalah contoh berikutnya dari affirmative action.

Tentu saja, tidak semua kebijakan ini menuai sukses. Kebijakan affirmative action dengan meminta setiap partai politik mengisi calon-calon anggota legislatifnya dengan komposisi minimal 20% wanita adalah contoh yang belum berhasil. Kebijakan Banteng di era Orde Lama juga gagal karena secara konseptual memang amburadul. Bahkan, Kebijakan Ekonomi Baru ala Malaysia juga tidak bisa diklaim berhasil gilang gemilang. Dalam suatu konferensi hukum Asia di Singapura beberapa tahun lalu, saya secara iseng bertanya dengan beberapa rekan penyaji makalah dari Malaysia tentang “nasib” kebijakan ini, yaitu apakah kebijakan ini sudah harus diakhiri karena dinilai sukses dan apa ukuran kesuksesannya? Rekan-rekan ini menjawab bahwa belum ada tanda-tanda kebijakan ini bakal segera diakhiri karena para ahli di sana masih berselisih paham soal tolok ukur 60% puak Melayu harus berjaya di bidang ekonomi ini sudah terpenuhi atau belum. Mereka yang berangkat dari puak Melayu akan bertahan pada angka di bawah 60% dengan harapan kebijakan tadi terus berlanjut, sementara puak China dan India berpandangan sebaliknya. Ketegangan seperti ini makin hari makin terlihat dan mewarnai situasi politik di Malaysia. Kedua puak yang terakhir ini menuding,  bahwa Kebijakan Ekonomi Baru tidak lagi bertujuan mencapai keseimbangan antar-etnis, melainkan sudah mengarah kepada favoritisme etnis Melayu atas etnis-etnis lain. Dominasi etnis Melayu dalam birokrasi pemerintahan, angkatan bersenjata, dan perusahaan negara (contoh dominasi puak Melayu di perusahaan Petronas), dijadikan bukti ketidakadilan dalam negara multietnis tersebut. Fenomena inilah yang dituding ikut menjadi penyebab turunnya popularitas partai berkuasa UMNO dalam pemilihan umum baru-baru ini. Lebih ironis lagi, medan ketegangan akhir-akhir ini beralih lagi, dari masalah ekonomi ke isu-isu agama. Tidak jelas, apakah urusan agama pun ingin dikenakan kebijakan affirmative action di negeri jiran ini.

Lalu bagaimana baiknya dengan Indonesia? Secara formal jelas kebijakan affirmative action tidak lagi menarik untuk diangkat di tengah-tengah iklim kompetisi terbuka seperti ini. Jika itu harus dilakukan, sebaiknya ukurannya bukan lagi etnisitas [atau agama] ala Malaysia. Tolok ukur yang lebih fair bisa berupa kewilayahan, misalnya Jawa dan luar Jawa, kendati hal inipun harus sangat selektif dilakukan. Sebagai contoh, Kabupaten Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur tentu tidak bisa dianggap lebih “merana”  daripada Kabupaten Lebak di Banten. Hal lain adalah soal lamanya kebijakan ini harus diterapkan. Affirmative action yang terlalu lama, misalnya sampai melebihi usia satu generasi, justru akan “membunuh” semangat berkompetisi pada kelompok masyarakat yang diuntungkan, sementara pada pihak lain hal ini juga memperkuat kesan ketidakadilan perlakuan sebagai sesama warganegara. Bukankah konstitusi mengamanatkan setiap orang bersamaan kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan?

Oleh sebab itu, konsep-konsep affirmative action sebagai suatu diskriminasi yang semula dipandang positif bisa berubah menjadi negatif apabila tidak dikawal dengan rambu-rambu hukum yang jelas dan perhitungan yang matang. Pejabat publik tidak boleh dengan serta merta menjanjikan kebijakan affirmative action hanya untuk menarik simpati sesaat. Bagaimanapun diskriminasi dalam segala bentuknya sangat berpeluang memporak-porandakan sendi-sendi kesatuan kita berbangsa dan bernegara. (***)

 

 

 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close